Liputan6.com, Jakarta Polusi udara Jakarta dan kota-kota di sekitarnya seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Depok dan Bekasi kerap menjadi isu yang dibahas. Data menunjukkan bahwa indeks kualitas udara di kawasan ini sering kali berada di level tidak sehat.
Pada hari ini, Selasa, 26 November 2024 dari data yang dibagikan IQAir terlihat kota Depok, Jawa Barat memiliki di angka 155 dengan warna merah yang merupakan indikasi tingkat kualitas udara tidak sehat.
Advertisement
Lalu, pernah di tanggal 13 Agustus 2024, Jakarta mencatatkan indeks kualitas udara (AQI) tertinggi di dunia dengan skor 177, yang masuk dalam kategori tidak sehat.
Namun, bukan cuma Jakarta dan Depok serta kota-kota Jakarta yang tidak sehat. Data IQAir Selasa, 26 November 2024 menunjukkan Kota Denpasar, Kota Surabaya dan Kabupaten Badung juga merah.
Dalam kondisi seperti ini bertahun-tahun, tidak sedikit warga mulai mempertimbangkan langkah drastis pindah tempat tinggal ke area dengan tingkat polusi udara rendah demi kesehatan. Tapi, apakah itu solusi terbaik?
Pemikiran untuk pindah tempat tinggal muncul di benak Aji (37) seorang warga Tangerang Selatan. Namun, hingga kini ia masih maju mundur untuk pindah ke kota asal orangtuanya di Purwokerto. Pemikiran pindah tempat tinggal lantaran sang buah hatinya yang berumur tiga tahun kerap alami masalah pernapasan saat berada di Tangerang Selatan. Namun, ketika berada di Purwokerta selamabeberapa minggu masalah pernapasan sang anak tidak muncul.
Cek, Benar atau Tidak Polusi Udara Pemicu Permasalahan Pernapasan
Pindah tempat tinggal tentu tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan mulai dari rumah hingga mata pencaharian.
Dari aspek kesehatan, dokter spesialis paru Desilia Atikawati mengungkapkan bahwa memang pasien yang memiliki masalah pada pernapasan seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) lebih rentan terhadap polusi udara. Namun, untuk sampai pindah tempat tinggal yang minim polusi udara tentu tidak mudah.
Sebelum pindah tempat, Desi mengungkapkan bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah memastikan penyebab gangguan pernapasan yang terjadi pada pasien tersebut apakah benar karena polusi udara?
"Apakah polusi udara yang menjadi penyebab utama dari gangguan pernapasan pasien? Kita cari tahu itu dulu," katanya.
Setelah diketahui penyebab, maka diberi pengobatan atau terapi yang sesuai.
Advertisement
Upayakan untuk Pakai Masker di Luar Ruangan dan Maksimalkan Kualitas Udara Indoor
Lalu, pasien juga diminta untuk mengupayakan untuk melakukan berbagai tindakan menjaga saluran pernapasan. Seperti memakai masker saat di luar ruangan meski saat ini COVID-19 tak lagi jadi pandemi.
"Justru sekarang di outdoor perlu pakai masker ya, ada masker N95 yang bisa memfilter lebih banyak partikel polusi," kata Desi dalam wawancara eksklusif bersama RS Pondok Indah Puri Indah Jakarta secara daring pada Senin, 25 November 2024.
Lalu, upayakan juga untuk meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan (indoor). "Salah satu caranya dengan memakai air purifier," lanjutnya.
Kalau semua sudah diupayakan dan masih terganggu pernapasan, Desi mengungkapkan bisa dicoba untuk pindah tempat tinggal di tempat dengan polusi udara rendah.
"Nanti dilihat ada perbaikan atau tidak," katanya lagi.
Efek Polusi Udara pada Paru
Desi mengungkapkan polusi udara level tinggi lama-lama akan memengaruhi banyak organ tubuh. Bukan cuma paru, tapi juga organ tubuh lain seperti jantung, mata dan pembuluh darah.
"Pada saluran pernapasan, pajanan polusi terus menerus dalam level yang tinggi bisa mengganggu saluran nafas yang lama-lama akan menurunkan pertahanan," tutur Desi.
Kondisi pertahanan saluran pernapasan dan paru yang menurun bakal lebih rentan terhadap bakteri dan virus. "Jadi, seseorang mudah mengalami infeksi di paru, seperti pneumonia," kata Desi.
Advertisement