Liputan6.com, Jakarta - Kiai Abdul Hamid Pasuruan dikenal sebagai seorang kiai yang penuh karomah dan kebijaksanaan. Banyak kisah hikmah dan kebaikan yang menyertai perjalanan hidupnya, menjadikannya sosok yang sangat dihormati di kalangan masyarakat. Mbah Hamid Pasuruan tidak hanya dikenal karena keilmuannya, tetapi juga karena sikap rendah hati dan cara berinteraksi dengan orang lain yang selalu penuh dengan penghormatan.
Pada masa Orde Baru, Golkar adalah partai penguasa yang sangat dominan. Banyak pejabat negara yang mendatangi Kiai Hamid dengan niat untuk mengajak beliau bergabung ke dalam partai tersebut. Mereka ingin mendapatkan dukungan dari kiai yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, baik secara spiritual maupun sosial. Namun, Kiai Hamid dikenal sebagai sosok yang teguh dengan prinsipnya, dan tidak mudah terpengaruh oleh tawaran semacam itu.
Suatu hari, sejumlah pejabat negara datang ke rumah Kiai Hamid di Pasuruan untuk menawarkan kesempatan bergabung dengan partai penguasa. Mereka datang dengan sikap penuh hormat, menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Seperti biasa, Kiai Hamid menyambut mereka dengan penuh keramahan, mempersilakan duduk, dan mendengarkan dengan seksama apa yang mereka sampaikan.
Setelah pejabat-pejabat tersebut menjelaskan tujuan mereka, mereka menyerahkan selembar kertas dan sebuah pulpen kepada Kiai Hamid untuk ditandatangani.
Dengan sikap yang tetap santun, Kiai Hamid menerima kertas itu tanpa ragu. Namun, ketika ia hendak menandatangani surat tersebut, sesuatu yang aneh terjadi.
Tinta dari pulpen yang disodorkan kepada Kiai Hamid tidak keluar meskipun beliau sudah mencoba beberapa kali. Ia mengganti pulpen yang berbeda, berharap tinta dapat keluar dan ia bisa menandatangani surat tersebut.
Namun, meskipun telah mengganti beberapa pulpen, tinta tetap tidak mau keluar. Hal ini menimbulkan keheranan di antara para pejabat yang hadir saat itu.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Tinta Pulpennya Enggan Tanda Tangan
Melihat kejadian tersebut, Kiai Hamid dengan tenang berkata, "Bukan saya yang enggak mau tanda tangan, tapi ballpoint-nya enggak mau." Dengan kalimat sederhana itu, Kiai Hamid menyampaikan penolakan dengan cara yang sangat halus, tanpa menyinggung perasaan siapa pun. Ia tetap menjaga sikap hormat kepada para tamu yang datang.
Kata-kata Kiai Hamid tersebut tidak hanya menunjukkan kecerdasan spiritual beliau, tetapi juga menunjukkan bagaimana beliau bisa menolak tawaran dengan cara yang penuh dengan hikmah dan kebijaksanaan.
Sang Kiai tidak langsung mengatakan "tidak", melainkan menyampaikan penolakan dengan cara yang lembut dan penuh penghormatan, sebuah contoh sikap yang sangat jarang ditemukan dalam dunia politik dan sosial.
Peristiwa ini pun menjadi cerita yang sangat dikenang oleh banyak orang, termasuk para pejabat yang hadir saat itu. Mereka mungkin datang dengan niat untuk mengajak Kiai Hamid bergabung dalam partai mereka, namun Kiai Hamid memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi situasi dengan penuh ketenangan dan kebijaksanaan.
Cerita ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga prinsip dan integritas, meskipun dalam tekanan atau tawaran yang menggiurkan. Kiai Hamid menunjukkan bahwa menolak tawaran bukan berarti harus bersikap kasar atau tidak menghormati, tetapi bisa dilakukan dengan cara yang halus, penuh penghormatan, dan tetap menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Kisah ini juga mencerminkan bagaimana Kiai Hamid menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan dan rendah hati, tanpa terpengaruh oleh posisi atau kekuasaan yang ada. Beliau lebih memilih untuk tetap konsisten dengan keyakinannya, tanpa terbawa arus kekuasaan yang dapat mengubah prinsip hidupnya.
Para pejabat yang hadir di rumah Kiai Hamid saat itu tentu merasa dihormati, meskipun tawaran mereka ditolak dengan cara yang sangat halus. Kiai Hamid tidak membiarkan dirinya terjebak dalam godaan kekuasaan, tetapi tetap menjalani hidupnya sesuai dengan ajaran agama dan prinsip moral yang diyakininya.
Sikap Kiai Hamid ini menjadi contoh bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang seringkali terjebak dalam tarik menarik kekuasaan dan politik. Terkadang, cara terbaik untuk menghadapi tawaran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kita adalah dengan tetap menjaga sikap yang baik, tanpa harus mengorbankan integritas diri.
Advertisement
Menjaga Sikap dengan Rendah Hati
Pada akhirnya, cerita tentang Kiai Hamid dan cara beliau menolak tawaran untuk bergabung dengan partai ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Tidak semua penolakan harus dilakukan dengan cara yang kasar atau keras, tetapi dengan kebijaksanaan dan sikap rendah hati, kita bisa tetap menjaga hubungan baik dengan orang lain tanpa harus mengorbankan prinsip hidup kita.
Kisah Kiai Hamid ini juga mengingatkan kita bahwa kehidupan tidak selalu tentang mencapai posisi atau kekuasaan, tetapi tentang bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh kebajikan dan tetap setia pada prinsip-prinsip yang kita yakini. Kiai Hamid adalah contoh nyata dari seseorang yang lebih mengutamakan prinsip dan ajaran agama daripada kekuasaan duniawi.
Peristiwa ini juga memperlihatkan betapa pentingnya untuk selalu menjaga sikap rendah hati, meskipun kita memiliki banyak pengaruh atau kekuasaan. Kiai Hamid tetap menghormati tamunya, meskipun dengan cara yang sangat halus, beliau menolak tawaran tersebut dengan cara yang penuh hikmah.
Sebagai umat yang baik, kita diajarkan untuk selalu menjaga sikap dan perilaku kita di hadapan orang lain. Seperti Kiai Hamid, kita seharusnya dapat menghadapi setiap situasi dengan penuh kebijaksanaan dan ketenangan, serta tetap menjaga integritas diri tanpa harus terpengaruh oleh tawaran atau tekanan dari luar.
Kisah ini juga mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan tetap rendah hati, bahkan ketika kita menghadapi godaan yang datang dari luar. Kiai Hamid adalah contoh nyata bahwa dengan keteguhan hati dan prinsip, kita bisa menjalani hidup dengan penuh keberkahan, tanpa terjerat dalam godaan kekuasaan dan materi.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul