Liputan6.com, Jakarta - Perum Damri disebut harus berjuang dalam melayani angkutan perintis di berbagai wilayah terpencil dan perbatasan. Minimnya anggaran hingga armada yang tak layak menjadi tantangannya.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menyoroti minimnya anggaran untuk angkutan perintis. Dia turut membandingkan subsidi yang didapat KRL Jabodetabek dan angkutan perintis Damri.
Advertisement
"Masalah anggaran Angkutan Jalan Perintis juga masih minim," kata Djoko dalam keterangannya, Sabtu (14/12/2024).
Jika dibandingkan, subsidi atau public service obligation (PSO) yang diberikan KRL Jabodetabek, yang melayani warga di Kawasan Jabodetabek mendapat kucuran Rp 1,6 triliun per tahun. Namun, angkutan darat perintis dengan 318 trayek jauh hampir 10 kali lipat lebih kecil.
"Sementara, subsidi yang diberikan 318 trayek angkutan jalan perintis se Indonesia hanya dianggarkan Rp 188 miliar per tahun," ujar dia.
Djoko juga menyoroti skema penunjukan pada Perum Damri yang perlu disesuaikan dari lelang menjadi penugasan penunjukan langsung dari Kementerian Perhubungan atau melalui mekanisme tender.
"Perum Damri sampai sekarang belum pernah mendapatkan PMN. Akhirnya bagaimana pelayanannya ke daerah-daerah tadi bisa maksimal dengan armada yang tidak laik jalan," ucap dia.
Kontrak Jangka Panjang
Kemudian, dia menyarankan jangka waktu kontrak dari single year menjadi multiyears minimal lima tahun. Harapannya, Perum Damri mendapat kepastian soal investasi penyediaan armada.
Lalu, dia meminta perhitungan skema subdisi bukan berdasarkan tingkat keterisian (load factor), target ritase, dan lainnya, melainkan dapat diubah menjadi skema pembelian layanan (buy the service).
"Menggunakan formula rupiah per kilometer dengan memperhatikan kondisi wilayah, infrastruktur, dan daya beli masyarakat," pungkasnya.
Advertisement
Damri Rugi
Sebelumnya, Perum DAMRI menghadapi tantangan besar dalam melayani angkutan perintis di daerah terpencil dan perbatasan. Kerugian DAMRI sering terjadi akibat rendahnya tingkat keterisian penumpang yang tidak sebanding dengan biaya operasional.
Asisten Deputi Bidang Jasa Logistik Kementerian BUMN, Desty Arlaini, menyoroti bahwa kompensasi dari pemerintah untuk Damri kerap tidak memadai. Ia meminta perhitungan yang lebih menguntungkan bagi perusahaan tersebut.
"Perhitungan kompensasi layanan sebisa mungkin harus full cost, ditambah margin yang memadai untuk Perum DAMRI," ujar Desty dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Sesuai Undang-Undang BUMN
Desty menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang BUMN, setiap penugasan pemerintah kepada BUMN harus disertai penggantian biaya penuh, ditambah margin keuntungan yang memadai.
Ia juga menjelaskan bahwa operasional DAMRI di wilayah terpencil tidak bisa hanya mengandalkan penjualan tiket penumpang. Tantangan utama adalah load factor (keterisian penumpang) yang rendah karena jumlah masyarakat di wilayah tersebut cenderung sedikit.
"Di daerah terpencil dan perbatasan, jumlah penumpang jarang mencapai kapasitas bus. DAMRI terus menghadapi gap negatif akibat load factor yang rendah," katanya.
Advertisement