Liputan6.com, Jakarta - Trem merupakan moda transportasi warga ibu kota tempo dulu saat masih bernama Batavia. Transportasi ini cukup maju, sehingga sangat diminati warga Batavia saat itu.
Mengutip dari indonesia.go.id, penumpang trem dibedakan antara kelas penumpang etnis Eropa dan pribumi. Hadirnya trem diawali pada 1869 berupa trem kuda.
Trem bertentuk kereta panjang itu dapat memuat 40 orang penumpang. Moda trem kuda ini mengingatkan pada istilah masa dulu, zaman kuda gigit besi, yang sempat tenar di kalangan warga Jakarta era 1970 sampai 1990-an.
Baca Juga
Advertisement
Sayangnya, moda transportasi ini menyebabkan. banyak kuda penarik trem yang mati. Kotoran kuda-kuda tersebut juga berserakan di jalanan. Hingga akhirnya pada 1881, trem kuda digantikan dengan trem uap.
Saat itu, kereta tak lagi ditarik kuda, melainkan lokomotif yang dijalankan dengan ketel uap. Rutenya pun lebih panjang, yakni dari Pasar Ikan hingga Jatinegara.
Jalur trem kemudian bercabang di kawasan Harmoni. Selain ke arah Tanah Abang, jalur trem juga menjalar ke Jatinegara melintasi Pasar Baru-Gunung Sahari-Kramat-Salemba-hingga Matraman.
Lebih dari 30 tahun kemudian, trem uap pun tergeser oleh trem listrik. Hal itu juga disebabkan oleh perkembangan teknologi. Berada di bawah kendali Bataviasche Verkeers Maatschappij (BVM), trem di Batavia mengalami perubahan yang signifikan.
Perubahan juga terjadi pada lintas-lintas warisan NITM yang dilakukan program elektrifikasi secara bertahap dari April 1933 hingga 1934. Hasilnya, waktu tempuh perjalanan dari Jakarta Kota ke Jatinegara memangkas waktu 10 menit menjadi 47 menit saja.
Pada 1934, BVM mengalami puncak kejayaan. BVM mengoperasikan lima lintas trem listrik dengan total panjang lintasan 41 kilometer.
Memasuki era pendudukan Jepang periode 1942-1945, perusahaan BVM pun diambil alih Jepang. Perombakan besar-besaran dilakukan, termasuk menghapus sistem kelas, memecat warga belanda yang jadi pekerja BVM, periasan simbol-simbol Jepang pada badan trem, serta dibangunnya jalur ganda pada lintas Gunung Sahari sampai Pal Putih.
Pada 13 Oktober 1945 atau setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, terjadi pengambilalihan perusahaan Jakaruta Shiden ke pihak Indonesia. Namanya kemudian diubah menjadi Trem Djakarta Kota.
Pada 1957, Trem Djakarta Kota dinasionalisasi menjadi Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD). PPD kemudian hanya mengoperasikan trem tersebut sampai 1962 karena dianggap tidak cocok dengan tata ruang kota besar. Trem di Jakarta kemudian digantikan oleh bus PPD, oplet, dan kereta api listrik (KRL) Jabodetabek yang mulai beroperasi pada 1979.
Bukti Jejak Trem Batavia
Sementara itu, bukti jejak adanya trem di masa itu dibuktikan dengan temuan rel trem di kedalaman 27 cm. Kurang lebih ada 118 span rel atau sepanjang 1,4 km yang ditemukan di proyek MRT Jakarta.
Temuan ini ditemukan saat PT Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta membangun jalur bawah tanah Fase 2A dari stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI) hingga Stasiun Kota. Ditemukan banyak artefak dan jejak sejarah era Batavia abad 16 hingga awal abad 20.
Selama proses ekskavasi proyek MRT Fase 2A itu ditemukan puluhan artefak, mulai dari tulang sendi dan gigi hewan pemamah biak seperti kerbau, fragmen keramik Tiongkok, fragmen keramik Eropa, peluru, botol tembikar, hingga koin Belanda. Temuan artefak tersebut diperkirakan berasal dari abad 18 hingga 20 Masehi.
Puluhan artefak itu ditemukan di 14 titik penggalian di sepanjang kawasan konstruksi MRT Fase 2A, yakni bawah tanah Jalan MH. Thamrin dan sebagian Jalan Medan Merdeka Barat. Ragam artefak tersebut ditemukan dengan penggalian kedalaman 100 hingga 150 cm.
Adapun rel trem Batavia ditemukan di jalur Harmoni-Glodok. Rel trem tersebut ditemukan bersama sejumlah objek cagar budaya maupun objek yang diduga cagar budaya (OBCD), yakni Jembatan Glodok, saluran pipa air kuno Batavia (Terakota), cerucuk kayu, Tugu Jam Thamrin, dan temuan lepas lainnya.
Rel trem peninggalan Belanda yang ditemukan dalam proyek pembangunan MRT Fase 2A merupakan yang tertua di Indonesia. Arkeolog yang menjadi konsultan dalam proyek MRT Fase 2A tersebut mengatakan bahwa rel kereta pertama dalam sistem perkeretapian di Indonesia dibangun pada 1869.
Rel kereta berikutnya setelah Batavia adalah yang menghubungkan Kota Semarang dengan Stasiun Tanggung. Trem juga dioperasikan di Kota Surabaya sejak 1889, kemudian diberhentikan total pada 1970.
Saat ini, trem listrik di Jakarta memang sudah tidak digunakan. Namun, rel trem tersebut tidak pernah dihilangkan, melainkan dibenamkan di bawah jalan. Adapun untuk merawat jejak sejarah era Batavia, MRT Jakarta membangun galeri di Stasiun MRT Monas dan MRT Kota yang rencananya mulai beroperasi pada 2029.
Penulis: Resla
Advertisement