(OPINI) Batalkan Tarif PPN 12 Persen, Kembali ke 10 Persen dengan Sistem Monitoring Self-Assessment

Pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) agar ketetapan tarif PPN 12 persen yang ada dalam UU HPP bisa dibatalkan

oleh Tim Regional diperbarui 02 Des 2024, 21:16 WIB
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk bukan sekadar mengundur tapi membatalkan kenaikan tarif PPN 12 persen. Sebagai alternatif, sistem perpajakan berbasis sistem monitoring self-assessment untuk menjaga penerimaan negara sekaligus menurunkan tarif PPN kembali ke 10 persen.

Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022 dan rencana 12 persen pada 1 Januari 2025, yang diatur dalam UU HPP Pasal 7 ayat (1), menuai kritik. Berdasarkan data BPS, sebagian besar tenaga kerja Indonesia (lebih dari 50 juta orang) berpendidikan rendah, dengan daya beli terbatas. Kenaikan tarif PPN akan menambah beban mereka, mengurangi daya beli, dan memperparah ketimpangan sosial-ekonomi.

Berdasarkan data RAPBN 2025, ketergantungan terhadap PPN, yang mencapai 43,2% dari total penerimaan pajak, juga menjadi perhatian. Mengandalkan PPN sebagai sumber utama hanya akan membebani masyarakat kecil yang mayoritas pendapatannya untuk konsumsi.K ebijakan perpajakan harus melindungi daya beli rakyat kecil dan mendorong pemerataan ekonomi.

Pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) agar ketetapan tarif PPN 12 persen yang ada dalam UU HPP bisa dibatalkan. Penerbitan Perppu dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan tarif PPN karena ini sudah diatur undang-undang di UU HPP.

Mengacu pada UU HPP, tarif PPN 12 persen ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Artinya masih ada waktu satu bulan untuk membatalkan aturan tersebut.

 


Sistem Monitoring Self-Assessment sebagai Solusi

Korupsi dan penghindaran pajak memiliki karakteristik yang sama, yaitu timbul karena adanya kesempatan. Prinsip self-assessment yang mengandalkan kejujuran Wajib Pajak, berpotensi menimbulkan pelaporan pajak dengan tidak benar dan jelas. Dalam sistem self-assessment, Wajib Pajak diberikan hak untuk menghitung sendiri pajaknya, membayar pajak yang terutang, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan kepada otoritas pajak.

Melalui sistem monitoring self-assessment, di mana seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan, sehingga pajak bukan hanya sebagai sumber utama pendapatan negara, tetapi juga alat yang sangat strategis untuk memberantas korupsi dan melunasi semua utang negara.

Untuk diketahui, sistem monitoring self-assessment dirancang untuk menghimpun data dari berbagai sumber yang akan disatukan dengan konsep berbasis link and match, sehingga negara mampu menguji SPT Wajib Pajak serta memungkinkan pemetaan penerimaan negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang bersifat legal maupun ilegal.

Sistem ini dapat memastikan setiap laporan pajak mencerminkan kondisi ekonomi sebenarnya, meminimalkan kebocoran penerimaan pajak, meningkatkan kepercayaan publik, dan optimalisasi penerimaan negara tanpa menaikkan tarif. Dengan pengawasan ini, tarif PPN dapat kembali menjadi 10 persen tanpa mengurangi penerimaan negara.

 

Penulis: Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya