Benarkah Kenaikan PPN 12% Hanya Dirasakan Orang Kaya?

Dalam situasi inflasi atau kenaikan harga barang, produk yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan sekunder dapat dengan mudah masuk ke kategori barang mewah.

oleh Tim Bisnis diperbarui 09 Des 2024, 10:30 WIB
Berbagai sarana dan prasarana yang sudah disiapkan pihaknya untuk memfasilitasi penyandang disabilitas, mulai dari guiding block untuk memandu tuna netra, hingga ketersediaan kursi roda serta tongkat untuk membantu mereka yang kesulitan berjalan. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto memastikan bahwa penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025 akan diterapkan secara selektif. Penerapan kenaikan tarif PPN 12 persen tidak akan diperlakukan kepada rakyat kecil.

Lantas apakah PPN 12 persen tersebut hanya akan memengaruhi kalangan kaya saja?

Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai istilah barang mewah sendiri masih membingungkan. Hingga saat ini, pemerintah belum mengungkap definisi barang mewah yang dimaksud secara jelas, dan apa saja yang termasuk dalam kategori ini.

Dalam konteks pajak, barang mewah biasanya mencakup produk seperti kendaraan bermotor premium, perhiasan, barang elektronik mahal, dan properti dengan nilai tertentu. Akan tetapi, batasan nilai barang yang dianggap mewah sering kali tidak sesuai dengan daya beli masyarakat pada tingkat menengah ke bawah.

Dalam situasi inflasi atau kenaikan harga barang, produk yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan sekunder dapat dengan mudah masuk ke kategori barang mewah.

Misalnya, beberapa barang elektronik seperti ponsel kelas menengah atas yang sering digunakan untuk bekerja atau pendidikan kini bisa dikenakan pajak yang lebih tinggi.

"Hal ini menunjukkan bahwa definisi barang mewah cenderung kabur dan dapat bergeser seiring waktu, yang pada akhirnya menyulitkan masyarakat menengah ke bawah," ujar Achmad, Senin (9/12/2024).

Dengan ini, ia menekankan kenaikan PPN menjadi 12 persen tetap memberikan efek domino terhadap barang dan jasa lain.

Salah satu efek yang sering diabaikan dari kebijakan seperti ini adalah dampak tidak langsung terhadap barang dan jasa lain yang terkait dengan barang mewah tersebut.

Sebagai contoh, peningkatan PPN untuk kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi industri pendukung seperti layanan perbaikan, asuransi, hingga suku cadang. Jika produsen dan penyedia jasa di sektor ini menaikkan harga untuk menyesuaikan dengan kenaikan tarif pajak, maka masyarakat menengah yang menggunakan produk atau layanan tersebut juga akan terdampak.

 


Menekan Daya Beli

Petugas dengan menggunakan bahasa isyarat melayani wajib pajak penyandang tuna rungu di KPP Pratama, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (2/10/2024). (merdeka.com/Arie Basuki)

Selanjutnya, kenaikan PPN 12 persen pada tahun depan juga diyakini akan tetap menekan daya beli. Meskipun tarif PPN yang lebih tinggi secara teori ditujukan untuk barang-barang yang dianggap tidak esensial, dalam praktiknya, dampak tersebut merambat ke hampir semua lapisan masyarakat.

Achmad menyebut kenaikan harga barang mewah dapat memicu kenaikan harga barang lain di pasar. Hal ini terutama terlihat pada sektor yang memiliki rantai pasok panjang, seperti industri makanan, konstruksi, dan transportasi.

Ia mencontohkan, barang elektronik yang dianggap mewah seperti laptop atau ponsel pintar kini menjadi kebutuhan penting, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang menggunakannya untuk bekerja atau belajar. Jika harga barang-barang ini naik akibat pajak, maka kelompok masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan untuk mengakses teknologi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, kenaikan PPN 12 persen membuat kelompok menengah ikut menjadi korban.

Kebijakan PPN yang tinggi untuk barang mewah sebenarnya menciptakan risiko bagi kelompok menengah yang sedang berusaha meningkatkan taraf hidupnya. Misalnya, mereka mungkin menyewa kendaraan premium untuk acara tertentu, membeli barang elektronik berkualitas tinggi untuk pekerjaan, atau menggunakan layanan hotel yang dikenakan tarif lebih tinggi karena dianggap sebagai barang mewah.

Dengan kenaikan tarif pajak, pengeluaran mereka untuk kebutuhan ini akan meningkat, mengurangi kapasitas mereka untuk menabung atau berinvestasi.

Ia mengingatkan, dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen ini akan dirasakan oleh kelompok ekonomi kecil melalui mekanisme ekonomi yang disebut “spillover effect”.


Prabowo Kembali Ingatkan Kenaikan PPN 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah

Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyampaikan pidato politik saat HUT ke-20 KSPI di Jakarta, Rabu (6/2). Dalam acara ini Prabowo Subianto berkesempatan untuk menyampaikan pidato politik di hadapan ratusan buruh. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Presiden Prabowo Subianto angkat bicara soal penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi 12 persen di 2025. Menurut dia, hal tersebut sudah diputusan, bahwa diterapkan secara selektif.

"Kan Sudah diberi penjelasan, PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan. Tapi selektif hanya untuk barang mewah," kata dia di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (6/12/2024).

Prabowo menegaskan, penerapan kenaikan tarif PPN 12 persen tidak akan diperlakukan kepada rakyat kecil.

"Untuk rakyat lain kita tetap lindungi. Sudah sejak akhir 23 (2023) Pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut, untuk membela membantu rakyat kecil. Jadi kalaupun naik itu hanya untuk barang mewah," jelasnya.

Sebelumnya, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyepakati pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025 bertujuan mengimbangi penerimaan negara, menjaga daya beli dan kondisi dunia usaha.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto sudah membahas secara rinci dan telah disepakati juga oleh DEN bersama para menteri, terkait pengenaan PPN 12 persen itu.

"Pak (Presiden) sudah sangat detail mengenai itu. Saya kira kami dengan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan juga sudah sepakat mengenai itu," kata Luhut saat memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis.

Usai bertemu dengan Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan, DEN menyatakan pihaknya juga sepakat pengenaan PPN sebesar 12 persen itu sebagai upaya pemerintah dalam mencari perimbangan antara penerimaan negara, menjaga daya beli masyarakat, hingga keadaan dunia usaha.

Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu menyatakan bahwa opsi pengenaan PPN itu juga tidak diberlakukan untuk seluruh barang atau komoditas, misalnya saja dikenakan untuk barang mewah.

"Kita sih setuju dengan mencari keseimbangan yang tepat ya. Antara mengenakan mungkin PPN itu dikenakan untuk barang mewah misalnya ya," kata Mari Elka.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya