Liputan6.com, Brussels - Negara Belgia dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan karena pemindahan paksa lima anak campuran ras dari ibu mereka di Kongo saat wilayah itu masih berada di bawah pemerintahan kolonial Belgia.
Dalam keputusan yang sangat ditunggu-tunggu yang dikeluarkan pada hari Senin (2/12/2024), pengadilan banding Belgia menyatakan lima perempuan yang lahir di Kongo Belgia (koloni pribadi Raja Belgia, Leopold II, yang kemudian menjadi koloni resmi Belgia pada 1908) dan kini berusia 70-an, telah menjadi korban "penculikan sistematis" oleh negara ketika mereka dipisahkan dari ibu mereka saat masih anak-anak dan dikirim ke lembaga Katolik karena latar belakang ras campuran mereka.
Advertisement
"Ini adalah kemenangan dan keputusan bersejarah," kata Michele Hirsch, salah satu pengacara perempuan-perempuan tersebut, kepada media lokal seperti dilansir The Guardian, Rabu (5/12).
"Ini adalah pertama kalinya di Belgia dan mungkin di Eropa, pengadilan mengutuk negara kolonial Belgia atas kejahatan terhadap kemanusiaan."
Monique Bitu Bingi, yang dipisahkan dari ibunya saat berusia tiga tahun, mengatakan kepada The Guardian bahwa keadilan telah ditegakkan.
"Saya merasa lega," ujarnya. "Para hakim telah mengakui bahwa ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan."
Dia menerima kabar tentang keputusan tersebut bersama empat perempuan lainnya yang ikut mengajukan kasus ini di kantor pengacara mereka.
"Kami sangat senang dan langsung melompat kegirangan," tutur dia.
Noelle Verbeken, yang terpisah dari ibunya dan ditempatkan 500 km jauhnya, menyatakan kepada penyiar publik berbahasa Prancis RTBF, "Keputusan ini menunjukkan bahwa kami dihargai dan diakui di dunia."
Bersama Bitu-Bingi dan Verbeken, ada juga Lea Tavares Mujinga, Simone Ngalula, dan Marie-Jose Loshi. Kelima perempuan ini lahir dari ibu asal Kongo dan ayah Eropa, yang menjadikan mereka sasaran kebijakan kolonial Belgia.
Pada masa itu, pemerintah Belgia menganggap anak-anak campuran ras sebagai ancaman terhadap tatanan sosial yang mendiskriminasi orang kulit hitam dan mendukung supremasi kulit putih, yang menjadi dasar kebijakan dan perlakuan diskriminatif terhadap mereka.
Mereka dipisahkan secara paksa dari ibu-ibu mereka antara tahun 1948 dan 1953, ketika mereka masih anak-anak, dan kemudian dikirim ke misi Katolik yang terletak di Provinsi Kasai, Kongo Belgia, yang sangat jauh dari desa asal mereka.
Mengubah keputusan sebelumnya, pengadilan banding menyatakan bahwa pemindahan paksa mereka adalah "tindakan yang tidak manusiawi" dan "persekusi yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan," sesuai dengan hukum yang ditetapkan oleh Pengadilan Nuremberg (pengadilan internasional yang dibentuk setelah Perang Dunia II untuk mengadili kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan), yang diakui oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946.
Kelima perempuan ini mengajukan banding setelah kalah di pengadilan tingkat pertama pada tahun 2021. Pengadilan tingkat pertama mendukung pemerintah Belgia dengan menyatakan pemindahan paksa dan pemisahan mereka tidak dianggap sebagai kejahatan pada masa kolonial.
Pengadilan banding menolak argumen itu, dengan menekankan bahwa Belgia telah menjadi negara penandatangan Statut Pengadilan Nuremberg, yang dibentuk untuk mengadili kejahatan yang dilakukan oleh Nazi dan memperkenalkan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan memerintahkan negara untuk memberikan ganti rugi sebesar 50.000 euro kepada masing-masing perempuan tersebut, sebagai kompensasi atas penderitaan yang mereka alami akibat terputusnya hubungan dengan ibu mereka, lingkungan rumah, dan hilangnya identitas. Selain itu, pemerintah juga diwajibkan untuk membayar lebih dari 1 juta euro untuk biaya hukum.
Para perempuan tersebut membatasi jumlah klaim ganti rugi mereka hingga 50.000 euro, mengingat jika mereka kalah, mereka akan diwajibkan untuk membayar kompensasi kepada negara sesuai dengan klaim awal.
Belgia Sudah Minta Maaf
Kementerian Luar Negeri Belgia, yang mewakili pemerintah, belum memberikan komentarnya.
Meskipun jumlah pasti korban tidak diketahui, diperkirakan ribuan anak menjadi korban kebijakan pemindahan paksa dan pemisahan yang diterapkan selama pemerintahan kolonial Belgia di wilayah yang kini menjadi Republik Demokratik Kongo, Rwanda, dan Burundi.
Kebijakan ini dimulai pada masa pemerintahan Raja Leopold II, yang menguasai Kongo sebagai wilayah pribadinya dari tahun 1885 hingga 1908, sebelum wilayah itu diserahkan kepada negara Belgia. Kebijakan pemindahan paksa ini kemudian diperbarui pada tahun 1952, meskipun setelah Perang Dunia II, saat konsep hukum kejahatan terhadap kemanusiaan mulai diterapkan.
Setibanya di misi Katende, para gadis tersebut didaftarkan dalam daftar "mulattoes"—istilah yang merendahkan untuk menyebut orang dengan orangtua campuran ras. Dalam daftar itu, ayah mereka dicatat sebagai "tidak diketahui," padahal itu adalah kebohongan. Dalam beberapa kasus, nama ayah mereka hanya ditulis dalam tanda kurung. Selain itu, mereka diberi nama keluarga baru, dan beberapa dari mereka juga memiliki tanggal lahir yang dipalsukan.
Di misi Katolik, para gadis ini diberitahu bahwa mereka adalah "anak-anak dosa." Mereka diperlakukan dengan sangat buruk—diberikan ransum yang sangat sedikit dan mendapatkan perhatian minimal dari para suster yang enggan merawat mereka. Ketika Kongo merdeka pada tahun 1960, mereka ditinggalkan begitu saja oleh kekuatan kolonial yang pergi. Dalam kekacauan perang saudara yang melanda negara yang baru merdeka, dua dari mereka diperkosa oleh anggota milisi.
Puluhan tahun kemudian, empat dari perempuan ini berhasil memperoleh kewarganegaraan Belgia setelah melalui perjuangan hukum yang panjang. Namun, Marie-José Loshi tidak pernah diberi kewarganegaraan Belgia dan akhirnya pindah ke Prancis, di mana dia memperoleh kewarganegaraan Prancis. Keempat perempuan lainnya tetap tinggal di Belgia.
Sebagai sedikit penghiburan bagi pemerintah Belgia, pengadilan memutuskan bahwa kesulitan yang dialami para perempuan tersebut dalam memperoleh kewarganegaraan Belgia dan dokumen resmi terkait masa kecil mereka tidak dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada tahun 2018, Perdana Menteri Belgia saat itu, Charles Michel, secara resmi meminta maaf atas perlakuan terhadap anak-anak dari pasangan campuran ras, yang dikenal sebagai metis. Dia mengakui bahwa negara telah melanggar hak asasi manusia dasar mereka. Pemerintah Belgia juga membentuk badan resmi, yakni Resolution-Metis, untuk membantu orang yang dipisahkan dari orangtua mereka dalam melacak asal-usul mereka melalui arsip kolonial.
Resolution-Metis juga sedang menyelidiki berapa banyak orang yang terpengaruh oleh kebijakan ini, meskipun mereka mencatat bahwa data yang tersedia sangat terbatas dan tidak lengkap.
Advertisement