Liputan6.com, Palembang - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan (Sumsel) sudah berlangsung dari Rabu (27/11/2024) pagi di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sudah disediakan.
Ada sebanyak 6.382.739 orang yang tercatat sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) Sumsel, yang tersebar di 241 kecamatan, 3.249 desa/kelurahan di 17 kabupaten/kota di Sumsel.
Di Kota Palembang Sumsel sendiri, ada sebanyak 1.225.548 orang DPT. Angka tersebut melonjak naik sebanyak 15.648 pemilih, dibanding pilkada sebelumnya yang hanya sebanyak 1.241.196 pemilih.
Walau jumlah DPT di Palembang sudah melonjak tajam, tetapi masih banyak warga Palembang yang tidak menyalurkan hak suaranya di TPS yang sudah ditentukan.
Baca Juga
Advertisement
Seperti Yuli, warga Jakabaring Palembang yang tidak bisa mencoblos di TPS di dekat rumahnya. Dia terpaksa tidak bisa ikut pesta rakyat di 2024 ini, karena jarak yang jauh.
“Dari pemilihan presiden (pilpres) kemarin dan pilkada sekarang juga, saya tidak bisa mencoblos, padahal kertas DPT saya sudah ada di rumah ibu. Karena sekarang saya sudah menetap di Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel,” ujarnya kepada Liputan6.com.
Dia sangat ingin mengikuti proses pemilihan kepala daerah di Palembang dan Sumsel, namun jarak dari Musi Banyuasin ke Palembang sekitar 5 jam yang sulit dijangkaunya. Apalagi dia masih mengasuh kedua putrinya yang masih kecil.
Walau tidak bisa menyalurkan hak suaranya karena tinggal di Musi Banyuasin, namun dirinya tak berniat untuk berpindah kependudukan di sana. Dia tetap ingin menjadi warga Palembang dan akan mengikuti pemilu 5 tahun lagi di Palembang.
“Saya sudah cinta dengan Palembang dan tidak ada niat mengurus perpindahan KTP ke Musi Banyuasin. Di sini cuma tempat mencari uang saja. Semoga pemilu lima tahun ke depan, saya bisa ikutan nyoblos,” ujarnya.
Lain lagi dengan Bagus, warga Kecamatan Kalidoni Palembang ogah menyoblos surat suara dan memilih golput, padahal dirinya sudah datang ke TPS yang terdaftar di kertas DPT.
Menurutnya, tak ada satu pun pasangan calon (paslon) yang menarik perhatiannya, baik di Pilkada Palembang maupun Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumsel.
Apalagi ada dua timses dari paslon Pilgub Sumsel dan Pilkada Palembang yang memberikan amplop ke dirinya, untuk memilih salah satu paslon. Hal tersebut membuatnya semakin antipati dengan seluruh paslon.
“Saya dapat serangan fajar, amplopnya ada dua, masing-masing berisi uang Rp50.000 dengan syarat harus dukung paslon di Pilkada Palembang dan Pilgub Sumsel. Saya kembalikan amplop itu. Jadi illfeel. Semakin yakin dengan pilihan saya jadi golput, walau baru kali ini saya tidak menyoblos,” ucapnya.
Golput juga dipilih oleh Wahyu, warga Kecamatan Ilir Timur 3 Palembang. Sejak usia 17 tahun dan mendapatkan haknya sebagai pemilih, Wahyu tidak pernah menggunakannya sama sekali.
Coblos Semua Gambar
Dia menilai, siapapun yang menang, tak akan berpengaruh langsung ke dirinya dan keluarganya. Apalagi dia kurang tertarik dengan isu-isu perpolitikan.
“Tak pernah ada kata untuk memberikan suara saya ke siapapun. Walau saya tahu dengan semua paslon di Pilkada Palembang dan Pilgub Sumsel, tapi untuk apa memilih. Tak ada pengaruh apapun ke hidup saya,” ujarnya.
Berbeda dengan Bunga, warga Kelurahan 2 Ilir Palembang yang datang ke TPS dan menyoblos surat suara, pada Rabu pagi. Dia berangkat ke TPS bersama ibunya, Yana.
Ibunya selalu menekankan pentingnya menyalurkan hak suara, sebagai warga Indonesia yang baik. Sehingga dia terpaksa ikut coblos kertas suara di TPS dekat rumahnya, padahal dirinya ingin sekali golput.
“Tapi saya coblos semua gambar paslon Pilgub Sumsel dan Pilkada Palembang, biar adil. Seperti Sila ke-5, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Alasannya mencoblos semua gambar paslon, karena dirinya tidak percaya dengan janji manis saat kampanye calon kepala daerah (cakada) di Palembang dan Sumsel.
Dia juga tak mau surat suaranya disalahgunakan oleh oknum tak bertanggungjawab untuk mendukung salah satu paslon. Oleh karena itu, dia lebih memilih merusak surat suaranya.
Advertisement