Liputan6.com, Jakarta - Memperingati Hari Guru Nasional (HGN) 2024, tulisan ini bertujuan memberikan masukan secara spesifik terkait fokus Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berdasarkan pengalaman Wahana Visi Indonesia (WVI) di 20 kota dan kabupaten di Indonesia.
Menurut berbagai literatur, diantaranya Siagian dan Artha (2023) dan pengalaman WVI di lapangan, kuantitas serta kualitas kompetensi guru adalah salah dua kunci kesuksesan pendidikan dasar.
Advertisement
Bicara kuantitas, di Asmat serta wilayah lain di Papua misalnya, banyak sekolah yang tidak dihadiri oleh guru karena kendala jarak, keamanan, dan cuaca.
Bagaimana dengan kualitas? Kami sendiri masih menemui guru yang tidak paham dengan apa yang harus diajarkan pada murid-muridnya, karena akses yang tidak memadai untuk mengembangkan kompetensinya, padahal ketulusan dan potensi mereka sangat besar.
Guru-guru di banyak wilayah terutama 3T (tertinggal, terdepan, terluar) lebih terbatas kesempatannya untuk belajar karena minim fasilitas, pelatihan yang berkualitas, dan insentif. Apalagi gaji atau honor sebagai guru honorer/komita tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Alhasil, mereka terpaksa mengerjakan pekerjaan lain agar mendapatkan tambahan penghasilan.
Dengan kondisi tersebut, maka salah satu fokus yang disampaikan oleh Menteri Dikdasmen, Prof.Abdul Mu’ti juga menjadi valid. Beliau menyampaikan bahwa kesejahteraan guru dan penguatan karakter akan menjadi fokus kerja utama di 100 hari pertama kementeriannya.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, dengan kualitas hidup guru yang lebih baik, keamanannya terjaga, khususnya di wilayah rawan konflik, guru bisa fokus pada peningkatan kompetensi dan kualitas pelayanan agar dapat memberikan pendidikan lebih baik.
Problem Pemerataan Pendidikan
Selain itu problem pemerataan juga menjadi penting, baik kuantitas maupun kualitas. Dari sisi ketersediaan guru dan tenaga pendidik khususnya di wilayah 3T, tak jarang ditemui bahwa kondisi geografis dan infrastruktur yang belum memadai membuat sebagian sekolah masih sulit dijangkau dan cenderung menjadi pilihan terakhir untuk bekerja.
Banyak pemuda-pemudi setempat tidak melihat profesi guru di daerah asal mereka akan memberikan karir yang diimpikan sebagai pegangan hidup di masa depan.
Di sisi lain, mereka juga membutuhkan pengalaman di luar wilayah agar memiliki perspektif baru ketika mengajar. Kembali dan mengabdi pada wilayah dimana kita dilahirkan bisa menjadi paradoks jika pemerintah tidakmemberikan perhatian pada para guru di daerah.
Kementerian juga perlu terus berkoordinasi dengan dinas di daerah dan yayasan-yayasan pendidikan, untuk memetakan kebutuhan guru dan memastikan kualitas yang merata sesuaidengan standar kementerian.
Sinergi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi juga perlu dilakukan untuk memberikan prioritas pada guru-guru tersebut agar mendapat beasiswa dan kesempatan belajar di luar wilayah.
Setop Pakai Jargon Guru Tanpa Tanda Jasa
Mari kita berhenti menggunakan jargon pahlawan tanpa tanda jasa untuk guru karena guru memang tidak membutuhkan tanda jasa. Mereka membutuhkan kehidupan yang baik dan layak karena di tangan merekalah terletak nasib pendidikan anak bangsa.
Fokus Kementerian untuk memprioritaskan kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru harus dilakukan secara merata di seluruh Indonesia. Ini jauh lebih penting dibandingkan merancang program yang kurang sesuai bagi daerah pelosok.
Mata pelajaran berbasis teknologi seperti coding yang sudah menjadi wacana, akan semakin menjauhkan jarak kualitas pendidikan antara anak-anak di wilayah perkotaan dan pelosok. Mengajarkan coding pada anak membutuhkan infrastruktur yang mumpuni. Sementara di daerah ada banyak guru yang mengoperasikan laptop saja masih tidak bisa.
Jangan sampai cita-cita mengejar ketinggalan dari negara lain, justru membuat anak-anak di wilayah terpencil jauh ditinggalkan.
Upaya mewujudkan Indonesia Emas harus didasari dengan upaya untuk menyetarakan kualitas pendidikan dasar yang baik bagi seluruh anak bangsa. Bukan hanya untuk anak-anak di wilayah tertentu saja. Sebagai negara majemuk dan terdiri atas kepulauan, penting untuk mengembangkan program yang mengakomodasi potensi dan kebutuhan sesuai perbedaan tersebut.
Kualitas pendidikan dasar adalah fondasi masa depan bangsa Indonesia, sangat ditentukan oleh kompetensi serta dedikasi para guru. Jika memakai analogi kendaraan, mencapai Indonesia Emas memerlukan kendaraan super yang dapat melaju cepat. Pendidikan adalah salah satu kendaraantersebut. Guru adalah mesin penggeraknya.
Jika beban mesin terus ditambah sementara bahan bakar selalu kurang, bahkan kadang ada kadang tidak, maka Indonesia Emas akan berlalu begitu saja.
Di Hari Guru Nasional ini, mari kita bayangkan tugas yang mereka emban, dari mulai pedagogi, literasi dasar,membangun karakter, beban administrasi, problem kepemimpinan, tuntutan kemajuan teknologi,dan sebagainya.
Masih ada waktu untuk melakukan riset sederhana terkait kebutuhan pendidikan dasar dan menengah. Hasil riset itu tentu akan sangat membantu pemerintah mengambil kebijakanyang tepat terkait kesejahteraan guru, pengembangan kompetensi, pendampingan, dan sebagainya, bukan berdasarkan perkiraan dari sebagian orang yang mungkin tidak terlalu memahami kondisi lapangan di daerah.
Guru bukanlah manusia setengah dewa, tetapi jika pemerintah berniat memperbaiki pendidikan dasar, maka pertama-tama pikirkan nasib gurunya. Menyelamatkan nasib guru, adalah menyelamatkan nasib anak-anak bangsa.
**Penulis Marthen S. Sambo – Manajer Pendidikan Wahana Visi Indonesia
Advertisement