Sri Mulyani Pasang Kuda-Kuda Lawan Donald Trump

Pada sisi kebijakan politik, langkah Donald Trump juga masih perlu diwaspadai. Mengingat posisinya terhadap negara-negara seperti Rusia hingga China.

oleh Arief Rahman H diperbarui 11 Des 2024, 20:50 WIB
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam keterangannya selepas mengikuti Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Senin, 8 Agustus 2022. (Foto: Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mulai bersiap mengantisipasi kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Pasalnya, proteksionisme ala Trump bisa berdampak pada ekonomi global dan negara berkembang.

"Amerika Serikat dengan hasil pemilu dan terpilihnya presiden Trump itu juga menimbulkan berbagai dinamika terhadap arah kebijakan yang akan dilakukan oleh Presiden Trump," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTA, di Jakarta, Rabu (11/12/2024).

"Karena ini adalah yang kedua maka kita akan melihat tipe yang sama tapi mungkin lebih akseleratif, tipe dari arah kebijakan Presiden Trump sebelumnya," imbuh dia.

Dia mengatakan, kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah AS biasanya akan memotong besaran pajak bagi korporasi. Di sisi lain, manfaat bagi masyarakatnya akan berkurang.

"Sehingga dari sisi fiscal balance-nya juga masih remains to be seen," kata dia.

Pada sisi kebijakan politik, langkah Donald Trump juga masih perlu diwaspadai. Mengingat posisinya terhadap negara-negara seperti Rusia hingga China.

"Situasi ini akan cenderung kemudian menyebabkan terjadi ketegangan yang makin tinggi," ucapnya.

Sri Mulyani juga menyoroti rencana Donald Trump untuk menaikkan tarif 100 persen untuk negara-negara yang tidak ingin menggunakan dolar AS.

"Pada saat yang sama Presiden Trump juga mengakatam akan menaikkan tarif kepada RRT khususnya 60 persen," tuturnya.

 

 

Berdampak ke Ekonomi Negara Berkembang

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (05/08/2024). (Foto: Humas Setkab/Djay).

Dia menjelaskan, beberapa kebijakan tersebut bisa berdampak ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Jadi instrumen keuangan terutama perdagangan, tarif itu menjadi instrumen proxy dari persaingan, ketegangan politik dan keamanan global. Hal ini pasti berdampak langsung kepada perekonomian," ungkapnya.

Bendahara Negara ini menuturkan, kebijakan yang diambil Donald Trump bisa dianggap bullish dari sisi bisnis. Pasar saham AS diprediksi naik dan dibarengi dengan defisit anggaran negara yang juga naik.

"Dengan defisit naik, utang naik yield dari obligasi naik, jadi harusnya tuh kita mengharapkan pasar saham naik yield di Amerika turun. Tapi yang terjadi yield dari US Treasury karena antisipasi terhadap defisit fiskal Amerika meningkat maka yield dari US Treasury naik," terangnya.

"Ini mempengaruhi keseluruhan dari dunia, inflasi yang tadinya diperkirakan akan menurun tapi karena policy mengenai tarif dan kemudian menyebabkan kemungkinan kenaikan dari harga-harga ini juga akan menyebabkan inflasi di Amerika tertahan," tambah Sri Mulyani.


Tarif Impor Donald Trump, Tengok Sederet Risiko yang Dihadapi Eksportir Indonesia

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengejutkan pengusaha global dengan pengumuman rencana kenaikan tarif impor barang dari Tiongkok hingga 10%.

Donald Trump berencana mengenakan tarif sebesar 60% untuk barang-barang Tiongkok saat berkampanye untuk menjadi presiden.

Selain itu, Trump juga berencana memberlakukan tarif impor sebesar 25% pada Meksiko dan Kanada.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengungkapkan ada 4 dampak dari kebijakan ekonomi AS Donald Trump terhadap produk-produk Indonesia.

“Pertama, produk Indonesia bisa terdampak penurunan permintaan dari China terutama bahan baku industri. Misalnya nikel olahan dikirim ke China untuk dijadikan baterai EV kemudian kena tarif masuk AS, produsen baterai EV akan kurangi pembelian bahan baku dari Indonesia,” kata Bhima kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (6/12/2024).

Kedua, dalam kasus perang dagang AS-China jilid pertama saat Trump menjabat periode 2017-2021, tidak terdapat satupun relokasi pabrik dari China maupun AS ke Indonesia, Bhima menyoroti.

“Yang mendapat untung adalah Vietnam karena daya saing, infrastruktur, konsistensi regulasi dan kedekatan geografis dengan China. Kejadian ini bisa berulang lagi kalau kita tidak siap menangkap peluang relokasi industri,” bebernya.

 


Pindah ke Aset Aman

Ketiga, Bhima menyebut, kenaikan tarif impor produk China membuat konsumen AS harus membayar mahal berbagai jenis produk.

“Efeknya kena juga produk Indonesia yang diekspor langsung ke AS. Padahal AS adalah salah satu pasar tradisional produk pakaian jadi, alas kaki yang potensial,” seburnya.

Terakhir, kecemasan pelaku pasar akan mengakibatkan peralihan dana ke aset aman, seperti Dolar AS sehingga terjadi fenomena dolar menguat yang berisiko tinggi memicu keluarnya modal asing di negara berkembang, menurut Bhima. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya