PHRI: Kenaikan UMP 6,5% Bisa Picu Pemangkasan Pekerja di Sektor Pariwisata

Dalam sektor pariwisata, selain upah, para pekerja juga menerima service charge. Namun, kenaikan UMP yang terus-menerus tanpa memperhatikan faktor-faktor lain seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta biaya lemburan, memaksa pelaku industri untuk mempertimbangkan cara-cara penghematan biaya.

oleh Tira Santia diperbarui 11 Des 2024, 16:30 WIB
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B. Sukamdani di Raffles Hotel, Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2024). (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B. Sukamdani, menyampaikan pandangannya mengenai dampak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% terhadap pekerja sektor pariwisata.

Menurutnya, kenaikan ini dapat berisiko menciptakan ketidakseimbangan dalam pasar tenaga kerja dan berdampak buruk bagi pencari kerja di sektor tersebut.

Hariyadi menjelaskan bahwa ketidakseimbangan antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah pekerja yang ingin bekerja semakin lebar. Hal ini menyebabkan kebijakan kenaikan UMP yang relatif tinggi dapat mengurangi penyerapan tenaga kerja, terutama dalam sektor pariwisata.

"Karena supply dan demandnya tenaga kerja itu nggak berimbang. Gapnya terlalu lebar antara lapangan kerja yang tersedia dengan pekerja yang mau bekerja itu sangat lebar sekali," kata Hariyadi kepada Liputan6.cpm, Rabu (11/12/2024).

Ia menilai perbedaan yang terlalu besar antara supply dan demand tenaga kerja memicu respon negatif dari pelaku industri, yang mungkin lebih memilih mengurangi jumlah karyawan tetap dan beralih menggunakan pekerja harian atau magang.

Dalam sektor pariwisata, selain upah, para pekerja juga menerima service charge. Namun, kenaikan UMP yang terus-menerus tanpa memperhatikan faktor-faktor lain seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta biaya lemburan, memaksa pelaku industri untuk mempertimbangkan cara-cara penghematan biaya.

"Nah seperti di sektor saya misalnya ya, sektor saya itu di sektor pariwisata. Nah kebetulan pariwisata itu kita mengenal yang namanya service charge. Jadi, pekerja itu tidak semata-mata menerima upah tapi juga menerima service charge," jelasnya.

Hal ini, menurut Hariyadi, bisa mengarah pada perampingan signifikan di sektor pariwisata, yang pada akhirnya menyulitkan pencari kerja, terutama yang menginginkan status pekerja kontrak.

"Begitu dilakukan upah minimum yang terus-terusan naik seperti itu, maka direspons oleh dunia sektor pariwisata ini dengan melakukan perampingan yang sangat signifikan dan mereka lebih kepada menggunakan pekerja yang sifatnya adalah daily worker atau magang," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya