Liputan6.com, Berlin - Dokumen-dokumen rahasia yang terungkap pada hari Rabu (20/11/2024) menyebutkan bahwa Jerman telah mulai merencanakan cara untuk membantu mengerahkan hingga 800.000 pasukan NATO, termasuk pasukan Amerika Serikat (AS), ke Ukraina seiring dengan meningkatnya ancaman nuklir dari Rusia.
Rencana yang disebut "Operasi Deutschland" ini terdiri dari dokumen setebal 1.000 halaman yang mempersiapkan Jerman menghadapi kemungkinan skenario Perang Dunia III.
Advertisement
Menurut surat kabar Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung, dokumen-dokumen sangat rahasia tersebut merinci bangunan dan infrastruktur tertentu yang perlu dilindungi agar bisa digunakan oleh militer. Selain itu, ada juga panduan tentang bagaimana bisnis dan warga sipil harus bersiap menghadapi ancaman yang semakin meningkat.
Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa Berlin sedang mempersiapkan cara untuk menggerakkan 200.000 kendaraan militer melintasi wilayah Jerman jika aliansi NATO perlu bergabung dalam upaya Ukraina. Meskipun rincian lebih lanjut masih disembunyikan, persiapan ini menunjukkan tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Selain itu, Jerman juga telah memberi saran kepada warganya mengenai cara mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Salah satunya adalah meningkatkan kemandirian melalui mekanisme seperti pemasangan generator diesel atau bahkan turbin angin.
Kekhawatiran yang meningkat ini muncul setelah Presiden Vladimir Putin secara resmi mengubah doktrin nuklir Rusia pada hari Selasa (19/11), dengan mengumumkan bahwa Rusia kini dapat menggunakan senjata nuklir untuk merespons serangan dengan "senjata konvensional" yang bukan nuklir.
Meskipun Jerman sempat dikritik karena dianggap ragu-ragu dalam mendukung perjuangan Ukraina sejak 2022, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock mengatakan pada hari Selasa bahwa negara itu tidak akan terintimidasi oleh perubahan doktrin nuklir Rusia.
"Putin bermain dengan ketakutan kita. Dia tidak mulai melakukan ini 1.000 hari yang lalu (ketika Rusia menginvasi Ukraina), dia sudah mulai sejak 2014 (ketika Rusia menganeksasi Krimea)," ujarnya, seperti dikutip dari NY Post, Sabtu (23/11).
"Jerman, khususnya, membuat kesalahan saat itu, terutama secara politik, dengan membiarkan dirinya terintimidasi oleh ketakutan ini. Yang paling penting, kami tidak mendengarkan mitra-mitra kami, terutama mitra-mitra di Eropa Timur, yang sudah jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh bergantung pada janji-janji dari Kremlin. Kita harus berinvestasi dalam keamanan dan perlindungan kita sendiri," tambahnya.
Ukraina di Antara Optimisme dan Ketar-ketir
Revisi doktrin nuklir Rusia merupakan respons terhadap perkembangan besar lainnya dalam perang minggu ini, yaitu keputusan AS yang telah lama ditunggu untuk mengizinkan Ukraina menembakkan rudal jarak jauh buatan AS ke Rusia. Keputusan ini menghilangkan "ruang aman" yang sebelumnya dinikmati Rusia sejauh 190 mil dari perbatasan Ukraina.
Langkah AS, serta keputusan Jerman terkait persiapan Perang Dunia III, dipicu oleh keputusan Rusia yang meminta Korea Utara mengirimkan setidaknya 10.000 tentara untuk membantunya melawan Ukraina. Beberapa sumber bahkan menyebutkan kemungkinan pengiriman 100.000 tentara tambahan dari Korea Utara.
Banyak pemimpin dunia, ahli, dan pejabat AS menganggap keterlibatan langsung pasukan AS sebagai eskalasi paling signifikan dalam perang Ukraina sejak dimulai pada Februari 2022.
Persiapan Eropa sendiri datang setelah Donald Trump secara teratur memperingatkan audiens kampanyenya bahwa AS bisa berada di ambang Perang Dunia III, dengan Rusia, Korea Utara, dan Iran terlibat langsung dalam konflik dengan sekutu-sekutu AS.
Trump belum mengumumkan rencana resmi tentang bagaimana dia akan menangani perang Ukraina, sementara ada kekhawatiran nyata bahwa dia mungkin bersimpati pada Putin. Meski demikian, Trump disebut telah menunjukkan tanda-tanda mendukung Ukraina untuk mencapai akhir yang adil dalam perang ini.
Misalnya, dalam percakapan terbaru dengan seorang presiden negara Eropa Timur, Trump mengatakan bahwa dia tidak akan melarang Ukraina untuk terus menembak ke Rusia setelah dia menjabat. Hal ini diungkapkan seorang sumber kepada The post.
Strategi menyerang Rusia secara langsung ini adalah bagian utama dari "rencana kemenangan" yang diajukan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kepada pemimpin dunia —termasuk Trump— sejak musim gugur ini.
"Saya ingat pertemuan besar kami dengan Presiden Trump pada bulan September, ketika kami membahas kemitraan strategis Ukraina-AS, Rencana Kemenangan, dan cara mengakhiri agresi Rusia terhadap Ukraina," tulis Zelenskyy di X setelah Trump memenangkan Pilpres AS 2024. "Saya menghargai komitmen Presiden Trump terhadap pendekatan 'damai melalui kekuatan' dalam urusan global."
"Inilah prinsip yang dapat secara nyata mendekatkan perdamaian yang adil di Ukraina. Saya berharap kita bisa mewujudkannya bersama-sama."
Zelenskyy terus memuji Trump pekan ini, di mana dia mengatakan kepada Fox News pada hari Selasa bahwa dia percaya terpilihnya Trump akan membawa akhir yang lebih cepat bagi perang karena Trump lebih "kuat" daripada Putin.
Namun, presiden Ukraina itu juga memperingatkan bahwa jika Kongres AS menolak untuk melanjutkan bantuan militer ke Ukraina, negara mereka "akan kalah".
Meski demikian, dalam wawancara hari Minggu dengan penyiar publik Ukraina, Suspilne, dia tetap optimistis bahwa —sebagian berkat terpilihnya Trump— perang bisa berakhir tahun depan melalui jalur diplomatik.
"(Perang ini) akan berakhir lebih cepat dengan kebijakan tim yang sekarang akan memimpin Gedung Putih," kata Zelenskyy, merujuk pada pemerintahan Trump yang akan datang. "Ini adalah pendekatan mereka, janji mereka kepada rakyat mereka dan itu sangat penting bagi mereka."
Advertisement