Industri Katup Lokal Keluhkan Inkonsistensi Penerapan Kebijakan Perdagangan Nasional

Perkumpulan Pengusaha Katup Indonesia (HAKINDO) mengapresiasi perhatian Komisi VI DPR RI terhadap kondisi industri dalam negeri saat ini. Hal tersebut diungkapkan Ketua HAKINDO Patrick Tanoto.

oleh Septian Deny diperbarui 23 Nov 2024, 20:15 WIB
Pekerja memeriksa kualitas komponen otomotif di pabrik PT Dharma Polimetal (Dharma Group), kawasan Delta Silicon, Cikarang. Perusahaan manufaktur komponen otomotif optimistis perpanjangan PPnBM dan tren penjualan kendaraan roda empat (4 wheeler/4W) yang mulai positif. (Liputan6.com/HO/Dharma)

Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan Pengusaha Katup Indonesia (HAKINDO) mengapresiasi perhatian Komisi VI DPR RI terhadap kondisi industri dalam negeri saat ini. Hal tersebut diungkapkan Ketua HAKINDO Patrick Tanoto.

Pernyataan ini berkaitan dengan penjelasan Menteri Perdagangan RI pada RDP dengan Komisi VI DPR RI tanggal 20 November 2024. Pembahasan soal Permendag 8 tahun 2024  tersebut di apresiasi oleh pelaku industri katup. 

“Kami di HAKINDO menilai bahwa penerbitan Permendag 8/2024, yang hanya berselang dua bulan setelah berlakunya kewajiban dalam Permendag 36/2023, mencerminkan kurangnya konsistensi dalam penerapan kebijakan perdagangan nasional," kata dia dikutip Sabtu (23/11/2024).

Ketidakkonsistenan regulasi membuat investor potensial berpikir dua kali untuk berinvestasi di sektor ini. Kebijakan yang berubah-ubah menciptakan ketidakpastian yang signifikan, mengurangi daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi manufaktur. Produsen lokal yang telah berinvestasi dalam peningkatan kapasitas dan kualitas produk juga menghadapi tantangan besar untuk bersaing di pasar domestik, apalagi jika barang impor mendominasi pasar.

Pentingnya Konsistensi Kebijakan

Anggota HAKINDO memandang bahwa kebijakan Permendag 8/2024 perlu dikaji ulang agar dapat mendukung pertumbuhan industri dalam negeri. Aspirasi utama agar terjadi kepastian regulasi, ekosistem pengembangan industri lokal yang berkelanjutan,  harus mendukung pengembangan industri lokal, bukan sekadar membuka pasar bagi barang impor.

“Oleh sebab ini kami percaya bahwa mengembalikan kebijakan ke Permendag 36/2023 dan memperbaikinya dengan pendekatan yang lebih terfokus membantu menciptakan ekosistem industri katup yang kompetitif dan mandiri. Pada kesempatan ini kami juga ingin mengutarakan kajian comprehensive terhadap Permendag 36 2023 juga sudah dilakukan sebelumnya dan ini perlu dijelaskan kepada Masyarakat luas bahwa produk lokal ada dan siap bersaing. Industri katup nasional telah berupaya keras untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi dalam beberapa tahun terakhir," jelas dia.

 


Relaksasi Perizinan Impor

Sebuah kapal bersandar di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (26/5). Penyebab kinerja ekspor sedikit melambat karena dipengaruhi penurunan aktivitas manufaktur dan mitra dagang utama, seperti AS, China, dan Jepang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

HAKINDO menyampaikan sangat mengapresiasi perhatian Komisi VI DPR terhadap dampak Permendag 8/2024 terhadap industri dalam negeri. Relaksasi perizinan impor yang tertuang dalam Permendag ini, meskipun bertujuan untuk memperlancar arus barang, justru memberikan ancaman serius terhadap keberlangsungan industri katup dalam negeri. 

Sebagai penutup, sekali lagi HAKINDO menyampaikan sangat menghargai Komisi VI DPR dapat mendukung aspirasi kami dari pelaku industri dan mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkrit dalam melindungi industri.

Dengan demikian, industri katup Indonesia diharapakan dapat terus tumbuh dan berkembang, serta berkontribusi pada peningkatan daya saing produk dalam negeri.


Industri Elektronik Keluhkan Aturan Impor, Bikin Investasi Tak Jelas

Aktivitas bongkar muat kontainer di dermaga ekspor impor Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (5/8/2020). Menurut BPS, pandemi COVID-19 mengkibatkan ekspor barang dan jasa kuartal II/2020 kontraksi 11,66 persen secara yoy dibandingkan kuartal II/2019 sebesar -1,73. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) sangat menyayangkan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Apalagi, Permendag 8/2024 ini dikeluarkan hanya dalam kurun waktu dua bulan setelah pemberlakuan Permendag 36/2023.

"Seluruh produsen elektronika dalam negeri tadinya punya harapan besar dengan adanya Permendag 36/2023, tetapi malah membuat ketidakpastian investasi khususnya di sektor industri elektronika dengan terbitnya Permendag 8/2024," kata Sekretaris Jenderal Gabel, Daniel Suhardiman dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (22/11/2024).

Daniel menjelaskan, saat pemberlakuan Permendag 36/2023, hampir semua produsen peralatan asli (Original Equipment Manufacturer/OEM) di Tiongkok telah melakukan kontak untuk rencana kerja sama dengan sejumlah produsen elektronika dalam negeri.

"Namun, dengan dibatalkannya Permendag 36/2023 dan diganti menjadi Permendag 8/2024, otomatis mereka (produsen OEM) ini secara sepihak mundur dari rencana kerja sama tersebut," ungkap Daniel. Bahkan, ada beberapa anggota Gabel yang telah menambah investasi, tetapi akhirnya hanya jadi beban biaya setelah pemberlakuan Permendag 8/2024.

Daniel mengemukakan, saat ini pasar justru mengalami kontraksi dibanding tahun lalu, dengan komposisi produk jadi impor yang terus tumbuh, sehingga menekan produksi dalam negeri. Masalahnya lagi, produk impor jadi itu dijual dengan harga murah.

Menurut Daniel, para anggota Gabel berkeinginan agar Permendag 36/2023 dapat diberlakukan kembali untuk menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih kondusif.

"Idealnya ya dikembalikan ke Permendag 36/2023. Pemerintah kita harus tegas dan campur tangan menghadapi serbuan produk-produk impor khususnya dari Tiongkok, karena mereka mendapatkan dukungan fiskal dari pemerintahnya," tegas Daniel.

 


Dukungan Fiskal

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Gabel menilai, dengan keterbatasan pemerintah untuk memberikan dukungan fiskal yang tidak sekuat pemerintah negara-negara pesaing seperti Tiongkok dan negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia, pemerintah perlu memperkuat NTB (Non Tariff Barrier), yang salah satu caranya adalah melalui pengendalian impor secara cerdas.

"Ini hal yang wajar kok, sudah umum dilakukan oleh negara-negara lain," imbuhnya.

Daniel menambahkan, pemerintah harus gerak cepat untuk memberi kepastian hukum kepada pelaku industri nasional.

"Apakah mau dikembalikan ke Permendag 36/2023 atau merevisi Permendag 8/2024, pemerintah harus gerak cepat. Apalagi, ekspor Tiongkok ke Amerika dan Eropa akan terganggu, dan way out mereka sudah tentu perbesar ekspor ke Indonesia," ujarnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya