Liputan6.com, Jakarta - Orangtua bocah Raden Tri Sakti kala itu hanya bisa pasrah. Anaknya yang baru berusia 12 tahun didiagnosa mengalami gangguan syaraf. Bukan tanpa sebab, saban hari, siang dan malam Raden hanya menghabiskan waktu bermain game online di telepon seluler, sampai akhirnya dia kecanduan.
Bocah warga Kecamatan Pabuaran, Subang, kerap mengigau setiap tidur, dan mengeluhkan sakit kepala hingga nyaris lumpuh tak bisa bergerak. Pihak keluarga lalu membawanya ke rumah sakit dan dirawat selama 16 hari. Sempat pulang ke rumah, Raden kemudian masuk lagi ke rumah sakit karena kondisinya yang mengkhawatirkan. Selang tiga hari, Raden akhirnya meninggal dunia.
Advertisement
Peristiwa beberapa tahun silam itu menjadi puncak gunung es kasus kecanduan game online yang memapar anak-anak Indonesia. Tak heran jika banyak negara maju yang mulai khawatir dengan paparan game online, khususnya bagi anak-anak. Tiongkok misalnya, negeri tirai bambu itu berani membuat aturan revolusioner dengan melarang anak-anak dan remaja di bawah 18 tahun bermain game online lebih dari 3 jam dalam sepekan. Aturan baru tersebut diterbitkan Administrasi Pers dan Publikasi Nasional China (NPPA) pada Senin, 30 Agustus 2021.
Bukan hanya aturan di mulut, tepat pada 1 September 2021, aturan tersebut pun langsung berlaku, dan pemerintah punya kuasa memaksa perusahaan penyedia game online untuk mau tidak mau harus membatasi layanannya. Pembatasan itu berlaku pada semua perangkat, termasuk ponsel. Seperti yang dikutip dari kantor berita Xinhua, pemerintah Tiongkok hanya mengizinkan anak di bawah 18 tahun bermain game online selama 1 jam dalam sehari, yaitu pukul 20.00-21.00 pada Jumat, Sabtu, dan Minggu, total hanya 3 jam dalam sepekan.
Dampak buruk kecanduan game online jauh-jauh hari sudah diingatkan banyak pakar dan peneliti. Secara ilmiah dapat dibuktikan, game online yang kebanyakan dimainkan dalam keadaan statis membuat anak menjadi pasif sehingga interaksi sosial anak menjadi terganggu. Belum lagi gangguan syaraf yang diterima anak-anak saat sudah di taraf kecanduan.
Pada titik inilah globalisasi ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, kemajuan teknologi digital membawa kemudahan dalam segala urusan. Tapi di sisi lain, jika tidak terkontrol, akan malah membawa kemudaratan. Perlu ada filter atau paling tidak penyeimbang agar anak-anak tidak hanya fokus bermain game online: kembali ke tradisi. Mengingat kita (orang Indonesia) sebenarnya punya segudang permainan tradisional yang seru dan unik, yang lahir murni dari akar kebudayaan bangsa. Selain seru, bagi anak-anak generasi 90an yang kini telah menjadi orangtua, bermain lagi permainan tradisional jadi momen bernostalgia sambil memperkenalkannya kepada anak-anak.
Secara asal kata, permainan tradisional dapat diartikan segala perbuatan baik dan menyenangkan yang dilakukan menggunakan alat dan tanpa alat, diwariskan secara turun temurun sebagai hiburan. Atik Soepandi, seorang peneliti kebudayaan Nusantara mengkategorikan permainan tradisional menjadi tiga, yaitu bersifat rekreatif, artinya permainan tersebut dilakukan untuk mengisi waktu luang. Kedua, bersifat kompetitif, yaitu permainan yang dimainkan sedikitnya dua orang secara terorganisir, ada kriteria untuk menentukan siapa yang menang dan kalah sesuai aturan yang sudah disepakati. Ketiga, bersifat edukatif, artinya permainan tradisional yang dimiliki tiap-tiap masyarakat di Indonesia membawa semangat kearifan lokal dan nilai-nilai edukasi.
Memainkan permainan tradisional sendiri punya banyak manfaat bagi perkembangan karakter anak. Permainan yang bersifat edukatif, cenderung bisa mengembangkan konsep diri dan komunikasi, mengembangkan aspek fisik, motorik, dan sosial pada anak. Tak hanya itu, permainan tradisional juga dipercaya mampu meningkatkan kecerdasan emosional anak, mengasah ketajaman penginderaan, dan mengembangkan keterampilan gerak, seperti olahraga dan menari.
Peneliti Misbach dalam bukunya Peran Permainan Tradisional dalam Pembentukan Karakter dan Identitas Bangsa (2006) menyebut, semua permainan tradisional yang ada di Nusantara mempunyai nilai-nilai yang bisa menstimulasi berbagai perkembangan anak, antara lain aspek motorik, melatih daya tahan, daya lentur, sensorimotorik, motorik kasar, dan motorik halus. Aspek kognitif, mengembangkan imajinasi, daya kreativitas, pemecahan masalah, melatih daya strategi dan antisipasi, serta pemahaman kontekstual. Aspek bahasa, mengembangkan konsep-konsep nilai.
Aspek emosi, mengembangkan kecerdasan emosional, mengasah empati dan pengendalian diri. Aspek sosial, menjalin relasi, melatih kerjasama dan kematangan sosial dengan teman sebaya, meletakkan pondasi interaksi sosial dengan masyarakat atau orang yang lebih dewasa. Aspek spiritual, menyadari adanya hubungan dengan sesuatu yang agung. Aspek ekologis, memahami pemanfaatan alam sekitar secara bijaksana. Aspek moral, menghayati nilai-nilai moral yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi selanjutnya. Permainan tradisional mengandung pesan-pesan moral dengan muatan kearifan lokal (local wisdom) yang luhur.
Semua nilai-nilai tersebut menjadi penting sebagai pondasi pembentuk karakter anak. Awal pembentukan karakter anak bukan tanggung jawab sekolah atau institusi lain, tapi dari lingkungan terkecil terlebih dahulu, yaitu keluarga. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah keluarga mempengaruhi terbentuknya karaktek anak.
Pendidikan Karakter
Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character (2012) menyebut, pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa tiga aspek tersebut, pendidikan karakter tidak akan berjalan. Permainan tradisional punya peran penting dalam pengembangan ketiga aspek tersebut. Mengingat dalam implementasinya, permainan tradisional mengandung nilai-nilai luhur, antara lain karakter takwa, baik dan rendah hati, hormat dan santun, percaya diri dan bekerja keras, kepemiminan dan keadilan, kemandirian dan tanggung jawab, suka menolong dan bergotong-royong, serta toleransi dan cinta damai. Sedangkan dalam praktiknya, permainan tradisional juga melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan, yang dibungkus dalam sebuah permainan yang menghibur.
Lickona juga menyebut beberapa alasan mengapa pendidikan karakter penting ditanamankan kepada generasi muda, antara lain, pendidikan karakter menjadi cara terbaik untuk menjamin anak-anak memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya, pendidikan karakter berpengaruh besar terhadap prestasi akademik anak, pendidikan karakter merupakan pondasi anak menghormati pihak lain dalam kehidupan yang beragam. Selain itu, pendidikan karakter juga menjadi pemecah masalah yang berkaitan dengan moral-sosial, persiapan untuk menyongsong perilaku di masyarakat, dan pembelajaran nilai-nilai budaya yang menjadi bagian dari kerja peradaban.
Dari definisi di atas penting bagi orangtua, guru, dan tenaga pengajar untuk ‘mengikat’ anak-anak dan generasi muda dengan kegiatan-kegiatan yang mengantarkan mereka berpikir kritis mengenai persoalan-persoalan terkait etika dan moral, memberi contoh kepada anak-anak untuk setia pada etika dan moral, serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk mempraktikkannya di masyarakat.
Aspek pengetahuan moral (moral knowing) yang disampaikan Lickona tadi memiliki 6 tahap dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan moral. Antara lain, kesadaran moral (moral awarness). Kebutaan moral yang kerap melanda banyak manusia di beragam usia menjadi menjadi masalah moral serius yang kerap terjadi belakangan ini. Anak-anak muda misalnya, seringkali bersikap apatis dan tidak peduli, mereka cenderung tidak mau mempertanyakan ‘apakah yang dilakukannya benar’ saat ingin melakukan sesuatu.
Tahap kedua adalah pengetahuan nilai-nilai moral (knowing moral values). Beragam nilai-nilai moral yang diajarkan para tetua atau orang terdahulu melalui bergaam cara merupakan warisan yang perlu dihayati para generasi penerus bangsa. Nilai-nilai moral seperti rasa hormat terhadap kehidupan dan kebebasan, bertanggung jawab, jujur, adil, toleransi, sopan santun, disiplin, hingga keberanian, merupakan nilai-nilai yang perlu dipahami dan diimplementasikan dalam berbagai situasi.
Ketiga adalah perspective-taking, yaitu kemampuan mengambil pelajaran dari suatu peristiwa, baik yang terjadi pada diri sendiri maupun di luar diri. Kemampuan ini merupakan prasyarat penting bagi terjadinya penilaian moral. Seseorang tidak dapat menghormati orang lain dan berbuat adil terhadap orang lain jika tidak bisa memahami orang tersebut. Di sinilah tujuan pendidikan moral, yaitu membantu anak-anak memahami dunia di luar dirinya dengan memposisikan diri pada sudut pandang orang lain, terutama dengan yang berbeda pengalaman dan budaya.
Keempat adalah alasan moral (moral reasoning). Alasan moral meliputi pemahaman menganai apa itu perbuatan moral, dan mengapa seseorang harus melakukannya. Misal, mengapa seseorang harus menepati janji yang sudah dibuatnya?
Tahap kelima adalah pengambilan keputusan (decesion-making), yaitu kemampuan mengambil sikap secara cepat saat dihadapkan dengan masalah moral. Apa yang dipilih dan risikonya sudah harus diperkenalkan dan diajarkan sejak seseorang masih kanak-kanak.
Tahap yang terakhir adalah self-knowlegde atau mengetahui diri sendiri. Ini merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit, tapi penting dalam perkembangan moral. Menjadi seorang yang bermoral di masyarakat harus memiliki kemampuan mengukur diri sendiri dan mengevaluasinya secara kritis.
Sementara itu, dalam aspek moral feeling, Lickona mengajarkan beberapa hal yang perlu dipahami dalam pengembangan karakter seseorang, mengingat mengetahui suatu hal adalah benar tidak menjamin orang tersebut berperilaku benar. Tidak jarang orang yang pandai berbicara soal benar dan salah, tapi mereka malah memilih perbuatan yang salah.
Advertisement
Kenangan yang Terbuang dan Terlupakan
Sebagai negara kepulauan terbesar dengan 17.504 pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia (95.181 km), Indonesia telah ditakdirkan memiliki banyak keragaman budaya. Pulau-pulau yang tersebar di dalamnya dengan keberagaman budaya itu menjadi kekayaan yang tidak bisa ditandingi negara lain, salah satunya adalah Indonesia menjadi 'playground' bagi segudang permainan tradisional.
Komunitas Hong, sebuah perkumpulan yang terus menginventarisasi, mengajarkan, dan melestarikan permainan tradisional, pernah mencatat, Indonesia setidaknya memiliki 2.500 permainan tradisional yang tersebar di berbagai daerahnya dari Sabang hingga Merauke. Yang menarik, ada beberapa permainan tradisional yang identik dan mirip satu daerah dengan daerah lainnya, hanya saja penamaannya yang berbeda.
Secara umum, ada tiga jenis permainan tradisional di Indonesia, yaitu permainan dengan alat bantu, tanpa alat bantu, dan menggunakan hewan.
Permainan tradisional dengan alat umumnya memakai perangkat dari bahan yang mudah didapat di sekitar tempat tinggal. Bahan-bahan tersebut umumnya diambil dari unsur alam di sekitar lingkungan, seperti kayu, daun, batu, dan lain-lain. Di beberapa tempat sering juga ditemukan beberapa permainan yang mengandung unsur gaib, seperti Jaelangkung, Badomba, Merak Sintir, Kodok-kodokan, dan Bambu Gila.
Di Jakarta sendiri, mungkin juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia, permainan tradisional makin sulit ditemukan. Banyak faktor yang mempengaruhinya, selain tergerus permainan digital, perubahan tata ruang juga menjadi salah satu biang keroknya. Pohon-pohon yang dahulu tumbuh subur di halaman-halaman rumah dan pekarangan, serta lapangan dan hutan kota misalnya, kini sudah berubah menjadi coran semen dan gedung bertingkat.
Pohon-pohon yang dahulu menjadi alat peraga bagi kebanyakan permainan tradisional kini mulai sulit ditemukan, sehingga permainan tersebut tidak ada lagi yang memainkan, dan pada akhirnya akan punah perlahan-lahan. Lihat saja, sekarang sudah ada yang memainkan peletokan bambu berisi koran basah sebagai pelurunya. Mungkin saja, pohon bambu kecil, sebagai bahan baku pembuatan sudah tidak ditemukan lagi di Jakarta.
Ruang terbuka yang semakin terbatas juga menjadi penyebab permainan tradisional tidak ada yang memainkannya lagi. Lapangan atau tanah lapang di kota-kota besar sudah menjadi hal yang mahal, karena sebagian besar telah berubah fungsi menjadi lahan terbangun. Anak-anak generasi 90an pasti menyadari pentingnya lapangan bagi mereka, selain jadi tempat main bola, lapangan kerap jadi arena permainan tradisional, seperti Galasin, Bentengan, Petak Umpet, Gundu, hingga Layang-Layang.
Melihat keadaan tersebut, para orangtua, khususnya generasi 90an, punya tanggung jawab besar untuk mengenalkan kembali permainan tradisional kepada anak-anak zaman sekarang. Pemerintah sebagai penentu kebijakan juga harus turun tangan melakukan pemetaan permainan tradisional dengan menggandeng skateholder terkait. Mencarikan solusi bagaimana caranya agar permainan tradisional ini tetap ada dan terus dimainkan anak-anak dari generasi ke generasi. Sehingga saat dewasa kelak, anak-anak melihat gundu bukan sekadar bola kaca kecil berwarna bagus, tapi ada kenangan bersama hiruk pikuk kesenangan yang menyeruak di dalamnya.