Lewat UNiTE, PBB dan KemenPPPA Kolaborasi untuk Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menemukan bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan dan atau selain pasangan selama hidup.

oleh Siti Syafania Kose diperbarui 04 Des 2024, 20:46 WIB
Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama perwakilan dari PBB di Indonesia dan Global Affairs Canada berpose stop kekerasan di pembukaan “UNiTE 2024: Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan”, rangkaian acara memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang diselenggarakan di M Bloc Space, Jakarta, Rabu, 4 Desember 2024. (Liputan6.com/Siti Syafania Kose)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia menggelar rangkaian acara “UNiTE 2024: Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan” pada 4-8 Desember 2024 di M Bloc Space, Jakarta.

“Kampanye ini upayanya adalah untuk mengubah persepsi yang akhirnya akan mengubah perilaku tiap orang terhadap hal-hal yang berisiko pada kekerasan terhadap perempuan,” ujar Dwi Faiz selaku Officer in Charge for Country Representative UN Women Indonesia pada Selasa, 4 Desember 2024.

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menemukan bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan dan atau selain pasangan selama hidup. Data ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius.

Menurut Dwi, angka kekerasan yang tercatat dalam beberapa tahun terakhir memang mengalami pengurangan, tetapi bukan berarti isu ini sudah terselesaikan.

“Sebenarnya, trennya, angka kekerasan terhadap perempuan secara prevalensi … itu sebenarnya berkurang dari tahun ke tahun … Tapi, ini bukan masalah berkurang atau tidak. Satu orang perempuan pun yang menjadi korban, it’s a problem,” ungkap Dwi.

Dalam menangani kekerasan terhadap perempuan, Dwi menganggap bahwa impunitas merupakan salah satu hal terpenting.

“Hal-hal lain (selain impunitas) sebenarnya adalah risk factor perempuan menjadi korban, tapi hal yang paling utama dan mengakar adalah kemakluman kita bahwa (kekerasan terhadap perempuan) bisa ditolerir,” jelasnya.

“Yang pertama adalah pembenaran bahwa normalisasi itu boleh dilakukan. Yang kedua adalah ketidakadilan. Kenapa sampai ada pembiaran? Karena, bisa dilogikakan bahwa perempuan patut menjadi korban. Itu adalah next level dari pembiaran tersebut. Ini yang kita coba untuk hentikan,” lanjut Dwi.

UNiTE tahun ini menyoroti pentingnya pendekatan kolaboratif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Melalui sinergi antara advokasi, edukasi, dan layanan langsung kepada masyarakat, kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP),  mendorong perubahan sosial, dan memastikan dukungan yang komprehensif bagi para penyintas.

“Perlindungan perempuan dan anak adalah isu yang kompleks dan memerlukan kerja sama lintas sektor. Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Diperlukan sinergi dengan berbagai pihak, mulai dari organisasi masyarakat sipil, dunia usaha, media, komunitas lokal, hingga mitra pembangunan seperti Badan-Badan PBB di Indonesia. Kolaborasi ini penting untuk memastikan bahwa upaya yang kita lakukan, mulai dari pencegahan hingga pemulihan korban, dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan,” kata Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada keynote speech acara itu.


Bukan Hanya Acara Bincang-Bincang

Pameran #NoExcuse oleh PBB di Indonesia dan mitra menampilkan pakaian korban dan penyintas untuk mendobrak miskonsepsi tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. (Liputan6.com/Siti Syafania Kose)

UNiTE 2024 sebagai bagian dari kampanye tahunan 16HAKTP diselenggarakan oleh PBB di Indonesia, termasuk UNFPA, UN Women, UNDP, UNESCO, dan UN Information Centre yang bekerja sama dengan KPPPA, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jakarta Feminist, Forum Pengada Layanan (FPL), dan Yayasan Pulih dengan dukungan Kanada. 

Selama lima hari, pengunjung diajak untuk berdiskusi tentang realitas kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, melihat Labirin Layanan Kekerasan terhadap Perempuan, serta pameran #NoExcuse yang menampilkan pakaian penyintas dan korban.

Menurut informasi dari Survei Pelecehan di Ruang Publik 2019 oleh Koalisi Ruang Publik Aman yang ditampilkan bersamaan dengan instalasi #NoExcuse tersebut, lima tipe pakaian yang paling sering dikenakan korban saat mengalami pelecehan adalah rok dan celana panjang (18 persen), hijab (17 persen), baju lengan panjang (16 persen), seragam sekolah (14 persen), dan baju longgar (14 persen).

Pameran tersebut juga menceritakan kisah penyintas dan korban kekerasan terhadap perempuan yang bermacam-macam, mulai dari korban anak-anak yang dilecehkan oleh orang terdekatnya, hingga korban dewasa yang mengalami kekerasan di tempat umum.

Pengunjung juga dapat mengikuti talkshow dan workshop dengan berbagai organisasi perempuan dan orang muda, serta mengakses berbagai layanan konsultasi dengan berbagai organisasi di bawah naungan FPL. 

Untuk pengunjung yang membutuhkan juga disediakan ruang tenang dan pertolongan psikologis pertama oleh Yayasan Pulih. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya