Liputan6.com, Tel Aviv - Kabinet Israel pada hari Minggu (24/11/2024) memberikan suara bulat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Haaretz, surat kabar tertua di negara itu. Keputusan ini diambil karena Haaretz memberikan liputan kritis mengenai perang yang dilancarkan Israel setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Liputan Haaretz termasuk investigasi terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) seiring meluasnya operasi militer di Jalur Gaza ke Lebanon.
Advertisement
Sanksi diberlakukan setelah Menteri Komunikasi Israel Shlomo Kar’i mengajukan proposal yang akan menghentikan iklan pemerintah di Haaretz dan membatalkan semua langganan surat kabar untuk pegawai negeri serta karyawan perusahaan milik negara.
Dalam pernyataannya setelah pemungutan suara, Kar’i seperti dilansir CNN, Rabu (27/11), mengatakan, "Kita tidak boleh membiarkan keadaan di mana penerbit surat kabar resmi Israel menyerukan sanksi terhadap negaranya dan mendukung musuh-musuh negara di tengah perang, sementara badan internasional merongrong legitimasi Israel, haknya untuk membela diri, dan bahkan memberlakukan sanksi terhadap negara serta pemimpin-pemimpinnya."
Amos Schocken, penerbit Haaretz, mendapat kritik karena menyebut "pejuang kebebasan" Palestina dalam pidatonya pada acara yang diselenggarakan oleh Haaretz di London pada 27 Oktober.
Schocken dilaporkan mengatakan saat itu, "Pemerintah (Israel) tidak peduli dengan penerapan rezim apartheid yang kejam terhadap rakyat Palestina. Pemerintah mengabaikan harga yang harus ditanggung kedua belah pihak untuk mempertahankan permukiman, sementara memerangi pejuang kebebasan Palestina yang disebut Israel sebagai teroris."
Setelah mendapatkan banyak kecaman di Israel, Schocken mengklarifikasi bahwa dia tidak menganggap militan Hamas sebagai pejuang kebebasan.
Haaretz menjelaskan dalam editorialnya bahwa pernyataan Schocken merujuk pada "warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan dan penindasan di Tepi Barat". Meski begitu, Haaretz menegaskan bahwa Schocken keliru dengan menyebut siapa pun yang sengaja melukai dan meneror warga sipil sebagai "pejuang kebebasan" dan seharusnya menyebut mereka sebagai "teroris".
Dalam pidatonya, Schocken menyerukan pula agar dunia mengenakan sanksi terhadap pemimpin Israel sebagai satu-satunya cara untuk memaksa perubahan kebijakan pemerintah.
"Apa yang terjadi di wilayah pendudukan dan sebagian Gaza bisa disebut Nakba kedua," ujarnya.
"Negara Palestina harus dibentuk dan satu-satunya cara untuk mewujudkannya adalah dengan memberi sanksi pada Israel, pada pemimpin-pemimpinnya, dan para pemukim."
Selain pernyataan Schocken di London, Kar’i dalam pernyataannya pada hari Minggu juga menuturkan, "Keputusan ini diambil setelah banyak artikel yang merusak legitimasi Israel di dunia dan haknya untuk membela diri."
Haaretz mengecam keputusan pemerintah, menyebutnya sebagai "langkah lain dalam upaya Benjamin Netanyahu untuk menghancurkan demokrasi Israel".
"Seperti teman-temannya (Vladimir) Putin, (Recep Tayyip) Erdogan, dan (Viktor) Orban, Netanyahu berusaha membungkam surat kabar yang kritis dan independen," tegas Haaretz.
"Haaretz tidak akan mundur dan tidak akan berubah menjadi alat propaganda pemerintah."
Langkah pemerintah Netanyahu diambil dua bulan setelah militer Israel menutup kantor Al Jazeera di Ramallah dan enam bulan setelah pemerintah menutup operasi penyiaran Al Jazeera di Israel, yang memicu kecaman dari PBB dan kelompok hak asasi manusia.
Sementara itu, pada hari Jumat (22/11), Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) melaporkan bahwa setidaknya 137 jurnalis dan pekerja media termasuk di antara puluhan ribu orang yang tewas di Jalur Gaza, Tepi Barat, Israel, dan Lebanon sejak perang dimulai. Ini menandai periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada 1992.