IHSG Turun Anjlok dari 1%, Ada Apa?

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berlayar di zona merah pada perdagangan hari ini, Senin 16 Desember 2024. Sekitar pukul 15.00 WIB, IHSG turun 1,17 persen ke posisi 7.238. IHSG dibuka pada posisi 7.304 dan bergerak di kisaran 7.320-7.204,65.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 16 Des 2024, 18:30 WIB
Pengunjung mengabadikan papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berlayar di zona merah pada perdagangan hari ini, Senin 16 Desember 2024. Sekitar pukul 15.00 WIB, IHSG turun 1,17 persen ke posisi 7.238. IHSG dibuka pada posisi 7.304 dan bergerak di kisaran 7.320-7.204,65.

Analis mencermati penurunan IHSG disebabkan beberapa hal, salah satunya pelemahan rupiah dan aksi jual asing. Meski begitu, beberapa data ekonomi kuartal IV diperkirakan tumbuh positif sehingga bisa kembali menopang IHSG di sisa tahun ini.

"Saya menyimpulkan pelemahan IHSG sebagai efek dari pelemahan rupiah dan tekanan jual asing, jadinya IHSG melanjutkan pelemahan. Namun masih ada harapan jika IHSG mampu bertahan di atas level 7.245," kata Praktisi Pasar Modal William Hartanto kepada Liputan6.com, Senin (16/12/2024).

Dihubungi secara terpisah, Senior Analyst Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menjelaskan sejumlah sentimen baik dari domestik maupun global yang andil dalam pergerakan IHSG. Dari sisi domestik, Nafan menilai pelaku pasar masih menantikan data neraca perdagangan Indonesia yang diperkirakan mengalami surplus.

"Ya, pelaku pasar masih menantikan. Karena sebenarnya pelemahan IHSG cukup dalam, tapi seketika ada buying pressure di situ. Jadi, ini yang membuat pelemahan IHSG-nya tidak terlalu kuat karena pelaku pasar melihat potensi surplus neraca perdagangan Indonesia," kata Nafan.

Sementara dari sisi global, outlook ekonomi global memang diproyeksikan tetap stabil. Menurut Nafan, faktornya tidak terlepas dari adanya fragmentasi perdagangan dan meningkatnya ketegangan geopolitik. Di mana masing-masing turut mempengaruhi proyeksi pertumbuhan ekonomi global, seiring menyongsong perang dagang (trade war) 2.0.

"Efeknya juga berkaitan dengan berbagai hal. Misalnya supply chain disruptions, kemudian juga turut mempengaruhi terkait dengan inflationary pressure, sehingga ini membuat bank sentral tidak menerapkan kebijakan pelonggaran moneter secara agresif untuk di tahun 2025," kata Nafan.

 


Penurunan Suku Bunga

Ilustrasi Bursa Saham. Foto: Freepik

Nafan mencatat, sebelumnya per September lalu The Fed memiliki peluang untuk menurunkan suku bunga acuan 25 bps sebanyak 4 kali pada 2025. Namun melihat perkembangan saat ini, Nafan memperkirakan The Fed hanya akan melakukan pemangkasan sebanyak 2 kali pada 2025.

"Paling nanti di 2025, the Fed dipakai hanya 2 kali saja dalam menerapkan kebijakan pelonggaran moneternya," kata Nafan.

Di sisi lain, Nafan mencermati pasar saham maupun obligasi global khususnya AS mengalami kenaikan. Menurut Nafan, hal itu terjadi lantaran adanya window dressing di negara-negara maju sehingga banyak aliran dana investor menuju negara-negara tersebut, alih-alih menyasar pasar negara berkembang.

"Negara-negara advanced economist tengah mengalami window dressing. Jadi, capital inflow masuk ke negara-negara advanced economist dan memang ini konsekuensi membuat negara-negara emerging market mengalami capital outflow," jelas Nafan.

Selain window dressing, adanya upaya stimulus di China untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi domestik, membuat dana asing juga mengalir ke sana. "Jadi stimulus ini ada side effect-nya. Capital inflow masuk ke pasar Tiongkok dan capital outflow pun juga terjadi di negara-negara emerging markets lainnya," pungkas Nafan.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya