Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah. Menyusul kebijakan menaikan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN 2025 menjadi 12 persen.
Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti menilai, untuk sementara kenaikan tarif PPN 2025 belum akan berdampak positif. Khususnya terkait potensi penerimaan negara, imbas tingkat daya beli masyarakat yang berpotensi terganggu.
Advertisement
"Kemungkinan tax revenue tidak tercapai karena daya beli melemah. Jika tercapai pun juga akan menurunkan volume penjualan, akan membuat produksi berkurang, dan akhirnya produsen akan melakukan efisiensi," ujarnya kepada Liputan6.com, Minggu (24/11/2024).
INDEF memperkirakan, kenaikan 1 persen dari 11 persen menjadi PPN 12 persen berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi 0,02 persen. Disebabkan kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi. Sehingga akan memperlemah daya beli, sehingga utilisasi dan penjualan pun melemah.
"Akibatnya penyerapan tenaga kerja menurun dan pendapatan pun akan menurun. Yang berakibat menurunkan konsumsi dan menghambat pemulihan ekonomi, serta pada akhirnya pendapatan negara akan menurun," ungkapnya.
Secara umum, Esther menyimpulkan kenaikan PPN (single tarif) akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi meningkat. "Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan skema multi tarif," imbuhnya.
Selanjutnya, secara makro kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relatif lebih tinggi. Semakin melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.
Seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat. Maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi, termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja. "Hal ini akan berdampak terhadap penerimaan PPh yang terancam menurun," sambung Esther.
Usulan Indef
"Ketika kenaikan PPN, pemerintah berharap akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat. Namun perlu dikalkulasi cost and benefitnya terhadap perekonomian dalam jangka pendek dan jangka panjang," kata dia.
Untuk itu, Esther menyarankan, jika tujuan pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara, maka alternatif pertama bisa dilakukan dengan memperluas tax base PPN. Dengan begitu, potensi penerimaan pajak akan semakin meningkat.
"Kedua, untuk mendapatkan penerimaan negara yang lebih besar bukan dengan meningkatkan tarif PPN, tetapi menjaring wajib pajak baru. Ketiga, pemerintah bisa melakukan ekstensifikasi penerimaan perpajakan termasuk ekstensifikasi cukai. Keempat, pemerintah juga bisa mengoptimalisasi penerimaan negara bukan pajak," tuturnya.
Advertisement
Catat, PPN 12% Tetap Berlaku pada 2025
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU). Artinya, PPN 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Diketahui, ketentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Maka, per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen.
"Jadi di sini kami sudah membahas bersama bapak ibu sekalian itu sudah ada Undang-Undangnya, kita perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Kamis (14/11/2024).
Pada kesempatan itu, dia menjelaskan ada beberapa golongan yang memang bisa mendapatkan PPN lebih rendah dari 12 persen. Bahkan, ada beberapa yang bisa dibebaskan tarif PPN-nya.
"Yang PPN 12 persen dengan pada saat yang sama ada tarif pajak yang boleh mendapatkan 5 (persen), 7 (persen), apalagi bisa dibebaskan atau dinol-kan," ungkapnya.
Dengan adanya kenaikan tarif PPN jadi 12 persen, Bendahara Negara itu melihat perlu dijaganya kesehatan APBN. Termasuk berfungsi untuk menjadi bantalan saat adanya krisis finansial global.
"Tapi dengan tadi penjelasan yang baik sehingga tadi kita tetap bisa, bukannya membabi buta tapi APBN memang harus terus dijaga kesehatannya," kata dia.
"Namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan harus merespons seperti yang kita lihat dalam episode-seperti global financial crisis, seperti terjadinya pandemi itu kita gunakan APBN," sambung Sri Mulyani.
Dibahas Pemerintah
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, Pemerintah masih menggodok rencana kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk 2025.
Sejalan dengan hal itu, Pemerintah akan mempertimbangkan berbagai program untuk mendukung daya beli masyarakat terkait rencana penerapan PPN 12 persen.
"Terkait PPN-12 nanti kita masih akan bahas dan pemerintah tentu akan mempertimbangkan beberapa program yang bisa menunjang daya beli," kata Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024, di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Advertisement
Subsidi BBM
Selain itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Lembaga terkait juga akan menindaklanjuti arahan Presiden Prabowo Subianto mengenai subsidi BBM yang dianggap tidak tepat sasaran.
"Terutama juga arahan Bapak Presiden subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Di mana akan dialihkan untuk menjadi subsidi yang tepat sasaran. Nah ini masih digodok dalam beberapa minggu ke depan," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, sekitar 20-30 persen subsidi energi yaitu BBM dan listrik pada 2024 berpotensi tidak tepat sasaran, dengan nilai mencapai Rp100 triliun.
Presiden Prabowo Subianto pun telah menugaskan Bahlil sebagai Menteri ESDM untuk menyusun skema subsidi yang lebih tepat sasaran bagi BBM, LPG, dan listrik. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah mengubah skema subsidi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) agar bantuan ini sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.