Pagi menjelang siang, suasana senyap menyelimuti ruangan kelas komputer. Pak Agung (39 tahun) berjalan hilir mudik mengawasi murid-murid penyandang disabilitas yang sedang mengerjakan tugas desain visual dengan menggunakan aplikasi canva. (merdeka.com/Arie Basuki)
Berjalan dengan menggunakan tongkat besi, matanya terus menatap monitor-monitor komputer anak didik. Sesekali ia menghampiri komputer anak didik yang nampak kesulitan mengolah foto. Dengan penuh kesabaran, ia memberikan instruksi tahap demi tahap kepada beberapa muridnya yang menggunakan kursi roda yang juga mengalami celebral palsy (penurunan fungsi otak. (merdeka.com/Arie Basuki)
Sudah 12 tahun Pak Agung mengajar di sekolah Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC) di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Ia satu-satunya pengajar yang menyandang disabilitas dari total 26 pengajar di YPAC. (merdeka.com/Arie Basuki)
“Kaki terpaksa diamputasi saat kecelakaan di kawasan Ciputat saat masih kuliah tingkat akhir di Jurusan Keguruan SLB UNJ”, tuturnya. Dari kecelakan tersebut ia menganggap takdir dari Tuhan menggariskan profesinya untuk mengajar anak-anak penyandang disabilitas. (merdeka.com/Arie Basuki)
Awalnya ia merasa gugup saat kali pertama mengajar anak-anak penyandang disabilitas, terlebih mereka juga mengalami celebral palsy dan paraplegia (kelumpuhan anggota gerak mulai dari bagian panggul ke bawah) sehingga menyulitkan proses belajar mengajar. Namun berkaca pada dirinya yang pernah mengalami kecelakaan fatal, secara perlahan ia bisa memberikan materi pengajaran kepada mereka. (merdeka.com/Arie Basuki)
Realitas itu yang mendorong Pak Agung semangat mengajar memberikan bekal keterampilan teknologi informasi kepada murid-muridnya. Setiap harinya dengan menggunakan kendaraan roda dua yang sudah dimodifikasi. Ia berangkat dari rumahnya yang sederhana di kawasan Pamulang Tangerang Selatan. (merdeka.com/Arie Basuki)
Lelah akibat kemacetan lalu lintas menuju sekolah YPAC yang berjarak sekitar 15km seolah terbayar lunas saat di kelas menyaksikan murid-muridnya ceria menerima materi pembelajarannya. “Mereka adalah bagian kehidupan saya, sudah seperti anak sendiri” tutur Pak Agung yang kini di rumahnya ditemani istri dan si bungsu perempuan, setelah anak tertuanya melanjutkan pendidikan di pesantren. (merdeka.com/Arie Basuki)
Di tengah keterbatasaanya, Pak Agung masih menyisakan sejumput harapan. Ia berharap, semoga kesejahteraan guru-guru di Indonesia meningkat. Ia sadar betul akan keterbatasan ruang geraknya untuk mencari tambahan penghasilan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia mensiasatinya dengan membuka jasa perbaikan dan penjualan laptop di rumahnya. (merdeka.com/Arie Basuki)
Untuk diketahui, data Kemenko PMK tahun 2023, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 7,6 juta saja yang terserap dunia kerja. (merdeka.com/Arie Basuki)