, Damaskus - Militer Suriah mengatakan kepada para perwiranya bahwa pemerintahan otokratis Presiden Bashar al-Assad telah berakhir.
Para pemberontak Suriah berhasil menggulingkan Presiden Bashar al-Assad setelah melancarkan serangan kilat. Dalam waktu kurang dari dua minggu, mereka berhasil merebut sejumlah kota besar yang sebelumnya dikuasai pemerintah, dengan puncaknya pada Minggu (8/12/2024), ketika pemberontak berhasil merebut ibu kota, Damaskus.
Advertisement
Kemenangan ini memaksa Assad melarikan diri, yang sekaligus mengakhiri kekuasaan keluarga Assad yang telah berlangsung setengah dekade.
Menurut kantor berita Rusia, penguasa Suriah, Bashar al-Assad kini berada di Moskow, Rusia. Kantor berita negara Tass dan Ria Novosti melaporkan pada hari Minggu (8/12), dengan mengutip sebuah sumber di Kremlin, Rusia memberikan suaka "berdasarkan pertimbangan kemanusiaan."
Menurut Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah atau Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), Assad dikatakan meninggalkan Damaskus dengan pesawat pribadi sekitar pukul 22.00 malam pada hari Sabtu (7/12). Kalangan militer Suriah menyatakan laporan tersebut benar adanya: Assad telah meninggalkan negaranya dengan pesawat terbang.
Perdana Menteri Suriah saat ini Mohammed al-Jalali mengumumkan bahwa dia tidak lagi berkontak dengan Bashar al-Assad. Fakta kepergian Assad juga terdokumentasikan dalam banyak rekaman dan video di media sosial. Di medsos tampak bagaimana penduduk menerobos masuk ke istana sang diktator yang digulingkan itu dan merayakannya.
Sementara itu, timbul pertanyaan mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya dalam konflik Suriah. Aliansi Islam "Hajat Tahrir al-Sham" (HTS) menerbitkan pernyataan pertamanya.
"Kepada para pengungsi dari seluruh dunia, Suriah yang bebas menanti Anda," demikian pernyataan kelompok HTS seperti dikutip dari DW Indonesia, Selasa (10/12/2024).
Gambar online menunjukkan pembebasan beberapa penjara rezim, termasuk Penjara Saidnaya yang terkenal kejam di utara Damaskus, tempat ribuan penentang rezim disiksa dan dibunuh.
Akankah Suriah Lebih Moderat Setelah Assad tumbang?
Namun seberapa bebaskah Suriah nantinya? Fokus utamanya adalah pada pemimpin milisi Islam HTS, Abu Muhammad al-Jaulani, yang kini menguasai sebagian besar negara.
Bagaimana dia membayangkan masa depan Suriah? Ada berbagai penilaian mengenai hal ini. HTS telah mengalami perkembangan yang panjang, ungkap pakar Suriah André Bank dari Institut Studi Global dan Area Jerman (GIGA) di Hamburg kepada DW beberapa hari lalu.
Jaulani menjauhkan diri dari Al-Qaeda beberapa tahun lalu. Ia juga dianggap sebagai penentang organisasi jihad Negara Islam, ISIS. Artinya, dia tidak menjalankan misi melawan Barat, namun berkonsentrasi di Suriah. Bisa dibayangkan bahwa dia sekarang sedang bekerja menuju tarekat Salafi. Al-Jaulani sendiri menunjukkan sikap moderat. Selama serangan di Aleppo, ia menyerukan agar warga kristiani dan kelompok minoritas tidak diserang.
Dalam wawancara dengan saluran berita Amerika CNN, Jaulani menjelaskan bahwa dia ingin membangun lembaga-lembaga negara yang harus mencakup semua kelompok sosial di negara tersebut. Fakta bahwa sejauh ini tidak ada kekerasan terhadap kelompok minoritas merupakan "tanda harapan," kata pakar Suriah James Dorsey dari Middle East Institute di Washington kepada DW.
Namun, mantan duta besar Jerman di Damaskus, Andreas Reinicke, berpandangan lebih skeptis. HTS tetap berakar pada ideologi Al-Qaeda. Oleh karena itu, masa depan kelompok minoritas Kristen dan Kurdi di Suriah terancam, tandasnya kepada kepada kantor berita KNA.
Advertisement
Peran Tentara Nasional Suriah SNA
Selain HTS, ada juga kelompok lain yang mempunyai pengaruh di Suriah. Tentara Nasional Suriah (SNA) bertempur bersama HTS. Kelompok ini muncul dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA), sekelompok milisi yang berperang melawan Assad setelah pemberontakan tahun 2011, dan dikatakan sangat dekat dengan Turki.
SNA telah berulang kali dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan berulang kali menyiksa orang Kurdi. Pada saat yang bersamaan, ada juga mekanisme di dalam kelompok yang dimaksudkan untuk mencegah kejahatan semacam itu, papar pakar Suriah Omer Ozkizilcik dari lembaga pemikir Atlantic Council kepada majalah Timur Tengah, Middle East Eye.
Sekarang tergantung pada kekuatan mana dalam SNA yang menang dan hubungan seperti apa yang mereka jalin dengan HTS, yang dipandang sebagai persaingan.
Namun milisi anti-Assad dari selatan negara itu juga berperan dalam semua ini. Satu-satunya hal yang menghubungkan mereka dengan HTS adalah perlawanan mereka terhadap diktator yang digulingkan. Akan tetapi, secara ideologis, kelompok yang didominasi kaum sekuler ini sangat berbeda dengan kelompok islamis.
Dan di utara, kaum Kurdi akan mencoba untuk menegaskan diri mereka melawan SNA dan Turki di belakangnya. Konflik ini juga menyimpan potensi kekerasan yang cukup besar.
Rusia, Iran, Turki: Peran Aktor Asing
Perilaku aktor internasional juga sangat penting bagi masa depan Suriah. Turki kemungkinan besar akan mendapatkan pengaruh yang besar dan berpotensi menjadi "raja" di Suriah, ujar James Dorsey.
Namun, tantangannya bagi pemerintahan yang berpusat di Ankara ada adalah potensi konflik dengan Kurdi, dan upaya desentralisasi yang dilakukan HTS.
Pihak yang paling kalah dalam kudeta ini adalah Iran. Dia telah berjuang bersama Assad melawan pemberontak selama bertahun-tahun dan memberikan kontribusi signifikan terhadap kemenangannya.
Hal ini memungkinkan pemerintahan di Teheran untuk memantapkan dirinya secara militer di Suriah - sebuah kesempatan ideal bagi rezim di Teheran untuk bergerak lebih dekat ke Israel dan pada saat yang bersamaan memasok senjata kepada afiliasinya, Hizbullah, yang juga ditujukan untuk melawan Israel. Baik Iran dan Hizbullah telah menarik diri dari Suriah dalam beberapa hari terakhir.
Jatuhnya rezim Assad juga kemungkinan besar akan berdampak pada kredibilitas Iran dalam keseluruhan apa yang disebut "Poros Perlawanan," papar Marcus Schneider, manajer proyek "Perdamaian dan Keamanan di Timur Tengah – Afrika Utara" Friedrich Ebert Stiftung (FES).
"Itulah sebabnya kekalahan Teheran di Suriah akan sebanding dengan kekalahan Soviet di Afganistan. Situasi ini juga bisa menandai berakhirnya rezim Islam di Teheran sendiri."
Rusia, yang telah mendukung rezim Assad dalam memerangi pemberontak sejak tahun 2015, juga terkena dampak dari tumbangnya Assad. Tanpa Assad, keberadaan Kremlin di pangkalan angkatan laut di dekat Tartus dan pangkalan udara Hmeimim dekat Latakia, di Pantai Mediterania kemungkinan akan goyah. Di kedua pangkalan militer Rusia ini, diperkirakan juga akan terjadi kekerasan yang signifikan.
Advertisement