Liputan6.com, Yogyakarta - Indonesia membutuhkan sebanyak sembilan juta talenta digital di 2030 untuk mengimbangi percepatan teknologi digital, Akal Imitasi (Artificial Intelligence/AI). Pemanfaatan AI harus diperkuat dengan etika, tanggung jawab dan kebudayaan. Hal ini disampaikan Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Viada Hafid saat berbicara di ratusan mahasiswa di acara ‘Komdigi Menjangkau; Campus, We’re Coming!’ di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (11/12/2024).
“Dihitung-hitung, kalau mau menguasai teknologi digital, kita perlu sembilan juta talenta digital pada 2030. Ini pekerjaan rumah yang banyak dan tidak bisa dilakukan sendiri, harus rame-rame baik pemerintah, universitas maupun perusahaan teknologi internasional,” kata Meutya.
Baca Juga
Advertisement
Jika terlambat, Meutya menyebut Indonesia akan jauh tertinggal dan pekerjaan rumah akan semakin bertambah berat. Selain penyediaan talenta digital, Kemkomdigi juga akan memperkuat infrastruktur jangkauan dan kecepatan jaringan internet di beberapa wilayah.
Disebutnya saat tahun depan, beberapa perusahaan teknologi internasional seperti AWS, Google, Microsoft dan Apple akan turut bergabung dalam melahirkan talenta digital masing-masing di angka satu juta. “Keberadaan mereka (sembilan juta talenta digital) nanti untuk memenuhi kebutuhan SDM di berbagai perusahaan teknologi informasi yang ada di Indonesia,” lanjutnya.
Kehadiran talenta digital bidang AI sangat dibutuhkan karena pemanfaatan teknologi ini sudah diterima sekarang dan bukan lagi terjadi di masa depan. AI sekarang ini bukan lagi dianggap ancaman namun peluang. “Keyakinan ini bukan berdasarkan feeling atau intuisi. Tetapi berdasarkan data yang menunjukkan AI akan menggantikan 85 juta pekerjaan di 2025. Tapi disaat bersama menciptakan 97 juta pekerjaan baru di berbagai bidang teknologi digital,” katanya.
Terlebih lagi potensi digital ekonomi digital Indonesia diprediksi akan tumbuh dari angka 90 juta US dollar pada 2024 menjadi 130 juta US dollar pada 2027. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ketiga yang jumlah penduduknya terbanyak mengakses platform-platform AI yaitu 1,4 miliar kunjungan. “Hal ini menunjukkan besarnya antusiasme dan potensi penggunaan AI di masyarakat kita. Bahkan survei menyatakan 87 pelajar menggunakan AI untuk mengerjakan tugas mereka dan ini perlu mendapatkan perhatian,” terang Meutya.
Namun perlu diperhatikan, di tengah tingginya daya kreatifitas anak-anak muda Indonesia. Namun etika, tanggung jawab dan kebudayaan masih menjadi komponen penting dalam pengembangan teknologi AI. Dalam bidang kebudayaan melengkapi perkembangan teknologi, Yogyakarta disebut sebagai contoh yang tepat.
Meutya juga meminta institusi pendidikan untuk menerima dengan tangan terbuka dan mampu memanfaatkan perkembangan teknologi digital dengan kebijaksanaan. Karena kalau tidak, akan lebih banyak manfaat buruknya dibandingkan manfaat baiknya. “Sederhananya, AI membantu kita di semua sektor. Namun dalam penggunaan harus disertai kemampuan berpikir kritis, mempergunakan akal, hati serta imajinasi,” tutupnya.