Liputan6.com, Berlin - Kanselir Jerman Olaf Scholz dan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada hari Senin (9/12/2024) membahas kemungkinan bekerja sama dengan pemimpin baru Suriah setelah Bashar al-Assad digulingkan.
"Keduanya sepakat untuk siap bekerja sama dengan kepemimpinan baru, dengan dasar penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlindungan terhadap minoritas etnis dan agama," ungkap kantor kanselir Jerman seperti dikutip dari Al Arabiya, Selasa (10/12).
Advertisement
Mereka juga menegaskan pentingnya menjaga integritas teritorial dan kedaulatan Suriah.
Kedua pemimpin sepakat untuk bekerja sama dalam memperkuat komitmen Uni Eropa terhadap Suriah, dengan cara mendukung terciptanya 'proses politik yang inklusif'. Mereka berencana bekerja sama dengan mitra-mitra mereka di kawasan Timur Tengah dalam upaya ini.
Assad digulingkan pada hari Minggu (8/12) melalui serangan cepat dari kelompok "Hayat Tahrir al-Sham" (HTS), yang memiliki akar pada cabang al-Qaeda Suriah namun berusaha mengubah citranya.
Pejabat Barat menyambut baik berakhirnya pemerintahan panjang Assad, namun mereka khawatir bahwa hal ini bisa memicu ketidakstabilan lebih lanjut, mirip dengan yang terjadi di Libya setelah penggulingan Muammar Khadafi.
Arab Saudi: Israel Bertekad Gagalkan Peluang Suriah Mencapai Stabilitas
Sementara itu, Arab Saudi pada hari Senin menyatakan bahwa perebutan zona penyangga di Dataran Tinggi Golan oleh Israel menunjukkan tekad untuk menggagalkan upaya Suriah mengembalikan stabilitas.
Pasukan Israel mengumumkan pada akhir pekan bahwa mereka telah ditempatkan di zona penyangga dengan alasan untuk melindungi warga Israel.
Pemerintahan Joe Biden tidak mengutuk atau mengkritik langkah Israel tersebut, namun menyatakan bahwa tindakan itu seharusnya tidak bersifat permanen.
Meskipun menteri luar negeri Israel menyatakan bahwa pengambilalihan itu bersifat sementara, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan tegas menyatakan bahwa Dataran Tinggi Golan akan tetap menjadi bagian dari Israel "selamanya".
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengkritik tindakan tersebut, yang juga mendapat kecaman dari PBB sebagai pelanggaran terhadap perjanjian pelepasan 1974 antara Suriah dan Israel.
Pengambilalihan zona itu, menurut Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, menegaskan pelanggaran Israel terhadap hukum internasional dan upayanya untuk menggagalkan kesempatan Suriah dalam memulihkan keamanan, stabilitas, dan integritas teritorialnya.
Arab Saudi pun mendesak komunitas internasional untuk mengecam keputusan Israel dan agar kedaulatan Suriah dihormati, mengingat Dataran Tinggi Golan adalah wilayah Suriah yang terjajah.
Advertisement