Liputan6.com, Yogyakarta - Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884. Sosoknya sangat penting dalam dunia pendidikan perempuan di Indonesia.
Sosok pahlawan yang pernah muncul sebagai watermark pada uang pecahan Rp5.000 emisi 1982 ini menempuh pendidikan di Cicalengka. Mengutip dari budaya.jogjaprov.go.id, kecintaan Raden Dewi Sartika terhadap dunia pendidikan sudah terlihat sejak masih duduk di bangku sekolah.
Sepulang sekolah, ia mengajak beberapa orang gadis anak pelayan dan pegawai pamannya untuk bermain sekolah-sekolahan. Saat Dewi berusia belasan tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian tinggal bersama ibunya di Bandung.
Baca Juga
Advertisement
Meski tak lagi di Cicalengka, tetapi kegemaran bermain sekolah-sekolahan itu tetap melekat dalam jiwanya. Ia pun bercita-cita mendirikan sekolah bagi anak-anak gadis.
Niatnya pun mendapat dukungan dari kakeknya, R.A.A. Martanegara, yang kala itu menjabat sebagai Bupati Bandung. Raden Dewi Sartika juga mendapat dorongan dari Inspektur Kantor Pengajaran, Den Hamer.
Dengan bantuan mereka, Raden Dewi Sartika resmi membuka sekolah seperti yang dicita-citakan pada 16 Januari 1904. Sekolah yang diberi nama Sakola Isteri itu menggunakan salah satu ruangan kantor kapubaten sebagai ruang belajar.
Dewi dibantu oleh Purmo dan Uwit dalam menjalankan sekolahnya. Adapun mata pelajaran yang diajarkan adalah dasar-dasar berhitung, menulis, membaca, serta pelajaran agama.
Seiring berjalannya waktu, Sakola Isteri mulai mendapat perhatian masyarakat hingga tokoh pemerintah. Hal itu sejalan dengan jumlah muridnya yang juga semakin bertambah.
Menikah dengan Guru
Pada 1908 atau saat usia Dewi menginjak 22 tahun, ia menikah dengan Raden Kanduran Agah Suriawinata. Suaminya adalah seorang guru sekolah Karangpamulangan.
Pernikahannya dengan seorang guru pun memungkinkan Dewi Sartika mengembangkan sekolahnya. Mereka akhirnya berjuang bersama-sama dalam memajukan pendidikan, terutama bagi perempuan.
Pada 1910, Sakola Isteri berganti nama menjadi Sakola Keutamaan Isteri. Mata pelajaran yang diajarkan pun semakin bertambah, yakni memasak, menyeterika, mencuci, dan membatik.
Sayangnya, hal ini justru menimbulkan keprihatinan baru bagi Dewi dan suaminya karena dengan bertambahnya mata pelajaran, maka biaya sekolah pun ikut meningkat. Pemerintah kemudian memberikan subsidi kepada Sakola Keutamaan Isteri.
Pada 1911, Sakola Keutamaan Isteri diperluas dan dibagi atas dua bagian pengantar, yakni menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya serta menggunakan bahasa Belanda dan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) sebagai pengantar. Hal ini cukup menarik perhatian beberapa perempuan di wilayah lainnya di Jawa Barat. Bahkan, perkembangan tersebut juga berhasil menarik perhatian Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Memasuki Perang Dunia I, kesulitan baru dimulai. Harga-harga naik, termasuk harga barang untuk keperluan sekolah. Namun, Dewi dan suaminya berhasil mengatasi kesulitan tersebut.
Pada 1929, Sakola Keutamaan Isteri berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Saat ini, sekolah tersebut dikenal dengan nama SD dan SMP Dewi Sartika.
Pada 1939, suami Dewi Sartika meninggal dunia. Meski sendirian, Dewi Sartika tak putus asa hingga mendapat penghargaan dari pemerintah karena jasa-jasanya di bidang pendidikan pada 1940.
Pukulan hebat kembali terjadi pada Perang Dunia II dan berlanjut pada pergantian pemerintahan Indonesia pada 1942. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, keadaan Sekolah Raden Dewi menghadapi kesulitan besar, terutama karena kota Bandung dilanda kekacauan dengan hadirnya pasukan Inggris dan Belanda.
Dewi Sartika terpaksa mengungsi ke Ciparay kemudian ke Garut. Sekolah yang dibangunnya pun terpaksa ditinggalkan.
Advertisement
Mengungsi
Dari Garut, Dewi Sartika bertolak ke Ciamis. Pada 1947, situasi bertambah genting setelah Belanda melancarkan agresi militernya. Dewi Sartika terpaksa mengungsi lebih jauh ke pedalaman, yakni ke Cinean.
Kondisi tersebut membuat Dewi Sartika letih. Kesehatanya menurun, asupan makanan semakin berkurang, dan obat-obatan sulit didapatkan di tempat pengungsian.
Ia pun jatuh sakit saat di Cinean, sehingga harus dirawat di rumah sakit oleh dr. Sanitioso. Pada 11 September 1947 sekitar pukul 09:00, Dewi Sartika meninggal dunia dan jenazahnya dikebumikan di Cinean.
Setelah kota Bandung aman kembai, Gedung Sekolah Raden Dewi dipinjam oleh pemerintah dan digunakan sebagai Sekolah Puteri. Kemudian sekolah tersebut diserahkan kepada Yayasan Dewi Sartika dan dijadikan sebuah Sekolah Kepandaian Putri.
Makam Dewi Sartika kemudian dipindahkan dari Cinean ke makam keluarganya di Bandung. Atas jasa-jasanya di dunia pendidikan perempuan, Raden Dewi Sartika dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah RI berdasarkan SK Presiden RI No. 252 Tahun 1966 tanggal 1 Desember 1966.
Penulis: Resla