Tarif PPN 12% Bakal Ditunda, Ekonom: Tak Jelas Maju Mundur

Penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang rencananya berlaku mulai 1 Januari 2025, kemungkinan besar akan ditunda. Hal itu lantaran pemerintah berencana untuk memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial ke kelas menengah.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 28 Nov 2024, 20:40 WIB
Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Kamis (29/12/2022). Penerimaan pajak tercatat melampaui target 2022 meskipun tanpa pelaksanaan program pengungkapan sukarela atau PPS dan kenaikan tarif pertambahan nilai atau PPN menjadi 11%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang rencananya berlaku mulai 1 Januari 2025, kemungkinan besar akan ditunda. Hal itu lantaran pemerintah berencana untuk memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial ke kelas menengah.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah pada dasarnya masih ingin terapkan PPN 12% dan berharap ada kenaikan pendapatan pajak untuk bayar utang dan program prioritas Prabowo. Namun kondisi daya beli sedang berat, sehingga keputusan harus diambil cepat. Misalnya lewat PP untuk batalkan kenaikan tarif 12% atau bahkan turun ke 8-9%.

"Secara politis muncul kekhawatiran bahwa 100 hari prabowo akan dirundung kekecewaan publik karena pajak makin berat. Akhirnya tidak jelas, maju mundur. Ini makin lama bingung imbasnya bisa ke kepastian dunia usaha," kata Bhima kepada Liputan6.com, Kamis (28/11/2024).

"Bahkan saya perkirakan akan terjadi pre-emptives inflation atau naiknya harga barang mendahului implementasi tarif ppn yang baru," imbuh Bhima.

Berdasarkan temuan CELIOS, PPN 12% berisiko menurunkan PDB hingga Rp 65,3 triliun, mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp 40,68 triliun. Artinya, PPN 12% mengancam pertumbuhan ekonomi 2025. Namun jika Pemerintah menurunkan tarif PPN menjadi 8% untuk menstimulus perekonomian, maka PDB bisa naik Rp 133,65 triliun.

"Daripada menaikkan PPN, Pemerintah masih memiliki alternatif penerimaan negara lainnya yang tidak membebani masyarakat miskin, seperti pajak kekayaan (wealth tax), pajak produksi batu bara, pajak windfall komoditas, pajak karbon, pajak minuman berpemanis," mengutip riset CELIOS.

 

 


Rumah Tangga Miskin

Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Bagi rumah tangga miskin, yang sebagian besar pengeluarannya sudah dialokasikan untuk kebutuhan pokok, tambahan biaya ini bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Kenaikan pengeluaran ini bisa mengurangi tabungan mereka, atau bahkan memaksa mereka untuk mengurangi kualitas konsumsi sehari-hari.

Bagi sebagian keluarga miskin, pengeluaran tambahan ini bisa menjadi beban yang sangat berat, mengingat penghasilan mereka yang terbatas dan ketergantungan pada barang-barang pokok yang kini semakin mahal. Dengan demikian, pengaruh kenaikan PPN ini sangat terasa di lapisan paling bawah masyarakat, yang sering kali kesulitan menghadapi perubahan harga yang cepat.

Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda menjelaskan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sebelumnya memastikan PPN naik menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Kebijakan ini diambil berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pada Bab IV Pasal 7 ayat (1) huruf (b) yang menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.

Menanggapi hal tersebut, Huda mencermati empat poin di antaranya yang pertama, ada pasal 7 nomor (3) dan (4) yang memberikan kewenangan pemerintah untuk menetapkan tarif PPN di rentang 5 persen hingga 15 persen melalui Peraturan Pemerintah. "Poin ini sekaligus membantah klaim Sri Mulyani hanya mematuhi undang-undang. Masih ada peluang pemerintah untuk membantu masyarakat agar tidak terbebani beban terlalu berat. Pajak karbon harusnya tahun 2022 dilaksanakan, namun sampai saat ini tidak diimplementasikan," kata Huda.

Kedua, beban terlalu berat ini berasal dari pelemahan daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen (y-o-y). Sedangkan secara q-to-q, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Kita mengalami deflasi 5 bulan secara berturut-turut (Mei-September).

"Pelaku UMKM mengaku turun omzetnya hingga 60 persen menurut BRI," ulas Huda.

Ketiga, pemerintah memang butuh uang untuk menambal defisit anggaran yang melebar. Paling mudah bagi pemerintah adalah dengan menaikkan tarif PPN. Namun, ada pos penerimaan lain yang belum tergarap yaitu penerimaan negara sektor tambang yang masih banyak ilegal. "Hasyim pernah menyampaikan ada Rp300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN," kata Huda.

Keempat, tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD. Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen.

"Atas dasar tersebut, kenaikan tarif PPN di tahun 2025 wajib dibatalkan. Akhir kata, pemerintah punya peluang untuk membuat tarif PPN yang tidak membebani masyarakat lebih dalam. Pemerintah punya kesempatan meringankan beban masyarakat. Namun pemerintah justru menambah beban yang dipikul oleh masyarakat," kata Huda.

 


Penerapan PPN

Ilustrasi pajak. (Photo by 8photo on Freepik)

Ekonom Senior dan Founder CORE Indonesia, Mohammad Faisal menilai penerapan PPN 12 persen berpotensi menekan industri manufaktur lebih lanjut lagi. Pasalnya, kondisi sekarang saja purchasing manager index (PMI) manufakturnya sudah mengalami kontraksi dalam beberapa bulan terakhir.

"Kalau ada tambahan beban lagi dari sisi biaya produksi tentu saja akan mengurangi tingkat profitabilitas dan akan bisa mendorong kontraksi lebih panjang. Apalagi juga ini bukan hanya dikenakan terhadap sisi produsen, tapi juga dari sisi konsumen," kata Faisal saat dihubungi secara terpisah.

Dari sisi konsumen, penerapan PPN 12 persen bisa mengurangi tingkat konsumsi masyarakat yang akan berpengaruh ke industri. Artinya, dari sisi pelaku industri tekanannya ada di dua sisi yakni dalam hal peningkatan biaya produksi dan dalam hal berkurangnya permintaan atau pembelian terhadap produk.

"Jadi produk-produk industri itu juga akan berkurang dari kelas menengah terutamanya. Sehingga yang pertama harus dilakukan sebetulnya pemerintah mempertimbangkan kembali pemberlakuan PPN 12% ini. Apalagi kan baru ada peningkatan PPN di 2022 kemarin," jelas Faisal.

Di sisi lain, Faisal mencermati efek pandemi covid-19 yang sempat meluluhlantakkan ekonomi belum sepenuhnya pulih. "Jadi yang terbaik adalah menunda kenaikan PPN 12% ini, dan menambah insentif-insentif di sektor-sektor terutama yang paling rentan pada saat sekarang," imbuh dia.

Alih-alih memaksa penerapan PPn 12 persen, Faisal mengatakan pemerintah mestinya lebih dulu memperbaiki dari sisi konsumsi atau daya beli. Sampai daya beli masyarakat belum menguat, maka PPN 12 persen sebaiknya ditunda dulu penerapannya.

"Jadi dalam kondisi seperti ini jangan dulu menurut saya. Kapan (PPN 12 persen) itu bisa diterapkan, ketika sudah ada perubahan tren, ada perubahan pola konsumsinya dari yang sekarang melemah kembali menguat. Jadi pada saat itu nah itu baru kemudian PPN sudah mulai bisa dikenakan ketika kelas menengahnya sudah kuat lagi konsumsinya," kata Faisal.

Sementara, menurut Faisal kuat atau lemahnya daya beli juga bergantung pada kebijakan pemerintah. "Jadi kebijakan untuk mendorong konsumsinya dulu yang harus diprioritaskan untuk bisa membandingkan kondisi. Nah baru kemudian ketika sudah kuat baru ada peningkatan tarif PPN," tambah Faisal.

Infografis Plus Minus Kenaikan PPN 12 Persen. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya