Di Tengah Kampanye Energi Bersih, Ternyata Kredit Bank ke PLTU Batu Bara Justru Naik

Meningkatnya pembiayaan bank domestik pada sektor batu bara akan mempengaruhi indikator kesehatan bank.

oleh Arthur Gideon diperbarui 06 Des 2024, 11:44 WIB
PLN mendorong skema kontrak jangka panjang dengan penambang. Hal terjadi dijadikan strategi jitu untuk mengamankan pasokan batu bara bagi pembangkit milik perseroan.

Liputan6.com, Jakarta - Ternyata penyaluran kredit dari industri perbankan ke sektor batu bara masih terus meningkat. Padahal Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah mendengungkan energi bersih dengan menargetkan mampu memangkas semua PLTU batu bara dalam 15 tahun. Hal ini terungkap dalam analisis laporan keuangan sembilan perusahaan batu bara terbesar di Indonesia oleh tim #BersihkanBankmu.

Lima bank besar di Indonesia tercatat menyalurkan total USD 5,42 miliar dan Rp5,37 triliun selama periode 2016-2023 untuk PLTU batu bara. Sementara PT Adaro Indonesia Tbk tercatat sebagai perusahaan yang menerima kredit paling besar, yakni USD 1,94 miliar dan Rp 2,5 triliun.

Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, meningkatnya pembiayaan bank domestik pada sektor batu bara akan mempengaruhi indikator kesehatan bank. Pasalnya, dengan terus membiayai proyek batu bara, perbankan turut memperburuk krisis iklim yang terjadi di Indonesia, yang pada ujungnya berpotensi menyebabkan aset-aset kotor yang dibiayai menjadi aset terlantar.

Artinya, pembiayaan macet atau non performing loan (NPL) perbankan justru meningkat.

“Jika terus mengarahkan pendanaan ke aktivitas yang kotor, bank sama saja sedang mendanai krisis di internalnya sendiri,” kata Bhima dalam keterangan tertulis, Jumat (6/12/2024).

Seharusnya dapat memberikan batasan pada pembiayaan energi fosil. Apalagi, investasi pembangkit listrik energi terbarukan sudah semakin kompetitif, dengan investasi pembangkit listrik surya diperkirakan hanya USD 410 per kilowatt (kW) dibandingkan PLTU ultra supercritical USD 1.430 per kW pada 2050.

“Perbankan nasional seharusnya memberikan subsidi bunga untuk penyaluran kredit energi terbarukan skala komunitas, seperti skema Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan memperbesar porsi pembiayaan berkelanjutan (sustainability link loan),” jelas Bhima.

 


Risiko Jangka Panjang

PLN Indonesia Power (PLN IP) memanfaatkan Limbah Racik Uang Kertas (LURK) sebagai bahan bakar PLTU Bengkayang, Kalimantan Barat. Ini merupakan pelaksanaan program substitusi batu bara dengan biomassa (cofiring) untuk mendukung percepatan transisi energi dan mengejar target Net Zero Emission 2060.

Just Energy Transition Associate CERAH Wicaksono Gitawan menambahkan, meningkatnya pemberitaan perbankan domestik tentang komitmen pembiayaan hijaunya yang semakin tinggi harus dibarengi dengan langkah konkrit untuk segera menghentikan pembiayaan pada sektor batu bara.

“Apalagi, Presiden Prabowo sudah mengungkapkan keinginannya untuk segera menghentikan penggunaan PLTU batu bara di 2040,” katanya.

Menurut Wicaksono, perbankan harusnya bisa melihat pernyataan Presiden Prabowo sebagai sebuah risiko jangka panjang yang harus dipertimbangkan apabila masih tetap mendanai batu bara dan PLTU.

Penguatan Taksonomi Hijau

Selain sektor perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator juga memiliki peran yang penting dalam mendorong transisi energi di Indonesia. Meski demikian, dokumen Taksonomi untuk Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang telah diterbitkan OJK justru tidak cukup agresif mendorong pembiayaan hijau oleh perbankan.

Pasalnya, TKBI justru menghapus klasifikasi merah yang ada dalam dokumen pendahulunya.

 


Benahi Sektor Perbankan

PLN sukses memanfaatkan 100% biomassa untuk bahan bakar pengganti batu bara di PLTU Sintang di Kalimantan Barat. (dok PLN)

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, mengatakan TKBI yang dikeluarkan OJK harus lebih kuat dalam mendefinisikan kegiatan-kegiatan apa saja yang bisa masuk dalam kategori hijau.

“Hilangnya klasifikasi merah yang ada dalam Taksonomi Hijau Indonesia (THI) di TKBI menjadi hijau dan transisi menyiratkan bahwa kegiatan yang masuk dalam kategori transisi akan mengalami perbaikan, padahal tidak selalu seperti itu. Apalagi, klasifikasi hijau hanya mengacu pada sertifikasi, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam kasus sawit,” ucap Linda.

Indonesia harus mulai membenahi sektor perbankan jika tidak ingin ditinggal oleh negara-negara lain di kawasan. Impian untuk mendorong transisi energi harus diperkuat dengan perbaikan kebijakan dan infrastruktur yang mendukung. Jika tidak dimulai sekarang, maka Indonesia akan menjadi yang paling terakhir. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya