Liputan6.com, Jakarta - Geguritan merupakan salah satu bentuk karya sastra Jawa yang telah berkembang sejak zaman kerajaan. Sebagai warisan budaya yang adiluhung, geguritan tradisional memiliki ciri khas yang membedakannya dari puisi modern.
Mari kita telusuri lebih dalam keunikan geguritan klasik ini, mulai dari struktur hingga makna filosofisnya.
Advertisement
Pengertian dan Sejarah Geguritan Tradisional
Geguritan berasal dari kata dasar "gurit" yang berarti tatahan atau coretan. Secara harfiah, geguritan dapat diartikan sebagai karya sastra yang "digoreskan" menggunakan bahasa Jawa. Pada masa lalu, geguritan sering dibacakan dengan iringan tembang atau lagu tradisional Jawa.
Sejarah geguritan tradisional dapat ditelusuri hingga era kerajaan-kerajaan Jawa kuno. Para pujangga kraton kerap menciptakan geguritan sebagai media untuk menyampaikan pesan moral, kritik sosial, atau bahkan sindiran halus kepada penguasa. Geguritan menjadi sarana ekspresi yang efektif karena keindahan bahasanya mampu menyembunyikan makna tersirat di balik bait-bait puitis.
Pada awalnya, penciptaan geguritan terikat oleh aturan-aturan ketat yang disebut "pakem". Namun seiring perkembangan zaman, geguritan pun mengalami evolusi. Muncullah pembagian antara geguritan gagrak lawas (gaya lama) yang masih memegang teguh pakem tradisional, dan geguritan gagrak anyar (gaya baru) yang lebih bebas dalam struktur dan pemilihan kata.
Advertisement
Ciri-Ciri Utama Geguritan Tradisional
Untuk memahami keunikan geguritan tradisional, penting bagi kita untuk mengenali ciri-ciri khasnya. Berikut adalah beberapa karakteristik utama yang membedakan geguritan klasik dari bentuk puisi Jawa modern:
- Penggunaan Bahasa Kawi: Geguritan tradisional umumnya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau Kawi. Pemilihan kata-kata arkais ini memberikan nuansa klasik dan kesan mendalam pada karya.
- Struktur yang Terikat: Berbeda dengan puisi bebas, geguritan klasik memiliki aturan baku terkait jumlah baris, suku kata, dan pola rima. Misalnya, dalam satu bait (pada) biasanya terdiri dari empat baris (gatra) dengan jumlah suku kata tertentu.
- Guru Lagu, Guru Wilangan, dan Guru Gatra: Tiga elemen ini menjadi patokan dalam penciptaan geguritan tradisional. Guru lagu mengatur bunyi vokal di akhir baris, guru wilangan menentukan jumlah suku kata per baris, sementara guru gatra mengatur jumlah baris dalam satu bait.
- Penggunaan Purwakanthi: Purwakanthi atau permainan bunyi menjadi ciri khas geguritan klasik. Ada tiga jenis purwakanthi: guru swara (pengulangan bunyi vokal), guru sastra (pengulangan konsonan), dan lumaksita (pengulangan suku kata).
- Tema Filosofis dan Simbolis: Geguritan tradisional sering mengangkat tema-tema kehidupan yang dalam, seperti hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, atau ajaran moral. Penggunaan simbol dan metafora yang kaya makna menjadi ciri khasnya.
Struktur dan Komposisi Geguritan Tradisional
Struktur geguritan tradisional terdiri dari beberapa elemen penting yang saling berkaitan. Pemahaman akan struktur ini tidak hanya penting bagi pencipta geguritan, tetapi juga bagi pembaca yang ingin mendalami makna di balik bait-bait puitis tersebut. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang komponen-komponen utama dalam komposisi geguritan klasik:
1. Guru Lagu
Guru lagu mengacu pada aturan bunyi vokal di akhir setiap baris (gatra). Pola ini memberikan irama dan keharmonisan suara saat geguritan dibacakan atau dinyanyikan. Misalnya, dalam tembang macapat Maskumambang, pola guru lagunya adalah i, a, i, a.
2. Guru Wilangan
Guru wilangan menentukan jumlah suku kata dalam setiap baris. Aturan ini bervariasi tergantung jenis tembang atau metrum yang digunakan. Sebagai contoh, dalam tembang Sinom, pola guru wilangannya adalah 8, 8, 8, 8, 7, 8, 7, 8, 12.
3. Guru Gatra
Guru gatra mengatur jumlah baris dalam satu bait (pada). Meskipun umumnya satu bait terdiri dari empat baris, beberapa jenis tembang memiliki jumlah gatra yang berbeda. Tembang Gambuh, misalnya, memiliki lima gatra dalam satu pada.
4. Purwakanthi
Purwakanthi atau permainan bunyi menjadi elemen penting dalam menciptakan keindahan musikal geguritan. Ada tiga jenis purwakanthi:
- Purwakanthi Guru Swara: Pengulangan bunyi vokal, misalnya "sapa salah bakal seleh".
- Purwakanthi Guru Sastra: Pengulangan bunyi konsonan, contohnya "cecer cicir catur".
- Purwakanthi Lumaksita: Pengulangan suku kata atau kata, seperti "sekar sarwa sari, sari-sari sekar sarkara".
5. Pada dan Pupuh
Pada adalah istilah untuk bait dalam geguritan, sementara pupuh merujuk pada jenis atau bentuk tembang macapat. Setiap pupuh memiliki karakteristik dan aturan tersendiri, seperti Dhandhanggula, Sinom, atau Asmarandana.
Advertisement
Jenis-Jenis Geguritan Tradisional
Geguritan tradisional Jawa memiliki beragam jenis yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Pemahaman akan jenis-jenis ini penting untuk menghargai kekayaan sastra Jawa klasik. Berikut adalah beberapa jenis utama geguritan tradisional:
1. Tembang Macapat
Tembang Macapat merupakan jenis puisi Jawa yang paling populer dan sering digunakan dalam geguritan tradisional. Terdapat 11 jenis tembang macapat, masing-masing dengan aturan metrum yang berbeda:
- Maskumambang
- Mijil
- Sinom
- Kinanthi
- Asmarandana
- Gambuh
- Dhandhanggula
- Durma
- Pangkur
- Megatruh
- Pocung
Setiap jenis tembang macapat memiliki karakter dan nuansa emosional yang berbeda, sehingga penggunaannya disesuaikan dengan tema atau pesan yang ingin disampaikan.
2. Kakawin
Kakawin adalah bentuk puisi Jawa Kuno yang berasal dari tradisi sastra Sanskerta. Berbeda dengan tembang macapat, kakawin menggunakan metrum yang lebih kompleks dan biasanya ditulis dalam bahasa Kawi. Contoh terkenal dari kakawin adalah "Ramayana" dan "Arjunawiwaha".
3. Kidung
Kidung merupakan bentuk puisi Jawa Tengahan yang menjembatani era kakawin dan tembang macapat. Struktur kidung lebih sederhana dibandingkan kakawin, namun masih mempertahankan beberapa elemen klasik. Contoh kidung yang terkenal adalah "Kidung Harsawijaya" dan "Kidung Sunda".
4. Suluk
Suluk adalah jenis geguritan yang biasanya dinyanyikan oleh dalang dalam pertunjukan wayang. Suluk berfungsi untuk menciptakan suasana atau menggambarkan karakter tokoh wayang. Meskipun singkat, suluk sarat dengan makna filosofis.
Makna dan Filosofi dalam Geguritan Tradisional
Geguritan tradisional Jawa bukan sekadar karya sastra biasa. Di balik keindahan bahasanya, tersimpan makna mendalam dan filosofi hidup yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jawa. Memahami makna dan filosofi ini penting untuk menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam geguritan klasik.
Simbolisme dan Metafora
Geguritan tradisional sering menggunakan simbol dan metafora untuk menyampaikan pesan. Misalnya, "rembulan" sering digunakan sebagai simbol keindahan atau pencerahan, sementara "angin" bisa melambangkan perubahan atau ketidakpastian. Pemahaman akan simbolisme ini membantu pembaca menggali makna tersirat di balik kata-kata.
Ajaran Moral dan Etika
Banyak geguritan klasik mengandung ajaran moral dan etika yang relevan hingga saat ini. Nilai-nilai seperti kejujuran, kesabaran, dan kerendahan hati sering menjadi tema sentral. Geguritan menjadi media untuk mewariskan kebijaksanaan dari generasi ke generasi.
Hubungan Manusia dengan Alam
Filosofi Jawa menekankan harmoni antara manusia dan alam semesta. Geguritan sering menggambarkan keindahan alam sebagai cerminan keagungan Tuhan dan mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.
Konsep Keseimbangan (Memayu Hayuning Bawana)
"Memayu Hayuning Bawana" adalah filosofi Jawa yang berarti menjaga keindahan dunia. Geguritan tradisional sering mengeksplorasi konsep ini, mengajarkan pentingnya hidup selaras dengan alam dan sesama manusia.
Spiritualitas dan Mistisisme
Banyak geguritan klasik mengandung unsur spiritualitas dan mistisisme Jawa. Konsep seperti "manunggaling kawula Gusti" (bersatunya manusia dengan Tuhan) sering menjadi tema, mencerminkan pemahaman mendalam tentang hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa.
Advertisement
Perbedaan Geguritan Tradisional dan Modern
Seiring perkembangan zaman, geguritan Jawa juga mengalami evolusi. Muncullah geguritan modern atau "gagrak anyar" yang memiliki karakteristik berbeda dari geguritan tradisional. Memahami perbedaan ini penting untuk menghargai keunikan masing-masing bentuk dan melihat bagaimana sastra Jawa beradaptasi dengan perubahan zaman.
Struktur dan Aturan
Geguritan tradisional terikat oleh aturan ketat seperti guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra. Sebaliknya, geguritan modern lebih bebas dalam struktur, tidak terikat pada pola metrum tertentu. Penyair modern memiliki keleluasaan lebih besar dalam mengekspresikan ide mereka.
Penggunaan Bahasa
Geguritan klasik umumnya menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Kawi, dengan pilihan kata yang arkais dan puitis. Geguritan modern cenderung menggunakan bahasa Jawa kontemporer, bahkan terkadang mencampurkan kata-kata dari bahasa Indonesia atau bahasa asing untuk efek tertentu.
Tema dan Isi
Meskipun geguritan tradisional juga mengangkat berbagai tema, fokusnya sering pada nilai-nilai filosofis, ajaran moral, atau kisah-kisah klasik. Geguritan modern lebih beragam dalam tema, mencakup isu-isu kontemporer seperti politik, lingkungan, atau kritik sosial.
Gaya Penyampaian
Geguritan tradisional cenderung menggunakan gaya bahasa yang lebih halus dan simbolis. Geguritan modern seringkali lebih langsung dan eksplisit dalam menyampaikan pesan, meskipun tetap mempertahankan keindahan bahasa.
Fungsi dan Penggunaan
Pada masa lalu, geguritan tradisional sering digunakan dalam konteks ritual, pertunjukan seni, atau sebagai media pembelajaran. Geguritan modern, selain fungsi estetis, juga sering digunakan sebagai media ekspresi personal atau kritik sosial yang lebih tajam.
Cara Membaca dan Memahami Geguritan Tradisional
Membaca dan memahami geguritan tradisional membutuhkan pendekatan khusus. Keindahan dan kedalaman maknanya tidak selalu tampak pada pembacaan pertama. Berikut adalah beberapa tips untuk lebih menghayati geguritan klasik Jawa:
1. Pelajari Dasar-dasar Bahasa Jawa Kuno
Familiaritas dengan bahasa Jawa Kuno atau Kawi akan sangat membantu. Pelajari setidaknya kosakata dasar dan struktur kalimat yang umum digunakan dalam geguritan klasik.
2. Pahami Konteks Historis dan Budaya
Geguritan sering mencerminkan kondisi sosial dan budaya pada masa penciptaannya. Pengetahuan tentang sejarah dan budaya Jawa akan memperkaya pemahaman Anda.
3. Perhatikan Struktur dan Pola
Identifikasi jenis tembang atau metrum yang digunakan. Perhatikan pola guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra. Pemahaman struktur ini akan membantu Anda menghargai keindahan teknis geguritan.
4. Analisis Simbolisme dan Metafora
Banyak geguritan menggunakan simbol dan metafora yang kaya makna. Cobalah untuk menginterpretasikan makna di balik kata-kata, dengan mempertimbangkan konteks budaya Jawa.
5. Bacalah Berulang-ulang
Geguritan klasik sering memiliki lapisan makna yang kompleks. Pembacaan berulang akan membantu Anda menemukan nuansa dan detail yang mungkin terlewat pada awalnya.
6. Diskusikan dengan Orang Lain
Berbagi interpretasi dengan orang lain, terutama mereka yang lebih ahli dalam sastra Jawa, dapat membuka wawasan baru dan memperdalam pemahaman Anda.
7. Praktikkan Pembacaan Lisan
Geguritan tradisional dirancang untuk dibacakan atau dinyanyikan. Cobalah membacanya dengan suara lantang, memperhatikan irama dan intonasi, untuk merasakan keindahan musikalnya.
Advertisement
Peran Geguritan Tradisional dalam Budaya Jawa
Geguritan tradisional memiliki peran yang sangat penting dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa. Lebih dari sekadar karya sastra, geguritan menjadi cerminan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat Jawa. Berikut adalah beberapa aspek penting peran geguritan dalam konteks budaya Jawa:
1. Pelestarian Bahasa dan Sastra
Geguritan menjadi media untuk melestarikan bahasa Jawa, terutama bahasa Jawa Kuno dan Kawi yang semakin jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Melalui geguritan, kekayaan kosakata dan struktur bahasa Jawa tetap terjaga.
2. Transmisi Nilai-nilai Moral
Banyak geguritan mengandung ajaran moral dan etika yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai seperti kejujuran, kesabaran, dan kebijaksanaan sering disampaikan melalui bait-bait puitis geguritan.
3. Media Pendidikan
Di masa lalu, geguritan sering digunakan sebagai alat pendidikan, baik di lingkungan kerajaan maupun masyarakat umum. Melalui geguritan, berbagai pengetahuan tentang sejarah, filsafat, dan kearifan hidup disampaikan dengan cara yang menarik dan mudah diingat.
4. Ekspresi Seni dan Estetika
Geguritan merupakan bentuk ekspresi seni yang tinggi dalam budaya Jawa. Keindahan bahasa dan kompleksitas struktur geguritan mencerminkan apresiasi masyarakat Jawa terhadap estetika dan kehalusan rasa.
5. Refleksi Spiritualitas
Banyak geguritan mengeksplorasi tema-tema spiritual dan mistis, mencerminkan pemahaman mendalam masyarakat Jawa tentang hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Geguritan menjadi media untuk mengekspresikan pengalaman spiritual yang sulit diungkapkan dalam bahasa sehari-hari.
6. Kritik Sosial
Meskipun sering disampaikan secara halus dan simbolis, geguritan juga berfungsi sebagai media kritik sosial. Para pujangga kraton sering menggunakan geguritan untuk menyampaikan pesan atau kritik kepada penguasa tanpa harus berhadapan langsung.
7. Penguatan Identitas Budaya
Geguritan menjadi salah satu penanda identitas budaya Jawa. Melalui geguritan, masyarakat Jawa mengekspresikan cara pandang, nilai-nilai, dan filosofi hidup mereka yang unik.
Tantangan dan Peluang Pelestarian Geguritan Tradisional
Melestarikan geguritan tradisional di era modern bukanlah tugas yang mudah. Namun, di balik tantangan yang ada, terdapat juga peluang-peluang menarik untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan warisan sastra ini. Mari kita telaah beberapa tantangan utama serta peluang yang dapat dimanfaatkan:
Tantangan:
- Kurangnya Minat Generasi Muda: Banyak anak muda lebih tertarik pada bentuk hiburan modern, menganggap geguritan sebagai sesuatu yang kuno dan sulit dipahami.
- Kesulitan Bahasa: Penggunaan bahasa Jawa Kuno atau Kawi dalam geguritan tradisional menjadi hambatan bagi mereka yang tidak familiar dengan bahasa tersebut.
- Modernisasi dan Globalisasi: Arus globalisasi membawa pengaruh budaya luar yang kadang menggeser apresiasi terhadap budaya lokal, termasuk geguritan.
- Kurangnya Dokumentasi: Banyak geguritan tradisional hanya diwariskan secara lisan, sehingga berisiko hilang jika tidak didokumentasikan dengan baik.
- Keterbatasan Akses: Tidak semua orang memiliki akses ke sumber-sumber pembelajaran geguritan yang berkualitas.
Peluang:
- Digitalisasi: Teknologi digital membuka peluang untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan geguritan tradisional melalui platform online, aplikasi mobile, atau media sosial.
- Inovasi dalam Pengajaran: Metode pengajaran yang lebih interaktif dan relevan dengan kehidupan modern dapat membuat geguritan lebih menarik bagi generasi muda.
- Kolaborasi Lintas Disiplin: Geguritan dapat diintegrasikan dengan bentuk seni modern seperti musik kontemporer, teater, atau seni visual untuk menciptakan karya yang lebih segar dan menarik.
- Revitalisasi melalui Festival dan Kompetisi: Penyelenggaraan festival atau kompetisi geguritan dapat meningkatkan minat dan partisipasi masyarakat.
- Penelitian Akademis: Studi mendalam tentang geguritan tradisional dapat mengungkap nilai-nilai dan wawasan baru yang relevan dengan konteks kekinian.
- Diplomasi Budaya: Geguritan dapat menjadi bagian dari diplomasi budaya Indonesia di kancah internasional, memperkenalkan kekayaan sastra Nusantara ke dunia.
- Pengembangan Ekonomi Kreatif: Geguritan dapat dimanfaatkan dalam industri kreatif, misalnya melalui penerbitan buku, produksi pertunjukan, atau pengembangan konten digital.
Advertisement
Kesimpulan
Geguritan tradisional merupakan warisan budaya Jawa yang tak ternilai harganya. Ciri khasnya yang unik, mulai dari penggunaan bahasa Kawi hingga struktur yang terikat aturan seperti guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra, geguritan klasik mencerminkan kekayaan intelektual dan spiritual masyarakat Jawa.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, peluang untuk melestarikan dan mengembangkan geguritan tetap terbuka luas. Melalui inovasi dalam pengajaran, pemanfaatan teknologi digital, dan kolaborasi lintas disiplin, kita dapat memastikan bahwa keindahan dan kebijaksanaan yang terkandung dalam geguritan tradisional tetap relevan dan diapresiasi oleh generasi mendatang.
Memahami dan menghargai geguritan tradisional bukan hanya tentang melestarikan warisan budaya, tetapi juga tentang memperkaya diri dengan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang telah teruji zaman.