Liputan6.com, Jakarta - "Nasi uduk ikan tongkol, sambil duduk kita ngobrol" – sebuah pantun singkat yang spontan terlontar dari mulut Ridwan Kamil saat ia melakukan blusukan di Jakarta. Dalam dua bulan masa kampanye Pilkada Jakarta, tak kurang dari 500 titik kota ini telah ia sambangi.
Ridwan Kamil menghabiskan sebagian besar waktunya di gang-gang sempit dan kampung kumuh yang tersebar di seantero kota. Bahkan Kepulauan Seribu. Tujuannya hanya satu: memastikan dirinya siap memimpin Jakarta lima tahun ke depan dengan memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Advertisement
Rata-rata setiap harinya dia blusukan ke 10 titik, bahkan terkadang hingga 12 titik dalam satu hari. Ia mengamati situasi sekeliling, mencatat, menyerap, dan yang terpenting: mendengarkan keluh kesah, dan usulan warga setempat.
Pria kelahiran Bandung 53 tahun lalu ini dikenal sebagai sosok yang luwes dan tanpa jarak. Hal ini terlihat jelas dalam interaksinya dengan warga Jakarta. Di Duren Sawit, Jakarta Timur, selepas blusukan di Kanal Banjir Timur, ia ‘mendadak’ menjajakan nasi uduk. Di situlah, pantun singkat tersebut terlontar, membuka percakapan hangat dengan warga.
Sembari sarapan nasi uduk, di depan warung kecil, ia dikerubungi warga–kebanyakan kaum hawa–yang mencurahkan keluh kesah mereka. Ridwan Kamil mendengarkan dengan seksama, sembari terkadang melempar guyonan untuk mencairkan suasana.
Di Pengadegan, Jakarta Selatan, Ridwan Kamil menyempatkan diri mengunjungi seorang warga lanjut usia bernama bu Hindun. Ibu yang berusia lebih dari 80 tahun tersebut hidup sebatang kara. Perbincangan dengan calon gubernur nomor urut satu mencerahkan wajahnya, terutama saat Ridwan Kamil memohon doa restu agar kelak bisa memimpin Jakarta secara bijak.
Tetap Rendah Hati
Sebelum terpilih sebagai wali kota Bandung dan gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil berprofesi sebagai arsitek. Ia beralih dari mendesain rumah dan menata lanskap kota, menjadi mendesain kebijakan dan mengimplementasi program kerja guna memajukan wilayah.
Ia pernah menjadi staf ahli untuk gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo, serta dua kali menjabat sebagai kepala daerah.
Di Jatinegara, Jakarta Timur, ia terkesima melihat potensi wisata Situ Rawa Badung, sebuah reservoir pengendali banjir seluas 4,4 hektar. Ia melihat peluang bagi Jatinegara untuk memiliki ikon baru, selain dikenal sebagai tempat bernyanyinya para biduan yang membawakan Juwita Malam.
Di Kembangan, Jakarta Barat, Ridwan Kamil tak segan-segan menggendong seorang warga setempat untuk memetik anggur hijau yang ranum. Sembari menikmati anggur segar, ia menyerap kisah sukses kerjasama warga dan perusahaan swasta dalam mengembangkan urban farming di tengah keterbatasan lahan di Jakarta.
Di Petak Sembilan, Jakarta Barat, Ridwan Kamil menjelajahi pasar, toko obat tradisional, hingga wihara Dharma Bakti. Ia berbincang dengan anak-anak di jalanan sempit, bahkan meladeni permintaan mereka untuk naik becak–transportasi kayuh roda tiga yang sudah nyaris punah di Jakarta.
Advertisement
Kolaborasi Wujudkan Cita-Cita Jakarta Mengglobal
Setelah melalui pengalaman memimpin di Bandung dan Jawa Barat, Ridwan Kamil memahami bahwa solusi terbaik untuk Jakarta berasal dari warganya sendiri. Ia mencoba mengurai problematika kota terbesar di Indonesia ini dengan pendekatan desentralisasi, kolaborasi, dan inovasi (DKI).
Jakarta yang luasnya dua pertiga Singapura, dengan jumlah penduduk dua kali lipat, menghadapi berbagai tantangan seperti infrastruktur, banjir, macet, dan pengangguran.
Bagi Ridwan Kamil, Jakarta terlalu kompleks untuk diatasi dengan pendekatan top-down. Ia ingin melibatkan semua pihak: warga, organisasi masyarakat, korporasi, dan pemda. Gubernur menjadi fasilitator, mengayomi seluruh warga tanpa terkecuali.
Dengan tekad mewujudkan kota yang inklusif dan humanis, dibarengi dengan kerja guyub yang menyatukan semua pihak, Jakarta yang global bisa diwujudkan secara nyata.