Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) berkomitmen untuk mengatasi persoalan tanah yang menjadi salah satu faktor utama tingginya harga rumah di Indonesia.
Wakil Menteri PKP, Fahri Hamzah menegaskan, pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) untuk menyelesaikan isu terkait kesediaan tanah.
Advertisement
"Pokoknya begini, kita ada masalah terkait kesediaan tanah. Kita mau nyelesaikan Persediaan tanah itu dan Generalnya namanya Pak Nusron Wahid Menteri ATR BPN," kata Fahri Hamzah saat ditemui di Menara BTN, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Ia mengakui, salah satu tantangan terbesar dalam pengadaan rumah terjangkau adalah ketersediaan tanah yang terbatas. Oleh karena itu, pihaknya tengah mengupayakan agar tanah tidak menjadi ajang spekulasi yang semakin memperburuk harga. Selain itu, Fahri juga menyoroti harga tanah yang terus melambung perlu diselidiki lebih lanjut.
"Jadi, persoalan tanah sedang kita urai masalahnya. Jangan sampai tanah itu menjadi ladang spekulasi yang menciptakan kesulitan kita untuk menyiapkan rumah murah, gara-gara tanah melambung tinggi oleh satu mekanisme yang Kita harus investigasi secara serius ini," ujarnya.
Tak hanya masalah tanah, Fahri juga mengungkapkan bahwa kendala lain dalam penyediaan rumah terjangkau adalah sistem perizinan yang masih rentan terhadap praktik korupsi, seperti suap dan sogok. Menurut dia, perilaku tersebut telah memperberat biaya pembangunan rumah, yang pada akhirnya mempengaruhi harga jual kepada masyarakat.
"Soal perizinan Ini juga adalah faktor menyebabkan biaya yang tinggi. Suap menyuap, sogok menyogok, ini harus dihentikan Presiden sudah minta berkali-kali berhenti korupsi, berhenti terima suap," ujarnya.
Pihaknya berharap melalui kolaborasi dengan Kementerian ATR dan pembenahan sistem perizinan, proses penyediaan rumah bagi masyarakat dapat semakin efisien dan terjangkau.
"Nah, ini mudah-mudahan akan menciptakan satu mekanisme yang baik sehingga otomatis nanti tanah atau rumah bagi rakyat itu semakin affordable semakin mudah dijangkau, semakin terjangkau, Itu tugas pemerintah memastikan hal itu," pungkasnya.
Bangun 3 Juta Rumah, Nusron Wahid Siapkan 1,3 Juta Ha Tanah Terlantar
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengabarkan, pihaknya telah mengamankan sekitar 1,3 juta ha tanah terlantar.
Jumlah itu disiapkan guna menampung permintaan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, guna dipakai untuk program pembangunan 3 juta rumah.
Namun begitu, Nusron menyampaikan, Kementerian ATR/BPN perlu mengkaji lebih lanjut apakah 1,3 juta ha tanah terlantar itu seluruhnya bisa dipakai untuk program pembangunan 3 juta rumah.
"Kalau kami punya tanah terlantar, potensi terlantar selama 5 tahun ke depan ini 1,3 juta ha. Cuman kita belum tahu, apakah 1,3 juta ha ini ada berapa yang cocok untuk perumahan," ujar Nusron di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Selasa (5/11/2024).
"Kan enggak mungkin, bekas kebun kelapa sawit dipakai untuk rumah. Ntar tinggalnya sama siapa di sana? Karena itu pasti kita carikan yang lokasi yang bagus yang bisa layak untuk tempat tinggal," dia menambahkan.
Dikuasai Negara
Nusron menjelaskan, lahan yang masuk kategori tanah terlantar tersebut otomatis dikuasai oleh negara. Selanjutnya, Bank Tanah akan menentukan tanah tak bertuan itu nantinya bakal menjadi hak siapa.
"Tinggal nanti negara memberikan HPL, hak penguasaan lahan. Kepada siapa kita bisa serahkan, kepada Land Bank. Nanti pembangunan rumahnya menggunakan hak di atas hak, yaitu HGB (hak guna bangunan) di atas HPL," terangnya.
Adapun pendataan tanah terlantar itu disiapkan untuk memenuhi permintaan Maruarar Sirait. Nusron Wahid dan Ara dijadwalkan akan bertemu di Kementerian ATR/BPN pada Selasa (5/11/2024) sore untuk membahas pemanfaatan tanah terlantar.
"Beliau datang ke sini, (Ara bertanya) kamu ada enggak tanah-tanah terlantar yang bisa dipakai untuk perumahan. Yasudah saya cariin, Insya Allah ada setelah kita identifikasi," kata Nusron
Advertisement
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Ungkap 6,4 Juta Hektare Tanah di Indonesia Bermasalah
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan ada 6,4 juta hektare tanah ekuivalen dengan 13,8 juta bidang tanah yang memiliki sertifikat tidak memiliki peta lahan. Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan sengketa lahan.
"Setelah saya dalami, akibat masa lalu itu memang ada sekitar 6,4 juta hektare, yang kalau di sertifikatnya itu jumlahnya 13,8 juta bidang (tanah). Ada sertifikatnya, tapi enggak ada petanya. Nah ini memang berpotensi tumpang tindih," kata Nusron Wahid di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (31/1/2024).
Politikus Partai Golkar itu mengatakan hampir seluruh konflik tanah yang terjadi di Indonesia bermuara pada persoalan 6,4 juta hektare lahan itu. Nusron berkomitmen untuk segera menyelesaikan
"Kalau toh enggak bisa menyelesaikan semua, minimal kan harus saya mengurangi. Tinggal 1 juta atau berapa. Supaya potensi konflik pada sengketa pada kemudian hari itu menurun. Kalau enggak selesai, kan konfliknya akan terus-menerus," ucap Nusron.
Menteri ATR/BPN menuturkan 6,4 juta hektare lahan itu tersebar merata di seluruh Indonesia. Dia berkata, tumpang tindih kepemilikan lahan dapat memicu konflik sengketa lahan.
"Objeknya itu ada di mayoritas ada di 6,4 juta hektare ini. Setiap ada konflik itu saya lihat selalu, saya review ini objeknya di situ. Karena selama ini objeknya selalu di situ terus menerus, maka kami datang," tuturnya.
Nusron mengeklaim telah melakukan upaya mengantisipasi terjadinya sengketa lahan dengan berkoordinasi dengan ke Kejaksaan Agung, Polri, dan aparat penegak hukum lainnya.
"Karena inilah yang potensi masalah sengketa tanah, kemudian konflik pertanahan, kemudian yang dimainkan oleh mafia tanah," ucap Nusron.
Nusron Wahid Ungkap Ada 537 Perusahaan Kelapa Sawit Beroperasi Tanpa Izin Selama 8 Tahun
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan ada 537 perusahaan atau badan hukum kelapa sawit beroperasi tanpa mengantongi sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Selama delapan tahun mereka menanam kelapa sawit di atas tanah negara tanpa izin.
Nusron Wahid menargetkan penyelesaian masalah terhadap 537 perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki hak guna usaha (HGU) tuntas pada Desember 2024.
"Targetnya sampai Desember ini harus selesai," ujar Nusron Wahid di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Nusron menjelaskan, hal itu terjadi dikarenakan adanya perubahan aturan yang merupakan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Berdasarkan UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, pada Pasal 42 disebutkan bahwa kegiatan usaha budi daya tanaman perkebunan dan usaha pengolahan hasil perkebunan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan apabila mendapatkan hak atas tanah dan atau izin usaha perkebunan.
Namun, Nusron Wahid mengungkapkan, pada 27 Oktober 2016, pasal tersebut dibatalkan oleh MK.
"Pasal ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yang kemudian berubah menjadi kalimat "dan atau" menjadi dan. Ataunya dihapus. Karena "dan ataunya" berubah menjadi "dan", maka berarti setiap yang menanam kelapa sawit yang budidaya itu harus, satu punya IUP perkebunan, satu punya HGU. Nah, akibat keputusan itu ada 537 perusahaan kelapa sawit yang tidak punya HGU," tuturnya.
"Berarti sejak tahun 2017, 2018, 2019, 2020, 2021, 2022, 2023, 2024. Selama 8 tahun ya. Selama 8 tahun yang bersangkutan itu menanam di atas tanah negara tanpa izin," sambungnya.
Advertisement
Konsultasi dengan Jaksa Agung
Menteri ATR/BPN itu mengaku tengah berkonsultasi dengan Jaksa Agung untuk menentukan sanksi atau denda yang akan dijatuhkan kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
"Ini yang lagi saya konsultasikan kepada Jaksa Agung. Apakah orang menanam di atas tanah negara, jutaan hektare selama 8 tahun itu masuk perbuatan melanggar hukum atau tidak," ucap Nusron Wahid.
Sedangkan, untuk pengenaan sanksi atau denda terhadap perusahaan-perusahaan tersebut sedang dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Kemudian yang sudah kadung menanam, mereka ini dendanya dikenakan berapa? Apakah sifatnya dendanya itu bagi hasil? Apakah dendanya dihitung sewa? Selama 8 tahun atau bagaimana? Kita serahkan sama juru hitungnya, BPKP," pungkasnya.