Liputan6.com, Jakarta - Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani adalah seorang waliyullah yang masyhur, terutama di kalangan ahli tarekat. Syaikh Abdul Qadir memiliki gelar Sulthonul Auliya yang berarti rajanya para wali. Gelar ini disebutkan dalam kitab Al-Fawaid Al-Mukhtarah karya Habib Ali Hasan Baharun.
Syekh Abdul Qodir lahir pada malam pertama Ramadhan tahun 470 Hijriah di negara Jailan yang merupakan negara bawahan Tabaristan. Tabaristan adalah wilayah kuno bersejarah yang kini berada dalam wilayah Iran.
Kekeramatan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sudah terlihat sejak ia lahir. Beberapa di antaranya ialah kelahirannya diiringi dengan lahirnya 1.100 wali di malam harinya.
Baca Juga
Advertisement
Kemudian, sejak dilahirkan ia tidak mau menyusui kepada ibunya di siang hari saat Ramadhan. Syaikh Abdul Qadir baru mau menyusuinya saat berbuka puasa.
Syaikh Abdul Qadir tumbuh menjadi waliyullah besar. Ia mendapat anugerah karomah dari Allah SWT sepanjang hidupnya. Tidak heran jika namanya masih tenar dan riwayat hidupnya (manaqib Syaikh Abdul Qadir) banyak dibaca oleh muslim masa kini.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Hikmah Membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir
Sampai saat ini, manaqib Syaikh Abdul Qadir sering dibaca di beberapa majelis dzikir, baik yang bersifat pekanan maupun bulanan. Manaqib yang dibaca ialah tentang perjalanan hidup Syaikh Abdul Qadir, mulai dari lahir hingga wafatnya.
Mengutip NU Online, membaca manaqib para wali -termasuk manaqib Syaikh Abdul Qadir- merupakan kegiatan untuk menambah rasa kecintaan seorang muslim kepadanya. Dengan membaca manaqibnya, muslim dapat mengetahui kesalehan dan kebaikannya untuk diteladani.
Membaca manaqib atau mengikuti acara manaqiban Syekh Abdul Qadir sangat baik. Apalagi, ia menyandang gelar sebagai Sulthonul Auliya atau pemimpin para wali.
اِعْلَمْ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبِ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ أَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكَاتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ وَنُزُوْلِ الرَّحْمَاتِ فِيْ حَضَرَاتِ اْلأَوْلِيَآءِ فِيْ مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِيْ زِيَارَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ
Artinya: “Ketahuilah! Seyogianya setiap muslim pemburu keutamaan dan kebaikan, mencari berkah dan anugerah, terkabulnya doa, dan turunnya rahmat di depan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik yang masih hidup ataupun sudah mati, dan di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka." (Alawi al-Haddad, Mishbah al-Anam wa Jala`azh-Zhulam, Istanbul-Maktabah al-Haqiqah, 1992 M, h. 90).
Advertisement
Soal Suguhan Makanan di Acara Manaqiban
Umumnya, saat acara acara manaqiban Syaikh Abdul Qadir terdapat suguhan makanan, baik sebelum atau setelah membaca manaqib. Misalnya, ayam kampung bakar, es buah (rujak), kopi pahit, teh manis, dan sebagainya.
Menurut laman NU Online Jabar, menyediakan suguhan makanan di acara manaqiban merupakan penghormatan kepada para tamu yang diundang. Dengan kata lain, penyuguhan itu dalam rangka memuliakan tamu, sedangkan kita sebagai muslim dianjurkan memuliakan tamu. Sebab, memuliakan tamu termasuk salah satu tanda dari kesempurnaan atau benarnya keimanan kita.
رَغَّبَ الإْسْلاَمُ فِي كَرَامَةِ الضَّيْفِ وَعَدَّهَا مِنْ أَمَارَاتِ صِدْقِ الإْيمَانِ ، فَقَدْ وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَال : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk memuliakan tamu, dan mengategorikan pemuliaan kepada tamu sebagai salah satu tanda benarnya keimanan. Sungguh, Nabi saw telah bersabda, ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (dengan iman yang sempurna) maka hendaknya ia memuliakan tamunya.” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Mesir-Mathabi`Dar ash-Shafwah, cet ke-1, juz, 24, h. 218).
Wallahu a’lam.