Syahdunya 10 Suara Alam untuk Bangkitkan Semangat Kolaborasi dalam Konservasi

Perilisan 10 suara alam dalam album "Life Music: Suara Alam Nusantara" bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-10 Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

oleh Asnida Riani diperbarui 05 Des 2024, 07:30 WIB
Petani rumput laut di Desa Oelolot tengah menanam bibit tanaman mereka ke tali penggantung. (dok. YKAN)

Liputan6.com, Jakarta - Berawal dari "The Whispers of Nyandeng Lake," sampai "Swift Birds of Teluk Semanting Village," album "Life Music: Suara Alam Nusantara" merekam 10 suara alam yang boleh jadi kurang dihargai, padahal ekistensinya begitu bernilai. Perilisannya bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-10 Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Direktur Eksekutif YKAN, Herlina Hartanto, mengatakan bahwa suara-suara alam ini direkam dari 10 wilayah tempat mereka bekerja. Beberapa di antaranya, yakni Raja Ampat, Papua Barat Daya; Wakatobi, Sulawesi Tenggara; dan Hutan Wehea, Kalimantan Timur.

"Salah satunya, terdapat suara nyanyian burung cendrawasih. Album ini sudah bisa didengarkan melalui Spotify," kata dia saat jumpa pers di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 4 Desember 2024.

Memperdengarkan suara-suara alam, yang terancam keberadaannya karena aktivitas manusia yang berlebihan dan krisis iklim, yang sebenarnya juga dipengaruhi praktik hidup tidak berkelanjutan, diharapkan jadi sarana baru untuk membuat semakin banyak orang tergerak untuk berkolaborasi dalam upaya-upaya konservasi.

Maka itu, dalam perayaan satu dekade YKAN, mereka mengusung tema "Together, We Find a Way." "Saya selalu bilang bahwa dalam upaya konservasi, YKAN tidak bisa jalan sendiri, pemerintah pun demikian. Makanya, kolaborasi jadi hal yang penting," ungkap dia.

Bekerja erat bersama mitra, YKAN mengimplementasi program konservasi alam berbasis ilmiah dan non-konfrontatif di 14 provinsi. Ini mencakup perlindungan ekosistem daratan dan lautan yang merupakan penyangga kehidupan banyak orang.


Kerja Sama dalam Upaya Konservasi

Jumpa pers ulang tahun ke-10 YKAN di Hutan Kota by Plataran, Senayan, Jakarta, 4 Desember 2024. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Selain pemerintah, YKAN juga menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga penelitian, organisasi non-pemerintah, masyarakat, serta sektor swasta. "Kami bersyukur dan mengapresiasi para mitra atas kerja sama erat yang telah membuahkan capaian bersama dalam menjalankan misi konservasi selama 10 tahun terakhir," Herlina berbagi.

"Dukungan dan kerja sama tersebut memungkinkan kami berinovasi dan membuat terobosan-terobosan baru yang solutif," ia menambahkan. "Namun, tantangan ke depan semakin kompleks. Karena itu, kami mengajak semua pemangku kepentingan untuk lebih giat lagi mengatasi krisis ganda perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati."

Selaras dengan itu, Sekretaris Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Kementerian Kehutanan, Ammy Nurwati, menjabarkan sejumlah tantangan praktik konservasi ke depan. Pertama, ia menyebut soal pendanaan.

"Selama ini, pemerintah mengandalkan pembiayaan (konservasi) dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), tapi dari waktu ke waktu, pendanaan itu semakin menurun, karena adanya penambahkan belanja pegawai yang cukup signifikan," ungkap dia di kesempatan yang sama. 

"Pendanaan berkelanjutan dapat kami upayakan dengan bermitra bersama Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti YKAN," imbuhnya.


Tantangan Konservasi

Upaya konservasi laut oleh YKAN. (dok. YKAN)

Tantangan praktik konservasi selanjutnya, menurut dia, adalah pencemaran. "Sampah laut sangat mengganggu kualitas, bahkan jumlah populasi biota laut," ia mencontohkan. "Selama ini, Dirjen KSDAE telah bermitra dengan YKAN di beberapa unit pelaksana teknis Taman Nasional Wakatobi yang dominan dengan ekosistem lautnya."

Ia juga menyebut perambahan, perburuan ilegal, serta aktivitas ilegal, seperti penebangan, penangkapan ikan, dan penambangan sebagai ancaman serius. Ammy pun mengatakan, keberadaan enam ribu desa di sekitar kawasan konservasi jadi tantangan tersendiri, terutama terkait kesejahteraan masyarakat.

"Sampah laut berdampak pada ekosistem pesisir, termasuk mangrove, lamun, dan terumbu karang. Kehilangan biodiversitas akibat perambahan, perburuan, dan aktivitas ilegal lain juga terus meningkat. Kita perlu melibatkan masyarakat untuk mengatasi hal ini. Jika masyarakat mendapat manfaat ekonomi, mereka cenderung menjaga kawasan tersebut," menurut dia.

Karena itu, YKAN telah mendukung Pemerintah Kabupaten Berau bersama Yayasan Darma Bhakti Berau Coal dan UGM dalam melaksanakan Program SIGAP SEJAHTERA sejak 2019. Program ini dijelaskan mengadopsi pendekatan Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan (SIGAP) untuk memberdayakan masyarakat menggunakan potensi desa setempat.

Sebagai bagian dari Program SIGAP Sejahtera, 100 kampung di 12 kecamatan di Berau diberi masing-masing satu pendamping, yang disebut Pejuang SIGAP Sejahtera. Mereka didampingi untuk memperkuat tata kelola desa, melindungi dan mengelola hutan dan sumber daya alam secara lestari, memperoleh hak kelola, serta mengembangkan ekonomi ramah lingkungan secara general.


Restorasi Mangrove

YKAN mengajarkan praktik tambak udang ramah lingkungan sambil merestorasi mangrove di Kampung Pegat Batumbuk, Berau, Kalimantan Timur. (dok. YKAN)

"Kabupaten Berau dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Kami berupaya menjadikan wilayah ini sebagai contoh praktik konservasi yang berkelanjutan. Dengan peran aktif masyarakat dan mitra, seperti YKAN, kami yakin dapat mewujudkan visi pembangunan yang bermanfaat bagi Berau dan upaya konservasi nasional,” ujar Bupati Berau, Sri Juniarsih.

Selain SIGAP, Kabupaten Berau juga jadi lokasi pelaksanaan program tambak ramah lingkungan melalui pendekatan Shrimp Carbon Aquaculture (SECURE). Metode SECURE mencoba memperbaiki cara dan hasil budidaya udang tradisional sambil merestorasi mangrove yang rusak.

Herdin, salah satu petambak dari Kampung Pegat Batumbuk, mengatakan, selama ini para petambak di kampungnya masih memanfaatkan lahan mangrove untuk budidaya perikanan. Semakin hari, kata dia, lahan mangrove yang dikonversi jadi tambak semakin luas karena para petambak masih menggunakan cara-cara tradisional yang tidak ramah lingkungan.

"Ternyata, pembukaan lahan besar-besaran tidak sebanding dengan hasil tambak. Kami melihat, makin luas tambak tidak berarti hasil udangnya lebih banyak," ia bercerita. "Kami diajak YKAN menerapkan budidaya tambak ramah lingkungan."

"Kami jadi sadar bahwa mangrove bukan hanya penting bagi satwa liar, tapi juga bagi masyarakat pesisir dan budidaya tambak kami. Bila mangrove di sekitar tambak rusak, hasil tambak akan terus menurun. Saat ini, hasil panen memang belum sebanyak dulu, tapi secara bertahap mulai meningkat."

"Selain itu, kami juga mendapat panen lain, seperti kepiting dan bandeng," tandasnya.

Infografis Bencana-Bencana Akibat Perubahan Iklim. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya