Liputan6.com, Jakarta - Viral di media sosial tempat donasi pakaian yang seharusnya digunakan untuk menyalurkan pakaian layak pakai malah dijadikan tempat sampah. Hal itu membuat seorang pria geram dan membagikannya di media sosial.
Pemilik akun X (dulunya Twitter) @crypchiroo membagikan penampakan kotak donasi yang penuh dengan tumpukkan sampah makanan. Dalam cuitannya, ia mengungkapkan kekesalannya. "Indonesia boro-boro baca buku, baca tulisan yang sebesar ini aja gak bisa,” tulis akun tersebut pada 19 November 2024
Advertisement
Menurut pemilik akun, penempatan dan desain dari kotak donasi baju itu ada kesalahan. Namun bukan berarti orang-orang yang melewati kotak tidak membaca tulisan dari kotak tersebut.
"Tapi kita sebagai masyarakat Indonesia yang punya MATA bisa mencoba untuk memanfaatkan 100 persen kemampuan mata kita untuk MELIHAT dan MEMBACA bahwa kotak tersebut bukan kotak sampah," lanjutnya.
Akun tersebut juga menyebut bahwa literasi masyarakat Indonesia harus lebih ditingkatkan. "Orang kotak saran aja yang transparan dan tertulis “KOTAK SARAN” aja kadang suka ada yang ngisi uang di dalamnya, berarti memang LITERASI KITA YANG HARUS DITINGKATIN PLEASE," tulis akun tersebut.
Situasi ini tentu sangat memprihatinkan karena kotak donasi dirancang untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, tapi justru tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Unggahan tersebut ramai dibahas dan mendapat beragam komentar dari warganet yang sebagian besar mengecam perilaku tak pantas tersebut. Sampai berita ini ditulis, unggahan tersebut sudah dilihat lebih dari 2,3 juta dan mendapatkan lebih dari 1.800 komentar
Donasikan Otak
"Ya ampun kasian banget itu nanti yang beresinnya," komentar seorang warganet.
"Crazy, sejak kapan box dijadiin baju,” sahut warganet lain.
"Donasikan otakmu, jaga bumi ini tetap cerdas, bertanggung jawab,” kata yang lain.
"Eh ini dimana? aku punya banyak pakaian yg pengen donasi tapi gak tau harus kemana," tanya pengguna yang lain.
"Darurat Membaca,” imbuh yang lain.
"Astagfirullahhhh bodohnyaaa...penasaran pgn lihat pelakunya,” ujar warganet lainnya.
"Pengen komen as visual designer. Sebenernya kalau kotak untuk donasi harusnya transparan. ditambah pemilihan font, warna +call to action yang kurang kontras. karena kalau ditempat orang lalu lalang cepat, orang indo yang udah males baca bakal berasumsi itu tempat sampah," sebut warganet yang lain memnberi saran.
Pada tahun ini UNESCO mencatat bahwa indeks minat baca masyarakat Indonesia sangat mengejutkan yaitu hanya sebesar 0,001 persen. Artinya dari catatan tersebut bisa dikatakan dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. Bahkan dari halaman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) juga pernah merilis hasil riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu.
Advertisement
Bahan Bacaan Kurang
Dalam riset tersebut, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Dari cuitan yang viral di media sosial tersebut, banyak warganet yang mengakui bahwa memang Indonesia darurat membaca.
Belum lama ini, pernyataan menarik dilontarkan Kepala Perpustakaan Universitas Siliwangi, Budi Riswandi. Apakah bonus demografi yang dimiliki Indonesia bersifat kuantitatif atau kualitatif? Jika dinilai kuantitatif, maka akan menjadi bencana. Namun, jika ingin dinilai dari kualitas maka harus melek literasi.
"Kita masih terlalu sibuk dengan urusan jargon. Bukan esensi," ucapnya pada Sosialisasi Pembudayaan Kegemaran Membaca di Tasikmalaya, Jumat , 1 November 2024, mengutip kanal Regional Liputan6.com.
Budi mencontohkan korban-korban judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol). Mereka bukannya tidak mampu membaca, namun tidak mampu membaca keadaannya sendiri. Literasi saat ini punyai banyak motif, tapi tetap budaya membaca yang menjadi dasarnya.
Urusan soal bisa membaca, Indonesia sudah termasuk maju. Lain soal jika dari segi literasi, masyarakat Indonesia masih tertinggal.Pegiat literasi Nero Taopik Abdillah menjelaskan salah satu penyebabnya adalah bahan bacaan yang kurang.
Ruang Baca Bagi Masyarakat
TIdak banyak institusi yang concern terhadap budaya baca dan literasi. "Diksi literasi untuk kesejahteraan sebetulnya agak berat, karena akan menjadikan literasi sebagai praktik sosial," ujar Opik, sapaan akrabnya.
Namun, Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas, Adin Bondar, justru mengatakan makna kesejahteraan itu multidimensional. Orang yang literat pasti berbasis ilmu pengetahuan. Kemampuan hidup yang baik harus dilandaskan pada literasi yang kuat agar mampu bersaing.
"Kualitas sumber daya manusia bisa didorong dengan perilaku membaca dan memperbanyak aksesibiltas terhadap ilmu pengetahuan. Karena kemiskinan dan stunting tidak semata-mata dinilai dari indikator ekonomi," urai Adin. Yang justru perlu dikedepankan adalah tugas perpustakaan dan TBM untuk mendiseminasi pengetahuan agar dapat dijamah oleh masyarakat agar persoalan kemiskinan dan stunting dapat diantisipasi.
Kecakapan literasi selalu berkorelasi dengan kemakmuran. "Membangun ruang-ruang baca bagi masyarakat dan memberikan pelatihan pada fasilitator daerah seperti pengelola perpustakaan dan taman bacaan adalah tugas pemerintah," terang Adin.
Advertisement