Liputan6.com, Jakarta - Angélique Angarni-Filopon dinobatkan sebagai Miss Prancis 2025, akhir pekan lalu. Kemenangannya menandai babak baru untuk penyelenggaraan Miss Prancis yang mengikuti peraturan baru Miss Universe yang memungkinkan peserta berusia di atas 28 tahun.
Ia mencetak sejarah sebagai perempuan tertua yang memenangkan gelar Miss Prancis sepanjang kompetisi berlangsung. Tiga belas tahun lalu, ia memenangkan gelar runner-up pertama Miss Martinique.
Advertisement
"Pada 2011, seorang wanita berusia 20 tahun jadi runner-up pertama di Miss Martinique. Hari ini, di usia 34, wanita yang sama berdiri di sini, mewakili bukan hanya Martinique, tapi semua wanita yang pernah dikatakan 'sudah terlambat,'" ucapnya dalam pidato kemenangan, dikutip dari news.com.au, Senin (16/12/2024).
Angarni-Filopon menggantikan Eve Gilles, pemenang Miss Prancis 2024, untuk mewakili negara itu di kompetisi Miss Universe global tahun depan. Ia mengalahkan saingan terberatnya, Sabah Aib, yang jadi runner-up pertama, diikuti Stella Vangioni, Moïra André, keduanya berusia 27 tahun, dan Lilou Emeline-Artuso, 21 tahun, juga menjadi runner-up.
Aib yang berasal dari Nord-Pas-de-Calais semula diprediksi memenangkan kompetisi. Namun sepanjang penyelenggaraan kontes, dia jadi korban serangan rasial karena darah Maroko yang mengalir dari orangtuanya.
"Prancis adalah negara multikultural, dan memiliki nama dari tempat lain tidak mengubah kenyataan bahwa saya adalah orang Prancis," kata perempuan berusia 18 tahun itu secara online, seperti dilansir Pinnacle Gazette.
Kesempatan Ibu untuk Eksis
Perubahan aturan kompetisi di Miss Universe berdampak global. Selain di Prancis, ajang serupa di Australia itu juga mengalami perubahan warna, salah satunya kepesertaan perempuan yang sudah berstatus ibu. Emily Becca (32) memutuskan mengikuti ajang tersebut setelah melewati kehamilan yang sulit dan rumit.
Pengalaman tersebut meninggalkan Emily dengan efek robek pada kulitnya. Ia juga merasakan nyeri kronis. "Saya segera jatuh ke dalam depresi yang sangat buruk karena tidak ada yang bisa membantu saya. Tidak ada yang bisa memberi tahu saya apa yang terjadi, katanya saat itu. Banyak wanita diajarkan untuk mengabaikan hal-hal ini karena itu bayaran untuk mendapatkan bayi," ujarnya..
Ia akhirnya mengeluarkan 7.000 dolar Australia untuk melakukan operasi korektif untuk bekas lukanya. Seluruh pengalaman membuat Emily merasa seperti terjebak dalam rutinitas. Ia merasa seperti tidak lagi mengendalikan tubuhnya karena penampilan dan rasa sakit kronisnya, dan ia ingin merebut kembali rasa dirinya.
Pada 2022, kompetisi Miss Universe mengungkapkan bahwa wanita yang sudah menikah dan ibu dapat berkompetisi. Ditambah dengan dicabutnya batasan usia, Emily memperoleh kesempatannya. "Saya menganggap ini sebagai cara paling radikal untuk mengeluarkan diri dari rutinitas itu," katanya.
Advertisement
Miss Belanda Tak Lagi Digelar
Meski jadi lebih inklusif, penyelenggara Miss Belanda memutuskan tak lagi menggelar kontes kecantikan itu mulai 2025. Penyelenggara kemudian meluncurkan platform baru yang bertujuan untuk menginspirasi kaum muda dalam berbagai cara. Sebuah pernyataan di situs web kompetisi mengumumkan penutupan sekaligus pembentukan platform baru yang disebut Niet Meer Van Deze Tijd (Tidak Lagi dari Zaman Ini).
Pernyataan tersebut berbunyi, "Setelah bertahun-tahun sejarah yang penuh dengan kemewahan, bakat, dan inspirasi, Miss Belanda mengucapkan selamat tinggal pada nama yang telah memikat hati banyak orang. Tetapi ini bukanlah akhir; ini adalah awal yang baru. Dunia sedang berubah, dan kita berubah bersamanya."
"Miss Belanda berubah menjadi Niet Meer Van Deze Tijd: sebuah platform yang berputar di sekitar kesehatan mental, media sosial, keragaman, ekspresi diri, dan banyak lagi. Tidak ada lagi mahkota, tetapi cerita yang menghubungkan. Tidak ada gaun, tetapi mimpi yang menjadi kenyataan. Di sini, kami menginspirasi kaum muda untuk menjadi diri mereka sendiri di dunia yang terus berubah."
Makin Tidak Masuk Akal
Mengutip CNN, Sabtu, 14 Desember 2024, Direktur Miss Belanda sekaligus pendiri platform baru tersebut, Monica van Ee menyebut keputusan diambil karena menilai perempuan saat ini makin merasa tidak aman. Penyebabnya antara lain adalah meningkatnya popularitas media sosial dan citra kecantikan yang tidak nyata.
Van Ee menjelaskan bahwa timnya selama bertahun-tahun telah bekerja secara intensif untuk mewujudkan pemberdayaan perempuan menjadi sebuah gerakan nyata, bukan hanya kata-kata kosong. Namun, umpan balik penonton menjadi semakin sulit untuk dikelola.
Hampir setiap kali casting dan final digelar, komentar negatif penonton selalu muncul, seperti dia terlalu 'Putih' atau dia terlalu 'Hitam'. "Ini menimbulkan energi negatif setiap tahun," katanya.
Platform baru dimunculkan karena pihaknya ingin menggunakan energi positif kami daripada selalu harus bersikap defensif. "Sekarang kami dapat menjangkau semua orang dan memberikan solidaritas yang tepat. Kami percaya pada platform kami dan mungkin selempang dan mahkota sudah ketinggalan zaman. Tetapi perempuan yang saling mendukung dan membantu satu sama lain, itu selalu menjadi hal yang penting bagi kami!" sambungnya.
Advertisement