Liputan6.com, Jakarta - Abuya KH Ahmad Dimyathi bin Romli, yang akrab dikenal sebagai Abuya Dimyathi Cilongok, adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah di Banten. Beliau dihormati sebagai ulama besar yang memiliki banyak murid.
Abuya Dimyathi juga merupakan ayah dari Abuya Uci Turtusi, Abuya Tohawi Romli, dan Abuya Iim Imadudin, yang semuanya mengikuti jejak ayah mereka sebagai ulama.
Baca Juga
Advertisement
Kisah luar biasa tentang karomah Abuya Dimyathi ini menjadi hal yang menarikseperti dikutip dalam sebuah tayangan video di kanal YouTube @Fakta_Bray. Dalam video tersebut, diceritakan pengalaman unik yang melibatkan tiga orang perampok yang mendatangi rumah Abuya di malam hari.
Pada suatu malam ketika suasana pondok pesantren sudah sunyi, tiga orang perampok mendatangi rumah Abuya. Mereka mendesak Abuya untuk menyerahkan uang yang diduga berasal dari para donatur kaya. Meski diancam dengan golok, Abuya tetap tenang dan tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun.
Abuya lalu meminta para perampok itu untuk menunggu sebentar. Ia masuk ke dalam rumah dan kembali dengan membawa sebuah koper besar yang tampak penuh. Koper tersebut diserahkan kepada para perampok dengan santai, seraya meminta mereka untuk menghitung uangnya terlebih dahulu.
Para perampok itu pun mulai menghitung isi koper dengan serius. Sementara itu, Abuya melanjutkan rutinitasnya. Ia keluar rumah untuk melaksanakan sholat Subuh dan mengajar ngaji seperti biasa. Tanpa disadari oleh para perampok, Abuya bahkan berlalu-lalang di depan mereka beberapa kali.
Simak Video Pilihan Ini:
Perampok Sadar setelah Waktu Sholat Ashar
Yang lebih luar biasa, Abuya dan para santrinya justru melayani para perampok itu dengan membawa kopi panas dan pisang goreng. Para perampok menikmati suguhan tersebut sambil terus menghitung uang yang tak kunjung selesai.
Ketika waktu mulai bergeser menuju Ashar, para perampok baru menyadari ada keanehan. Mereka merasa telah menghabiskan waktu berjam-jam, namun uang dalam koper seolah tidak pernah habis. Hal ini membuat mereka mulai kebingungan.
Mereka juga mulai memperhatikan bahwa pintu dan jendela rumah Abuya terbuka lebar. Para santri dengan bebas berlalu-lalang, tanpa sedikit pun terlihat ketakutan akan kehadiran mereka. Situasi ini menambah rasa takjub sekaligus malu bagi para perampok.
Akhirnya, mereka sadar bahwa apa yang mereka alami adalah sesuatu yang di luar nalar. Perasaan bersalah dan penyesalan mulai muncul di hati mereka. Mereka pun berinisiatif meminta maaf kepada Abuya atas perbuatan mereka.
Abuya menerima permintaan maaf mereka dengan penuh kasih sayang. Tidak hanya itu, beliau bahkan mengajak ketiga perampok tersebut untuk belajar agama dan mendalami Islam lebih jauh. Ajakannya diterima dengan baik oleh ketiganya.
Perampok-perampok tersebut kemudian memutuskan untuk menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah. Perubahan drastis ini menjadi bukti nyata dari karomah dan akhlak mulia Abuya Dimyathi.
Advertisement
Pelajaran Hidup dari Kisah Abuya Dimyathi
Kisah ini menjadi salah satu bukti bagaimana kesabaran dan keimanan dapat mengubah hati manusia. Dalam situasi yang penuh tekanan sekalipun, Abuya mampu memberikan pelajaran hidup yang berharga kepada orang-orang di sekitarnya.
Tidak hanya itu, kisah ini juga menjadi inspirasi bagi banyak orang yang mendengar tentangnya. Sikap tenang, penuh kasih sayang, dan kebijaksanaan Abuya membuktikan bahwa dakwah bisa dilakukan dengan cara-cara yang lembut namun efektif.
Dalam sejarah dakwah Islam, peristiwa seperti ini sering dikaitkan dengan karomah, yaitu keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh. Abuya Dimyathi adalah salah satu contoh ulama yang dikenal memiliki karomah tersebut.
Hingga kini, kisah ini tetap menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Banyak yang terinspirasi untuk meneladani akhlak mulia Abuya dalam kehidupan sehari-hari.
Karomah Abuya Dimyathi tidak hanya membuktikan kekuatan spiritual seorang ulama, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya bersikap sabar dan bijaksana dalam menghadapi setiap ujian hidup.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul