Liputan6.com, Jakarta - Kecanggihan teknologi memudahkan manusia dalam melakukan berbagai hal termasuk mencari informasi. Media sosial hingga kecerdasan buatan (AI) menjadi alternatif publik, apalagi gen Z dan setelahnya sebagai platform untuk mendapatkan informasi.
Kemudahan-kemudahan tersebut membuat arus informasi semakin deras bahkan tak jarang bias. Di tengah derasnya arus tersebut, generasi yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi harus lebih skeptis dan kritis dalam menyikapi semua informasi yang muncul.
Advertisement
Cendekiawan Muslim Indonesia Professor Nadirsyah Hosen mencontohkan salah satu isu yang perlu dikritisi adalah maraknya ajakan boikot di Indonesia. Menurut dia, titik beratnya terkait akurasi data berkenaan dengan daftar produk yang beredar di tengah masyarakat.
"Memang ini menjadi problem, kita ingin memboikot karena memang kejahatan kemanusiaan dilakukan oleh Israel. Jadi kita prinsipnya oke memboikot tetapi jangan sampai salah sasaran," ujar Nadirsyah melalui keterangan tertulis, Jumat (6/12/2024).
Hal tersebut disampaikan Nadirsyah dalam seminar bertema Peluang dan Tantangan Integrasi AI dan Sosial Media dalam Globalisasi di Kampus UIN Sunan Gunung Djati, Kota Bandung, Selasa 3 Desember 2024 lalu.
Dia kemudian mengingatkan pentingnya untuk mencari tahu tentang suatu produk dan berharap masyarakat bisa lebih bijak sebelum melakukan boikot.
"Pentingnya akurasi data dan fakta agar boikot yang dilakukan tepat sasaran dan tidak salah sasaran. Masyarakat diharapkan untuk lebih bijaksana ketika mengetahui suatu produk terafiliasi Israel," kata Nadirsyah.
Jangan Sampai Emosi Sesaat
Nadirsyah yang juga merupakan Dosen Monash University Australia ini mengimbau agar jangan sampai karena emosi sesaat maka melakukan aksi boikot yang justru merugikan dalam negeri sendiri. Dia mengatakan, ada faktor perekonomian nasional yang juga perlu diperhatikan dalam gerakan boikot ini.
Nadirsyah lalu menyinggung banyaknya daftar produk beredar di tengah publik yang diterbitkan berbagai sumber non-pemerintah.
Dia mengungkapkan, sumber-sumber tersebut tidak mengungkapkan secara rinci alasan produk yang ada harus diboikot yang membuat akurasi informasi dapat dipertanyakan.
"Nantinya ketika itu disebarkan di media sosial, list itu kan bisa bertambah atau berkurang, begitu di forward kan bisa diubah dulu, kemudian di forward lagi. Nah ini yang menjadi bola liar," papar Nadirsyah.
Profesor dari Fakultas Hukum ini mengungkapkan, PBB telah mengeluarkan daftar perusahaan yang pro-Israel dengan jumlah sebanyak 167 produk pada 2023 lalu.
Dia mengungkapkan, PBB telah mengonfirmasi dan berkirim surat dengan perusahaan yang masuk dalam daftar tersebut.
Menurutnya, pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu duduk bersama dan mencari solusi sambil mencari fakta akurat terkait perusahaan terafiliasi Israel yang ada di Indonesia.
Advertisement
Banyak Dampak dari Boikot
Nadirsyah melanjutkan, MUI harus mengeluarkan secara resmi daftar produk yang terafiliasi Israel, kemudian pemerintah membuat sebuah aplikasi yang bisa digunakan masyarakat untuk mengetahui produk yang diboikot.
"Dibuat aplikasi sehingga orang ketika berbelanja itu dia tingga men-scan saja. Ibu-ibu mau belanja mau apa tinggal scan barcode," tutur dia.
Menurut Gus Nadir, sapaan akrabnya, dampak dari gerakan boikot ini sangat berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Dia mengungkapkan, banyak cabang perusahaan yang akhirnya melakukan PHK massal karena omzet yang terus menurun.
"(Dampaknya) lebih ke dalam negeri. Kenapa? Karena setelah satu tahun ternyata perangnya masih terus, tidak memberi efek, tetapi justru produsen lokal kita yang kena. Apalagi perusahaan lokal kita yang franchise, yang bermasalah itu adalah perusahaan yang di pusatnya," terang Nadirsyah.
"Jadi menurut saya, dampaknya lebih kepada kita (Indonesia) sendiri. Kita ingin menyakiti Israel karena dia melakukan kejahatan kemanusiaan, tapi yang terkena dampak saudari kita sendiri," tandas dia.
Dalam seminar ini dihadiri pula oleh Dosen Senior Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi UIN Bandung Wisnu Uriawan dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Bandung Ahmad Ali Nurdin.