Liputan6.com, Seoul - Selalu ada yang menarik dari kisah diaspora Indonesia di berbagai belahan dunia, termasuk cerita Dwira Satria Arby yang tinggal di Korea Selatan.
Di usianya yang menginjak 26 tahun, Wira, sapaan akrabnya, sudah meraih gelar S2 dan bekerja sebagai peneliti di bidang material baterai untuk mobil listrik dan barang elektronik di perusahaan internasional asal Belgia, Umicore, di Kota Cheonan.
Advertisement
Awal dari kehidupan Wira di Korea Selatan dimulai dari ketertarikannya dengan bahasa Korea. Itulah sebabnya, setelah lulus dari Teknik Kimia Universitas Indonesia dalam waktu 3,5 tahun, Wira, mendaftar beasiswa dan diterima di bidang Teknik Sistem Energi di Seoul National University.
"Aku kuliah S2 di Korea dari 2021 lewat Global Korea Scholarship. Sebelumnya, aku belajar bahasa Korea setahun di kampus lain di sana. Jadi, total sudah hampir empat tahun di Korea," cerita Wira kepada Liputan6.com pada Selasa (26/11/2024).
Wira mengenal beasiswa tersebut dari kakaknya yang juga menerima beasiswa yang sama.
"Di Korea ini, kalau kita lulus S2, sertifikat S2 itu dihargai gitu. Bahkan, kalau apa yang kita pelajari dan lakukan di S2 selaras, S2 itu bisa dihitung sebagai pengalaman kerja dua tahun juga. Jadi, saat mulai masuk kerja pun gajinya tidak mulai dari gaji fresh graduate," tutur pria asal Jakarta itu.
Nyaman dengan budaya individualis dan serba cepat di Korea Selatan, serta kecocokannya dengan pekerjaannya, membuat Wira mantap meneruskan hidup di Negeri Ginseng.
"Kerjaan sudah cocok dengan segala benefit yang didapatkan dan gaji sudah oke di sini. Untuk gaji yang setara dengan aku di Indonesia mungkin pajaknya sudah sampai 20 persen atau di atas 25 persen, sedangkan di sini pajak penghasilanku hanya sekitar 6-7 persen," ungkap Wira.
Meski harus membayar pajak, serta potongan untuk pensiun dan asuransi kesehatan, total potongan yang mencapai 11 persen per tahun, Wira sama sekali tidak merasa keberatan karena benar-benar merasakan manfaatnya.
"Terasa kalau kita bayar pajak, pajaknya benar-benar terpakai untuk segala jenis subsidi atau support apa pun. Di sini, banyak banget subsidi, seperti kalau lahiran atau butuh bantuan di rumah sakit," ujar Wira.
"Fasilitas transportasi di Seoul nggak bisa dikalahin. Kemana-mana bisa naik bus, kereta, dan di busnya pun ada Wi-Fi gratis."
Wira tinggal selama dua tahun di Seoul dan sekarang masih sering bepergian ke sana pada akhir pekan.
Lebih lanjut, Wira menyinggung soal mekanisme pengembalian pajak di Negeri Ginseng.
"Untuk setiap orang yang kerja di Korea dan punya gaji minimal per tahun di atas Rp300 juta, kita dikasih semacam ambang batas pajak yang kita beri ke pemerintah. Jadi, kalau misalnya kita sering belanja, yang berarti kita memberi pajak ke pemerintah ditambah dengan pajak penghasilan kalau sudah melebih batas itu, yang lebihnya akan dikembalikan ke kita," jelas Wira.
Masih soal pengembalian pajak, Wira menambahkan, "Asal kita ajukan di situs web-nya, pajak bakal dikembalikan maksimal sekitar Rp36 juta ... Sebenarnya orang Korea melihat pendapatan per tahun kurang dari Rp300 juta itu seperti kurang mampu."
Kartu bank langsung terkoneksi dengan kartu tanda penduduk dan data-data pajak di sana, terang Wira, sehingga tidak perlu repot lapor pajak. Bila pembayaran dilakukan secara tunai maka cukup dengan memberi nomor telepon ke kasir agar dapat memasukkan pembelian ke data pajak.
Pengalaman Terbaik
Wira, yang juga pernah tinggal di Gwangju, menuturkan setiap kota di Korea Selatan yang sempat dihuninya punya satu hal yang menonjol, yaitu transportasi umum dan fasilitas pejalan kaki yang sangat memadai.
"Di sini, kemana-mana bisa naik bus dan trotoarnya juga lebar-lebar, nggak seperti di Indonesia. Di Korea Selatan, jalan kaki itu nyaman banget," ujar Wira, yang senang jalan kaki sambil mendengarkan musik.
"Nggak seperti di Indonesia yang harus naik mobil atau motor, di sini kebanyakan sudah tersebar gitu, nggak cuma di mal doang tempat belanjanya. Kalau di Korea tipenya tersebar di gedung-gedung yang nggak terlalu tinggi dan ada di setiap 'kecamatan', selalu ada pusat keramaian yang dekat dan dalam jangkauan jalan kaki."
Menurut Wira, menggunakan kendaraan pribadi justru kurang efisien, terlebih di Seoul yang sangat mengutamakan pejalan kaki.
"Kalau di Seoul punya mobil kayaknya lebih stressful saking banyak lampu merah di kotanya. Kalau buat pejalan kaki untuk menyeberang dikasih lampu merah dan itu banyak di jalan. Jadi, sedikit-sedikit ada lampu merah terus dan yang membuat Seoul macet itu lampu merahnya, bukan kepadatan mobilnya," ungkap Wira.
Trotoar di Korea juga didesain dengan pemandangan indah, seperti di sepanjang pinggir sungai, yang membuat pengalaman berjalan kaki menjadi sangat menyegarkan.
"Segala kenyamanan yang ada di Korea, seperti bisa jalan kaki kemana-mana, itu hal kecil yang aku sukai dan mungkin nggak bisa ditemuin di Indonesia. Bagi aku, pengalaman terbaik adalah menikmati hal-hal kecil seperti itu — jalan kaki dengan udara segar, nyaman, tanpa harus terburu-buru."
Advertisement