Liputan6.com, Jakarta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kini menghadapi sorotan tajam dunia internasional setelah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) secara resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadapnya. Langkah ini diambil atas dugaan keterlibatan Netanyahu dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama konflik di Gaza, Palestina.
Keputusan tersebut menjadi preseden besar dalam hukum internasional, menciptakan tekanan bagi negara-negara anggota ICC untuk menangkap Netanyahu jika ia memasuki wilayah mereka. Di sisi lain, protes keras muncul dari Israel dan sekutu utamanya, Amerika Serikat, yang menolak legitimasi keputusan tersebut.
Advertisement
Tak hanya Netanyahu, ICC juga mengeluarkan surat perintah serupa untuk mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dan pimpinan Hamas Mohammed Deif. Ketiganya dituduh bertanggung jawab atas tindakan yang melanggar hukum internasional dalam konflik Gaza yang memakan ribuan korban jiwa.
Berikut selengkapnya:
Latar Belakang Surat Penangkapan ICC
ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan pada 21 November 2024 setelah proses panjang yang melibatkan investigasi mendalam terhadap konflik Gaza. Surat perintah ini menuduh Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant terlibat langsung dalam kejahatan perang yang melibatkan kelaparan sebagai metode peperangan, pembunuhan massal, serta tindakan tidak manusiawi lainnya.
Menurut pernyataan resmi ICC, dugaan kejahatan ini berlangsung sejak 8 Oktober 2023 hingga 20 Mei 2024, puncak dari serangan Israel di Gaza. Konflik ini dipicu oleh serangan balasan Hamas terhadap Israel pada Oktober 2023, yang menewaskan lebih dari 1.200 orang di pihak Israel.
Langkah ICC ini mendapat dukungan dari organisasi internasional seperti Amnesty International. “Perdana Menteri Netanyahu sekarang resmi menjadi orang buronan,” ujar Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International, dalam pernyataan yang dilansir Al Jazeera.
Advertisement
Respons Israel dan Netanyahu
Benjamin Netanyahu secara tegas menolak keputusan ICC, menyebutnya sebagai tindakan anti-Semit dan bentuk kriminalisasi terhadap Israel. Dalam pernyataan videonya, ia mengatakan, “Tidak ada keputusan anti-Israel yang keterlaluan yang akan menghentikan kami untuk terus membela negara kami.”
Presiden Israel Isaac Herzog menyebut keputusan ini sebagai "hari gelap keadilan," sementara Menteri Luar Negeri Gideon Saar menuduh ICC telah kehilangan legitimasi. Mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menegaskan bahwa menyamakan Israel dengan Hamas adalah preseden berbahaya yang mencederai hak membela diri.
Meski begitu, kelompok hak asasi manusia di Israel, seperti B’Tselem, mendukung langkah ICC. Mereka menilai ini adalah bagian penting dalam memperjuangkan keadilan bagi korban konflik di Gaza.
Sikap Amerika Serikat dan Negara-Negara Lain
Amerika Serikat secara resmi menolak legitimasi keputusan ICC, menyebut pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi atas Israel. Dalam pernyataan resminya, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS mengatakan, “Kami tetap sangat prihatin dengan kesalahan proses yang mendasari keputusan ini.”
Negara-negara anggota ICC di Eropa, termasuk Prancis dan Jerman, berada dalam posisi dilematis. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Joseph Borrell, menekankan bahwa keputusan ICC bersifat mengikat, tetapi pelaksanaannya tergantung pada negara-negara anggota.
Namun, beberapa negara Arab menyambut baik keputusan ini. Partai komunis Arab Israel, Hadash, menilai langkah ICC sebagai langkah awal menuju keadilan bagi Palestina.
Advertisement
Tuduhan Terhadap Netanyahu dan Gallant
Tuduhan terhadap Netanyahu mencakup penggunaan kelaparan sebagai metode peperangan, pembunuhan massal, dan tindakan tidak manusiawi lainnya di Gaza. ICC juga menuduh Yoav Gallant melakukan serangan tanpa pandang bulu yang menyebabkan ribuan korban jiwa, mayoritas warga sipil.
Pengadilan ini mencatat bahwa agresi di Gaza telah mengakibatkan lebih dari 44.000 korban jiwa, berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Gaza yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kekurangan makanan, obat-obatan, dan air bersih di Gaza menciptakan krisis kemanusiaan yang parah.
“Akuntabilitas pribadi bagi para pembuat keputusan merupakan elemen kunci dalam perjuangan untuk keadilan dan kebebasan,” kata lembaga hak asasi manusia B’Tselem dalam pernyataannya.
Implikasi dan Langkah Selanjutnya
Keputusan ICC ini memiliki implikasi besar, baik secara hukum internasional maupun geopolitik. Netanyahu kini menghadapi risiko penangkapan jika ia bepergian ke salah satu dari 124 negara anggota ICC. Langkah ini secara signifikan membatasi mobilitas internasionalnya.
Bagi Palestina, keputusan ini memberikan harapan baru untuk mendapatkan keadilan di tengah konflik yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Namun, Israel dan sekutunya menilai ini sebagai bentuk kriminalisasi yang tidak adil.
Amnesty International dan kelompok HAM lainnya terus menyerukan agar negara-negara anggota ICC menghormati keputusan ini. “Negara-negara anggota ICC tidak boleh berhenti sampai orang-orang ini diadili di hadapan hakim-hakim ICC yang independen,” ujar Agnes Callamard.
Advertisement