Liputan6.com, Jakarta - Kaum perempuan di Afganistan menghadapi tantangan baru dalam dunia pendidikan maupun kesehatan. Negara tersebut melarang para perempuan mengikuti kursus atau pendidikan keperawatan dan bidan.
Keputusan resmi yang merinci larangan tersebut belum diumumkan secara publik, namun beberapa laporan media mengonfirmasi bahwa perintah larangan perempuan menjalani sekolah bidan dan keperawatan tersebut akan diumumkan pada pertemuan kementerian kesehatan masyarakat Taliban pada Senin dan dikomunikasikan ke lembaga pelatihan setelahnya.
Advertisement
Mahasiswa keperawatan dan pelatih medis dari Kabul dan provinsi lain pun mengonfirmasi bahwa mereka telah diberitahu oleh lembaga mereka bahwa kursus telah ditangguhkan, dilansir Guardian.
Mengutip laman PBB, Afganistan merupakan salah satu negara dengan angka kematian ibu tertinggi di dunia dan terdapat kekhawatiran mendalam bahwa larangan tersebut akan semakin mengikis akses perempuan terhadap layanan kesehatan.
Hal ini juga akan menghalangi generasi perawat dan bidan baru untuk menerima pelatihan.
Di bawah aturan Taliban, staf medis laki-laki dilarang merawat perempuan kecuali didampingi oleh kerabat laki-laki, sehingga kehadiran petugas kesehatan perempuan menjadi hal yang penting.
Juru Bicara OHCHR Ravina Shamdasani menggambarkan arahan baru tersebut, yang dilaporkan mulai berlaku pada hari Selasa, sebagai “satu lagi pukulan langsung” oleh otoritas de facto terhadap perempuan dan anak perempuan Afganistan.
“Ini sangat diskriminatif, tidak berpandangan sempit, dan membahayakan kehidupan perempuan dan anak perempuan dalam berbagai cara.”
Menghalangi Pendidikan dan Mlelemahkan Sistem Layanan Kesehatan
Shamdasani mencatat bahwa arahan baru ini tidak hanya menghalangi jalan yang tersisa bagi perempuan Afghanistan untuk melanjutkan pendidikan tinggi tetapi juga melemahkan sistem layanan kesehatan negara secara keseluruhan.
Mendesak pihak berwenang de facto untuk mencabut arahan berbahaya tersebut, ia menekankan: “Sudah saatnya hak asasi perempuan dan anak perempuan dijamin, sejalan dengan kewajiban hak asasi manusia internasional Afganistan.”
Misi Bantuan PBB di Afganistan (UNAMA) juga menyatakan keprihatinan mendalam atas arahan tersebut, dengan menyatakan bahwa arahan tersebut menimbulkan “pembatasan lebih lanjut” terhadap hak perempuan dan anak perempuan atas pendidikan dan akses terhadap layanan kesehatan.
“Pada akhirnya, hal ini akan berdampak buruk pada sistem layanan kesehatan Afganistan dan pembangunan negara,” kata Misi tersebut dalam sebuah pernyataan.
Advertisement
Pelajar Perempuan di Afganistan Bersuara
Sementara itu, sekelompok pelajar perempuan di provinsi Herat berkumpul di kantor gubernur di Herat pada hari Kamis untuk memprotes penutupan lembaga ilmu kesehatan, sambil meneriakkan “Kami tidak akan melepaskan hak kami” dan “Pendidikan adalah hak kami.”
Mahasiswa kedokteran dan aktivis lainnya dari Kabul berkata: “Masyarakat tanpa dokter atau pekerja medis perempuan akan hancur.”
Badan-badan internasional dan organisasi hak asasi manusia bergabung dengan perempuan Afganistan dalam mengkritik larangan tersebut dan menyuarakan keprihatinan tentang hak perempuan atas pendidikan dan dampaknya terhadap akses perempuan terhadap layanan kesehatan.
Samira Hamidi, seorang aktivis Afganistan dan juru kampanye Amnesty International, mengatakan: “Ini adalah tindakan ketidaktahuan yang keterlaluan oleh Taliban, yang terus memimpin perang melawan perempuan dan anak perempuan di Afganistan. Tindakan kejam ini akan mempunyai dampak jangka panjang yang menghancurkan terhadap kehidupan jutaan warga Afganistan, terutama perempuan dan anak perempuan."
“Di negara seperti Afganistan, di mana masyarakatnya terikat pada praktik tradisional dan budaya, perempuan di sebagian besar wilayah negara tersebut tidak diperbolehkan untuk diperiksa atau dirawat oleh dokter laki-laki.
“Dengan pelarangan ini, berarti tidak ada lagi bidan, perawat, laboratorium perempuan, dan tenaga medis yang melayani pasien perempuan,” ujarnya.
Tidak Ada Lulusan Perempuan dari Sekolah Medis Sejak 2021
Dilansir VOA, dosen perempuan di salah satu Lembaga medis di Kabul, yang menolak disebut Namanya, mengatakan bahwa larangan baru Taliban akan berdampak besar pada pengajar perempuan di pusat-pusat pendidikan tersebut.
"Sekarang semua guru perempuan akan tinggal di rumah," ujarnya.
"Ini akan berdampak pada mereka dan keluarga mereka secara finansial. Dan tentu saja akan berdampak pada perekonomian Afganistan."
Dia pun mengaku tidak jelas bagaimana Taliban sampai mengambil keputusan tersebut.
"Jika mereka mengatakan bahwa hal itu didasarkan pada Islam, lalu mengapa Afganistan berbeda dibandingkan negara lain?" tanyanya.
Mantan Menteri Kesehatan Masyarakat Afganistan Wahid Majrooh mengatakan pada VOA bahwa sejak 2021, negara itu tidak lagi punya lulusan perempuan dari sekolah kedokteran akibat larangan Taliban terhadap pendidikan anak perempuan dan wanita.
Dia menambahkan, banyak dokter perempuan meninggalkan negara itu karena pembatasan yang dilakukan Taliban.
Hilangnya perempuan di sektor medis negara itu “tidak akan mendapat kompensasi untuk tahun-tahun mendatang,” katanya.
Advertisement