SLB Ada hingga Jenjang SMA, Apa Perlu Perguruan Tinggi Luar Biasa bagi Penyandang Disabilitas?

Apakah universitas luar biasa memang perlu ada bagi para mahasiswa penyandang disabiltas?

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 06 Des 2024, 20:10 WIB
dosen penyandang disabilitas di Universitas Gadjah Mada (UGM) Wuri Handayani soal perguruan tinggi luar biasa, Jakarta (5/12/2024). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Liputan6.com, Jakarta Sekolah Luar Biasa atau SLB adalah sekolah khusus untuk siswa siswi penyandang disabilitas. Tak hanya jenjang sekolah dasar, SLB juga memiliki jenjang seperti Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) hingga Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).

Sementara, jenjang perguruan tinggi khusus bagi para penyandang disabilitas atau universitas luar biasa menjadi hal yang jarang terdengar.

Lantas, apakah universitas luar biasa memang perlu ada bagi para mahasiswa difabel?

Hal ini mendapat tanggapan dari dosen penyandang disabilitas di Universitas Gadjah Mada (UGM) Wuri Handayani.

“Menurut saya itu (kampus luar biasa) enggak perlu lah, karena begini ya yang namanya inklusif itu kan memasukan yang disabilitas dan non disabilitas dalam lingkungan yang sama,” kata Wuri kepada Disabilitas Liputan6.com saat ditemui dalam acara Breaking Barriers bersama British Council di Jakarta, Kamis (5/12/2024).  

“Justru seharusnya mulai dari SD sampai ke SMA itu sudah enggak ada lagi sekolah luar biasa yang memisahkan. Harusnya semua sekolah itu inklusif, itu yang kami harapkan,” tambahnya.

Dosen akuntansi yang sempat mengenyam pendidikan di Inggris itu menambahkan, di United Kingdom (UK) tidak ada sekolah yang secara spesifik khusus untuk penyandang disabilitas.

“Jadi semua anak dengan kondisi apapun itu akan sekolah di tempat yang sama,” jelas Wuri.


Dorong Semua Sekolah Jadi Inklusif

Peserta Didik Disabilitas Berhak Belajar Teknologi, Intip Keseruannya di SLBN 11 Jakarta (29/5/2024). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Lebih lanjut Wuri menjelaskan, adanya inkonsistensi dalam dunia pendidikan bagi penyandang disabilitas. Sehingga, alih-alih membuat sekolah khusus, lebih baik mendorong semua sekolah menjadi inklusif.

“Saya menyebutnya begini, ada inkonsistensi di peraturan pemerintah. Kalau pemerintah menetapkan aturan anak disabilitas itu harus sekolah di sekolah khusus, ya harusnya disediakan di semua level, tapi kan tidak ada.”

“Nah, justru itu yang harus kita tinggalkan, aturannya harus diganti bahwa semua sekolah harus inklusif tidak ada pembedaan,” papar Wuri.


Perbedaan Pendapat Soal SLB

Peserta Didik Disabilitas Berhak Belajar Teknologi, Intip Keseruannya di SLBN 11 Jakarta (29/5/2024). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Wuri tak memungkiri, memang ada perbedaan pendapat soal SLB. Ada anak-anak tertentu yang memiliki kekhususan dan jika bersekolah di sekolah mainstream maka mereka tidak mendapatkan terapi atau penanganan yang mereka butuhkan.

“Tapi saya punya contoh baik di Surabaya, jadi ada sekolah yang menyebut dirinya inklusif, bagi anak-anak dengan kondisi berat, saat mereka belajar maka mereka punya kelas-kelas tersendiri dan belajar dengan guru khusus.”

“Tapi, ketika kegiatan yang bisa dilakukan bersama seperti olahraga, upaya, istirahat mereka bisa berbaur dengan kawan-kawan (non disabilitas),” terang Wuri.

Ada pula siswa disabilitas yang kondisi emosionalnya tidak stabil. Maka, ketika emosinya sedang meluap-luap, ia bisa ditangani di kelas khusus.

“Tapi kan kondisi itu juga kan tidak terus-menerus, kadang-kadang, jadi ketika kondisi mereka stabil, tidak emosional, mereka bisa dimasukkan ke kelas (bersama non disabilitas), jadi on off on off, memang memerlukan effort dan kemauan dari kepala sekolah untuk bisa menyiapkan hal tersebut.”


Kondisi Pendidikan Inklusif di Indonesia

Peserta Didik Disabilitas Berhak Belajar Teknologi, Intip Keseruannya di SLBN 11 Jakarta (29/5/2024). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Sebelumnya, Wuri menerangkan soal dunia pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia yang masih perlu banyak dibenahi terutama dalam jenjang perguruan tinggi.

“Ketika kita bicara tentang pendidikan inklusif di perguruan tinggi, di Indonesia ini masih sangat jauh ya. Karena dari data statistik tahun 2018 menyebutkan bahwa hanya 2,8 persen dari 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia yang menyelesaikan pendidikan tinggi,” ujar Wuri.

Minimnya angka penyandang disabilitas yang berhasil mencapai pendidikan tinggi memicu terjadinya lingkaran kemiskinan, tambahnya.

“Kalau saya menyebutnya sebagai lingkaran kemiskinan. Biasanya penyandang disabilitas itu akan terhambat dari lingkungan, dari infrastruktur sehingga dia tidak bisa mengenyam pendidikan dengan baik.”

Ketika infrastruktur pendidikan tidak bisa berjalan dengan baik, maka penyandang disabilitas tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

“Ketika dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, maka dia masih dalam kondisi di mana dia selalu harus di-support dan kondisi ini masuk ke dalam lingkaran kemiskinan yang menurut saya ini harus diatasi dengan pendidikan yang memadai,” jelas perempuan pengguna kursi roda itu.


Pendidikan Inklusif Harus Dimulai dari Tingkat Dasar

Wuri pun menerangkan, pendidikan inklusif harus dimulai dari tingkat paling dasar. Artinya mulai dari sekolah dasar, menengah, sampai ke perguruan tinggi.

“Kita tidak bisa memulai langsung di perguruan tinggi tanpa harus menyiapkan di level-level yang dasar. Sehingga, 2,8 persen ini cukup bisa dipahami karena inklusivitas di level bawah masih sangat rendah,” ucap Wuri.

“Jadi ini yang menurut saya perlu ditingkatkan, bagaimana memperluas akses pendidikan bagi adik-adik, anak-anak disabilitas di Indonesia, karena data UNESCO pernah menyebutkan bahwa hanya dua dari 10 anak disabilitas yang pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar.”

Maka dari itu, sambungnya, pekerjaan rumah atau PR pemerintah masih banyak terutama untuk memperluas akses pendidikan terutama bagi anak-anak penyandang disabilitas.   

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya