Liputan6.com, Jakarta Penyakit misterius menyerang wilayah Republik Demokratik Kongo (DRC). Penyakit ini disebut misterius lantaran tidak terdiagnosis dan pejabat kesehatan setempat masih terus menyelidiki penyakit mematikan tersebut.
Hampir 400 kasus telah tercatat dan puluhan orang telah meninggal sejak infeksi misterius itu dilaporkan pada akhir Oktober. Data ini disampaikan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika (Africa CDC) dan badan kesehatan masyarakat Uni Afrika.
Advertisement
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengatakan pihaknya mengetahui laporan tersebut dan bekerja sama dengan pejabat di Kongo untuk menyelidiki sumber penyakit tersebut.
"WHO bekerja sama dengan otoritas nasional untuk menindaklanjuti laporan penyakit yang tidak teridentifikasi dan untuk memahami situasinya," kata badan kesehatan global itu dalam sebuah pernyataan kepada ABC News.
"Kami telah mengirim tim ke daerah tersebut untuk mengumpulkan sampel untuk penyelidikan laboratorium," mengutip ABC News, Sabtu (7/12/2024).
Dilaporkan bahwa penyakit ini pertama kali muncul di daerah terpencil di provinsi Kwango, di bagian barat daya DRC di perbatasan Angola, menurut Africa CDC.
Kasus pertama didokumentasikan pada tanggal 24 Oktober. Pasien mengalami gejala seperti flu termasuk demam, sakit kepala, batuk dan kesulitan bernapas serta anemia, kata Africa CDC dalam jumpa pers pada hari Kamis.
Ada 376 Kasus
Hingga 5 Desember, tercatat 376 kasus dan 79 kematian akibat penyakit tersebut, menurut Africa CDC, meskipun pejabat kesehatan setempat mengatakan bahwa 143 orang telah meninggal karena penyakit misterius tersebut.
"Yang mencolok dari hal ini bukan hanya jumlah orang yang terinfeksi, tetapi juga proporsi orang yang meninggal," kata profesor kedokteran dan spesialis penyakit menular di University of California, San Francisco, Dr. Peter Chin-Hong, kepada ABC News.
"Sejauh ini, 79 dari 376, itu kurang lebih 21 persen, yang sangat mencolok.”
Advertisement
Mayoritas Kasus Serang Anak-Anak
Sebagian besar kasus, atau 51,8 persen, terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Kelompok usia ini juga memiliki jumlah kematian terbesar, yakni 17 kasus menurut data Africa CDC.
Ketika diminta untuk berkomentar, Africa CDC mengarahkan ABC News ke jumpa pers pada hari Kamis. "Tim di lapangan sedang bekerja untuk memastikan datanya. Begitu (kami) mendapatkan informasi lebih lanjut, (kami) akan membagikannya," kata juru bicara CDC Afrika kepada ABC News dalam sebuah pernyataan.
Profesor kedokteran pencegahan di Vanderbilt University Medical Center di Nashville, Dr. William Schaffner, mengatakan fakta bahwa badan kesehatan global menyadari adanya wabah penyakit di wilayah terpencil merupakan tanda bahwa pengawasan global berhasil.
"Sangat hebat bahwa kami mendapat pemberitahuan tentang hal ini sehingga kami dapat menanggapinya dan seperti yang kami katakan, pengawasan adalah dasar bagi kesehatan masyarakat," kata Schaffner.
"Anda dapat menganggap pengawasan seolah-olah itu adalah sistem peringatan dini yang jauh seperti dalam radar. Anda tahu, awalnya radar hanyalah titik kecil di layar. Nah, kemudian Anda harus mengirim tim untuk mencari tahu apa arti titik kecil di layar itu."
Masih Banyak Hal yang Belum Diketahui
Schaffner mengatakan "aneh" melihat salah satu gejala penyakit yang dilaporkan adalah anemia, suatu kondisi di mana tubuh memiliki jumlah sel darah merah pembawa oksigen yang lebih rendah dari biasanya. Ia menambahkan bahwa tidak jelas apakah anemia tersebut terkait dengan penyakit atau memang ada karena beberapa pasien mungkin memiliki anemia sebagai kondisi yang sudah ada sebelumnya. Anemia akibat malnutrisi atau kekurangan gizi bisa menjadi penjelasan lain, katanya.
Menurut Chin-Hong, juga tidak jelas berapa banyak pasien yang mengalami penyakit ringan dibandingkan penyakit serius, dan apakah ada pasien yang tidak menunjukkan gejala.
"Yang tidak kita ketahui adalah berapa banyak orang yang tidak bergejala atau memiliki gejala ringan? Berapa temponya? Apakah orang-orang sakit untuk sementara waktu dan kemudian mereka semakin sakit karenanya?" kata Chin-Hong.
Tempo dalam konteks ini mengacu pada seberapa cepat penyakit berkembang pada orang yang terinfeksi.
"Pada sebagian besar wabah seperti COVID atau virus pernapasan lainnya, biasanya bersifat akut, sekitar dua hingga tiga hari, dan tempo itu membuat kita berspekulasi tentang jenis infeksi apa yang mungkin terjadi," lanjutnya. "Jika lebih kronis, maka bisa jadi itu adalah sesuatu seperti jamur atau penyakit (yang tidak diketahui) lainnya."
Advertisement