Liputan6.com, Moskow - Para pemberontak Suriah mengumumkan keberhasilan mereka menggulingkan Presiden Bashar al-Assad setelah merebut ibu kota Damaskus pada hari Minggu, 8 Desember 2024. Kemenangan ini memaksa Assad melarikan diri, yang sekaligus mengakhiri kekuasaan keluarga Assad yang telah berlangsung setengah abad.
Kejatuhan Assad terjadi setelah lebih dari 13 tahun perang saudara di Suriah, sebuah peristiwa yang menjadi momen penting dalam sejarah politik Timur Tengah. Pencapaian pemberontak memberikan pukulan besar terhadap pengaruh Rusia dan Iran di Suriah, dua sekutu yang mendukung Assad selama periode kritis dalam konflik tersebut.
Advertisement
Menurut kantor berita Rusia, Assad dan keluarganya telah tiba di Rusia dan diberikan suaka oleh otoritas Rusia.
Kantor berita Interfax mengutip sumber Kremlin yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan, "Presiden Assad dari Suriah beserta keluarganya telah tiba di Moskow. Rusia telah memberikan suaka kepada mereka (dia dan keluarganya) atas dasar kemanusiaan."
Interfax mengutip sumber Kremlin yang sama menyebutkan bahwa Rusia mendukung solusi politik atas krisis di Suriah, di mana negosiasi harus dilanjutkan di bawah naungan PBB.
Keberadaan Assad di Rusia turut dilaporkan oleh dua kantor berita Rusia lainnya, RIA Novosti dan TASS, dengan pernyataan serupa.
Sementara itu, Presiden Joe Biden menyatakan pada hari Minggu bahwa Amerika Serikat (AS) akan bekerja sama dengan mitra dan pemangku kepentingan di Suriah untuk memanfaatkan kesempatan ini dan mengelola risikonya.
Dalam pernyataannya di Gedung Putih, Biden mengatakan bahwa AS akan mendukung negara-negara tetangga Suriah selama masa transisi dan akan menilai perkataan serta tindakan kelompok pemberontak.
Biden menegaskan pula Assad "harus dimintai pertanggungjawaban".
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memuji berakhirnya rezim diktator di Suriah dan menyerukan negara itu untuk bangkit kembali.
"Setelah 14 tahun perang brutal dan jatuhnya rezim diktator, hari ini rakyat Suriah dapat memanfaatkan kesempatan bersejarah untuk membangun masa depan yang stabil dan damai," kata Guterres seperti dilansir CNA, Senin (9/12).
"Saya mengulang seruan untuk tenang dan menghindari kekerasan pada saat sensitif ini, sambil melindungi hak-hak seluruh rakyat Suriah, tanpa kecuali."
Para pemberontak mengungkapkan mereka telah memasuki ibu kota tanpa tanda-tanda penempatan pasukan. Para saksi mata menuturkan, ribuan orang di mobil dan berjalan kaki berkumpul di alun-alun utama sambil melambaikan tangan dan berteriak "Freedom".
Orang-orang terlihat berjalan di dalam Istana Presiden Al-Rawda, dengan beberapa orang keluar membawa furnitur dari dalam. Para pemberontak mengonfirmasi bahwa para tahanan telah dibebaskan dari penjara besar di pinggiran Damaskus, di mana pemerintah Suriah menahan ribuan orang.
"Kami merayakan bersama rakyat Suriah berita pembebasan tahanan kami dan melepaskan belenggu mereka," ujar para pemberontak.
Pada saat bersamaan, kantor berita Press TV yang berbahasa Inggris melaporkan Kedutaan Besar Iran diserbu oleh para pemberontak Suriah.
Dua sumber keamanan Lebanon menuturkan kepada Reuters pada hari Minggu bahwa Hizbullah, yang memberikan dukungan penting bagi Assad selama bertahun-tahun, menarik semua pasukannya dari Suriah pada hari Sabtu (7/12) ketika faksi-faksi pemberontak mendekati ibu kota Damaskus. Salah satu sumber mengatakan bahwa pasukan pengawas yang dikerahkan Hizbullah ke Suriah pada malam antara Kamis (5/12) dan Jumat (6/12) telah dikirim untuk mengawasi penarikan pasukan tersebut.
Harapan untuk Transisi Mulus
Koalisi pemberontak Suriah menggarisbawahi bahwa mereka terus bekerja untuk menyelesaikan proses peralihan kekuasaan di Suriah ke badan pemerintahan transisi dengan wewenang eksekutif penuh.
"Revolusi besar Suriah telah bergerak dari tahap perjuangan untuk menggulingkan rezim Assad ke perjuangan untuk membangun Suriah bersama yang layak dengan pengorbanan rakyatnya," tambah mereka.
Ketika rakyat Suriah menyatakan kegembiraan, Perdana Menteri Mohammad Ghazi al-Jalali menyerukan pemilu yang bebas.
Namun, hal itu memerlukan transisi yang mulus di negara yang memiliki kepentingan yang saling bersaing, mulai dari kelompok militan hingga kelompok yang memiliki hubungan dengan AS, Rusia, dan Turki.
Jalali juga mengatakan bahwa dia telah berkomunikasi dengan komandan pemberontak Abu Mohammed al-Golani untuk mendiskusikan pengelolaan periode transisi, yang menandai perkembangan penting dalam upaya untuk membentuk masa depan politik Suriah.
Kehancuran kekuasaan Assad mengikuti pergeseran keseimbangan kekuatan di Timur Tengah setelah banyak pemimpin kelompok Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon, yang merupakan tulang punggung pasukan Assad di medan perang, dibunuh oleh Israel selama dua bulan terakhir.
Jalan ke depan sangat kompleks dengan berbagai kelompok yang mengejar agenda yang bertentangan.
"Pasukan Suriah yang didukung Turki telah menguasai sekitar 80 persen wilayah Manbij di Suriah utara dan hampir mencapai kemenangan melawan pasukan Kurdi di sana," kata seorang sumber keamanan Turki.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dilaporkan mengadakan pembicaraan dengan Geir Pedersen, utusan PBB untuk Suriah, di Doha pada hari Sabtu. Mengutip laporan kantor berita Interfax pada hari Minggu, mereka membahas langkah-langkah yang mungkin diambil untuk menstabilkan situasi di Suriah.
Konstantin Kosachyov, Wakil Ketua Dewan Federasi Rusia, menyatakan bahwa rakyat Suriah harus menghadapi perang saudara skala penuh ini sendirian. Dia menambahkan Moskow siap memberikan dukungan kepada rakyat Suriah dalam situasi tertentu.
Rusia, yang telah menjadi sekutu setia Assad, terlibat secara signifikan dalam perang saudara Suriah sejak 2015 untuk membantu pemerintah Assad. Dengan sebagian besar sumber daya militernya kini terfokus pada Ukraina, kemampuan Rusia untuk memengaruhi situasi di Suriah kali ini terbatas, meskipun negara itu masih mempertahankan dua fasilitas militer di sana.
Advertisement
AS Akan Mempertahankan Kehadirannya
Menstabilkan wilayah barat Suriah yang direbut dalam kemajuan pemberontak akan menjadi kunci. Negara-negara Barat, yang selama ini menentang pemerintahan Assad, sekarang dihadapkan pada keputusan sulit tentang bagaimana berhubungan dengan pemerintahan baru, di mana kelompok yang diakui sebagai organisasi teroris internasional, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kemungkinan besar akan memiliki pengaruh.
Namun, AS akan terus mempertahankan kehadirannya di Suriah timur dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah kebangkitan kembali ISIS, kata Wakil Asisten Sekretaris Pertahanan untuk Timur Tengah Daniel Shapiro, dalam konferensi Dialog Manama di ibu kota Bahrain pada hari Minggu.
Sebelum kekalahannya, ISIS memerintah dengan teror di sebagian besar wilayah Suriah dan Irak.
Pada sebuah konferensi di Doha, Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan mengatakan bahwa "organisasi teroris" tidak boleh dibiarkan memanfaatkan situasi di Suriah dan menyerukan semua pihak untuk bertindak dengan hati-hati.
HTS, yang memimpin kemajuan pemberontak di seluruh Suriah barat, dulunya adalah afiliasi Al Qaeda yang dikenal sebagai Front Nusra sampai pemimpinnya, Abu Mohammed al-Golani, memutuskan hubungan dengan gerakan jihad global pada 2016.
"Pertanyaan sebenarnya adalah seberapa teratur transisi ini dan tampaknya cukup jelas bahwa Golani sangat bersemangat agar ini berjalan teratur," kata ahli Suriah dan Direktur Pusat Studi Timur Tengah di Universitas Oklahoma Joshua Landis.
Golani dinilai tidak ingin mengulang kekacauan yang melanda Irak setelah pasukan yang dipimpin AS menggulingkan Saddam Hussein pada 2003.
"Mereka harus membangun kembali ... mereka akan membutuhkan Eropa dan AS untuk mencabut sanksi," tutur Landis.
HTS adalah kelompok pemberontak terkuat di Suriah dan beberapa orang Suriah tetap takut bahwa mereka akan menerapkan aturan Islam yang keras atau memicu pembalasan.
Negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Mesir, yang keduanya merupakan sekutu dekat AS, melihat kelompok militan Islam sebagai ancaman eksistensial, sehingga HTS mungkin menghadapi perlawanan dari kekuatan regional.
Dalam sebuah konferensi di Manama, Anwar Gargash, penasihat diplomatik presiden Uni Emirat Arab, menekankan bahwa kekhawatiran utama negara tersebut adalah "ekstremisme dan terorisme".
Gargash menyalahkan kejatuhan Assad pada kegagalan politik dan mengatakan Assad tidak memanfaatkan "tali penyelamat" yang ditawarkan oleh berbagai negara Arab sebelumnya, termasuk Uni Emirat Arab.