Liputan6.com, Jakarta - Publikasi panduan perjalanan, Fodor, kembali merilis daftar anual Fodor's No List, dan menunjuk Bali sebagai salah satu destinasi paling tidak layak dikunjungi pada 2025. Alasannya? Pulau Dewata dianggap belum menuntaskan masalah sampah yang menahun.
Setiap tahun, Fodor's No List bertujuan menyoroti destinasi yang popularitasnya menurun drastis. Lokasi-lokasi ini populer karena alasan yang tepat—menakjubkan, menarik, dan penting secara budaya. Namun, beberapa destinasi wisata yang sangat didambakan ini tergerogoti beban popularitasnya sendiri," kata Fodor, dikutip dari situs webnya, Rabu, 27 November 2024.
Advertisement
Faktor kunci dalam tantangan ini, kata mereka, sering kali adalah kecenderungan pemerintah memprioritaskan pengalaman wisatawan daripada kesejahteraan penduduk setempat. "Hal tersebut dapat menyebabkan perubahan tidak terhindarkan di destinasi-destinasi ini, membuat tempat-tempat ini jadi sangat mahal, homogen, bahkan hancur."
"Menjelajahi kota-kota yang penuh dengan wisatawan membuat frustrasi; bertamasya di kota-kota yang penduduk setempatnya tidak suka dengan kehadiran Anda membuat kesal; dan berkeliaran di alam yang dipenuhi sampah membuat depresi," tulis pihaknya.
Pembangunan yang cepat dan tidak terkendali akibat pariwisata yang berlebihan telah merambah habitat alami Bali, mengikis warisan lingkungan dan budayanya, serta menciptakan "kiamat plastik." Industri pariwisata dan lingkungan alam Bali terkunci dalam hubungan sirkular yang rapuh.
Ekonomi Bali tumbuh subur berkat keramahtamahan yang bergantung pada kesehatan lanskap alamnya. Dampak ini tercermin dalam angka-angka terkini.
Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, pulau ini mencatat sekitar 5,3 juta turis asing pada 2023, menunjukkan pemulihan yang kuat dibandingkan dengan tingkat sebelum pandemi, meski di bawah 6,3 juta pengunjung tahun 2019.
Tekanan Luar Biasa
Pada tujuh bulan pertama tahun 2024, jumlah wisatawan asing meningkat jadi sekitar 3,5 juta, menandai peningkatan 22 persen dibandingkan jangka waktu yang sama pada 2023. Pulihnya tren perjalanan pascapandemi memperparah tekanan di pulau ini.
Meski gelombang wisatawan telah meningkatkan ekonomi, hal itu juga memberi tekanan luar biasa pada infrastruktur Bali. Pantai-pantai yang dulunya bersih kini terkubur di bawah tumpukan sampah, dengan sistem pengelolaan sampah lokal yang berjuang keras untuk mengatasinya.
Bali Partnership, sebuah koalisi akademisi dan LSM yang bekerja untuk mempelajari dan memecahkan masalah pengelolaan sampah, memperkirakan pulau ini menghasilkan 1,6 juta ton sampah setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sampah plastik mencapai hampir 303.000 ton.
Meski volume sampah ini sangat besar, hanya 48 persen dari semua sampah yang dikelola secara bertanggung jawab, dan hanya tujuh persen sampah plastik yang didaur ulang. Kondisi ini mengakibatkan 33 ribu ton plastik masuk ke sungai, pantai, dan laut Bali setiap tahun, menimbulkan ancaman serius bagi ekosistem pulau ini.
"Pengelolaan sampah Bali hampir tidak mampu mengimbangi volume sampah, dan itu masih jauh dari kata cukup," kata Kristin Winkaffe, seorang pakar perjalanan berkelanjutan yang berfokus pada Asia Tenggara.
Advertisement
Kiamat Plastik di Bali
Gary Bencheghib, salah satu pendiri Sungai Watch, sebuah kelompok lingkungan berbasis masyarakat yang bekerja untuk melindungi sungai-sungai Bali, menyebut situasi ini sebagai "kiamat plastik" dan perjuangan yang berat. WWF telah mengkritik pesatnya perkembangan pariwisata Bali selama beberapa dekade.
Mereka menerbitkan laporan pada 2007 yang menyatakan, "Pembangunan pariwisata Bali berlangsung cepat dan tanpa perencanaan yang matang atau mematuhi aturan pembangunan berkelanjutan. Karena itu, pariwisata telah menyebabkan kerusakan serius pada lingkungan pulau ini."
Seorang perwakilan WWF, yang tidak berwenang untuk berbicara mengenai masalah ini, mengatakan pada Fodor bahwa saat ini, "perluasan pesat Bali telah menimbulkan konsekuensi lingkungan yang parah." "Pariwisata di sini berkembang dengan pandangan ke depan dan investasi yang minim dalam keberlanjutan, sehingga membuat ekosistem Bali sangat rentan," sebut dia.
Ia menyambung, "Tanpa intervensi yang signifikan, kita berisiko melihat beberapa kawasan alam yang paling berharga di Bali menghilang sama sekali." Kualitas air di pulau itu juga terancam berbagai polutan.
Sebuah laporan dari Bank Pembangunan Asia menyebutkan bahwa "nutrisi yang berlebihan, senyawa organik, dan logam berat dari air limbah domestik, industri, pertambangan, pertanian, dan akuakultur merupakan sumber polusi yang paling signifikan."
Hal ini, menurut Fodor, mencerminkan tren yang berdampak lebih besar pada semua kota pesisir di Indonesia. "Hanya 59 persen penduduknya yang memiliki akses ke sanitasi lebih baik, sehingga meningkatkan tekanan antropogenik pada sistem air alami setempat," ungkap outlet tersebut.
Tidak Semata Mempertaruhkan Pemandangan Indah
Marta Soligo, asisten profesor di William F. Harrah College of Hospitality di University of Nevada, Las Vegas, AS, mengatakan bahwa isu-isu ini "menjelaskan semakin banyak akademisi pariwisata yang mempelajari destinasi, seperti Bali, mengkritik 'keharusan pertumbuhan ekonomi,' yang sering kali diusulkan perusahaan dan operator tur yang berkantor pusat di negara-negara Barat."
Hal ini menekankan pertumbuhan ekonomi dan memprioritaskan keuntungan jangka pendek daripada keberlanjutan jangka panjang. "Penting juga untuk merenungkan kualitas kehidupan sehari-hari penduduk karena hal ini sering kali menimbulkan berbagai isu, seperti meningkatnya biaya hidup, polusi suara, dan kemacetan lalu lintas, yang sudah terjadi di Bali," kata Soligo.
"Selain itu, pariwisata yang berlebihan dapat memperburuk hubungan yang saling bertentangan antara wisatawan dan penduduk karena kurangnya rasa hormat pengunjung terhadap masyarakat setempat dan penduduk setempat merasa kewalahan oleh keramaian.”
Winkaffe setuju, dengan mengatakan, "Pariwisata yang berlebihan memengaruhi inti kehidupan masyarakat Bali. Praktik tradisional seperti sistem irigasi subak, yang telah menopang sawah selama berabad-abad, kini mengalami tekanan karena air dialihkan ke daerah wisata."
Ia menambahkan, "Tanpa perubahan, kita mempertaruhkan lebih dari sekadar pemandangan yang indah. Kita berisiko kehilangan identitas budaya itu sendiri." Bali sebelumnya masuk dalam Fodor's No List pada 2020.
Advertisement