Obat Inovatif untuk Kanker Paru dan Limfoma Dapat Izin Edar dari BPOM

BPOM telah mengeluarkan surat izin edar untuk dua obat terapi kanker di Indonesia yakni Etapidi dan Brukinsa.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 12 Des 2024, 15:00 WIB
Kepala BPOM Taruna Ikrar menyerahkan dua izin edar untuk dua obat kanker inovatif pada Selasa, 10 Desember 2024. (Foto: Dok BPOM)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) mengeluarkan surat izin edar untuk dua obat terapi kanker di Indonesia yakni Etapidi dan Brukinsa. Kepala BPOM Taruna Ikrar menyerahkan dua izin edar untuk dua obat kanker itu pada Selasa, 10 Desember 2024. 

“Dengan adanya kemudahan akses pada obat kanker, ini bisa mengurangi beban keuangan negara. Termasuk dengan pemberian izin edar 2 produk hari ini, diharapkan bisa mempercepat masyarakat untuk mengakses obat kanker yang berkualitas," kata Taruna Ikrar. 

Etapidi dan Brukinsa adalah produk obat inovatif yang dikembangkan oleh PT Etana Biotechnologies Indonesia (Etana) dan pengembang pengobatan onkologi BeiGene untuk perawatan terapi kanker, khususnya kanker paru dan kanker esofagus.

Surat persetujuan izin edar produk Etapidi dan Brukinsa diterima langsung oleh Presiden Direktur Etana Nathan Tirtana.

“Pemberian izin edar ini merupakan milestone yang besar bagi kami. Dari dulu kami ingin menghadirkan obat inovatif berkualitas tinggi tapi murah,” ujar Nathan Tirtana mengutip keterangan resmi BPOM.

Tentang Etapidi dan Brukinsa

Etapidi mengandung zat aktif Tislelizumab, yang merupakan antibodi varian IgG4 (humanized monoclonal antibody immunoglobulin subclass 4). Produk ini telah disetujui di Indonesia pada 26 November 2024 dengan nomor izin edar (NIE) DKI2468600149A1.

Etapidi dapat dijadikan sebagai alternatif tambahan untuk terapi non-small cell lung cancer dan esophageal squamous cell carcinoma (ESCC). Produk ini tersedia dalam bentuk larutan konsentrat untuk infus dengan kemasan vial (100 mg/vial). 

Sementara itu, Brukinsa mengandung zat aktif Zanubrutinib, yang merupakan jenis penghambat molekul kecil Bruton Tyrosine Kinase (BTK) --protein yang berperan penting dalam pertumbuhan dan pertahanan sel kanker.

Produk ini telah disetujui di Indonesia pada 20 September 2024 dengan NIE DKI2468000201A1 dan dapat dijadikan sebagai alternatif tambahan untuk terapi mantle cell lymphoma (MCL) dan Waldenstrom’s macroglobulinemia (WM). Etapidi tersedia dalam bentuk sediaan kapsul dengan kandungan zat aktif Zanubrutinib 80 mg/kapsul.

 


Obat Kanker Berkualitas dan Lebih Terjangkau

Kehadiran Etapidi dan Brukinsa dikembangkan dengan tujuan memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat mengakses obat kanker yang berkualitas dan murah.

Nathan berharap semua rakyat Indonesia, termasuk kalangan menengah ke bawah, bisa mendapatkan pengobatan berkualitas dengan teknologi terbaik.

“Ini semua [dapat terwujud] atas dukungan BPOM, Kementerian Kesehatan, asosiasi dokter-dokter kanker [Perhimpunan Onkologi Indonesia] yang berusaha menyediakan pengobatan terbaik untuk rakyat Indonesia,” lanjut Nathan.

 


Harapan Baru Kehadiran Obat Inovatif Kanker

Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan, Dita Novianti Sugandi Argadiredja menyebut bahwa 10 juta kematian di Indonesia disebabkan karena kanker. 

“Indonesia mengalami keterbatasan akses pada obat inovatif, hanya 9% (45 obat) dari 460 obat inovatif yang sudah di-approve dan ada di Indonesia Jika bicara soal obat kanker, kita masih perlu akses untuk terapi inovasi [pengobatan kanker], tidak hanya dari sisi ketersediaan tapi juga affordability-nya [terjangkau],” tutur Dita. 

 


Kepala BPOM Ingin Percepat Izin Edar Obat Inovatif

Di kesempatan itu, Taruna mengungkapkan bahwa saat ini, obat inovatif baru mendapatkan izin edar setelah 300 hari kerja (1 tahun 6 bulan). Namun, pihakanya tengah berupaya agar bisa lebih cepat lagi.

"Kami akan upayakan dipercepat menjadi 120 hari kerja,” papar Taruna Ikrar.

Upaya yang direncanakan untuk memutus mata rantai lamanya waktu proses pengajuan izin edar tersebut, salah satunya dengan cara menambah jumlah anggota Tim Komite Nasional Penilai Obat.

“Dengan adanya kemudahan akses pada obat kanker, ini bisa mengurangi beban keuangan negara," kata Taruna.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya