PPN Barang Mewah Berlaku 1 Januari 2025, Apa Saja Risikonya?

Kenaikan PPN menjadi 12% diperkirakan akan menambah pengeluaran kelompok miskin dan menengah.

oleh Tira Santia diperbarui 17 Des 2024, 07:00 WIB
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan kenaikan 6,5 persen itu dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah, melalui Menteri Keuangan, telah memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Dalam kebijakan ini, pemerintah menegaskan bahwa barang pangan tetap akan dikecualikan dari PPN.

Menurut Ekonom sekaligus Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, kebijakan tersebut sebenarnya bukan hal baru.

Pengecualian barang pangan dari PPN telah diatur sejak UU No. 42 Tahun 2009, jauh sebelum hadirnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) 2021.

Oleh karena itu, klaim pemerintah seolah-olah ini adalah kebijakan baru lebih terlihat sebagai manuver politik untuk meredam kritik publik.

“Kenyataannya, kenaikan tarif PPN tetap akan diberlakukan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah,” jelas Wahyudi dalam pernyataannya di Jakarta, ditulis Selasa (17/12/2024).

Dampak Kenaikan PPN terhadap Masyarakat

Wahyudi menilai bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan tekanan ekonomi bagi masyarakat kelas bawah dan menengah.

Kenaikan PPN menjadi 12% diperkirakan akan menambah pengeluaran kelompok miskin hingga Rp101.880 per bulan, sementara kelompok kelas menengah menghadapi tambahan pengeluaran sekitar Rp354.293 per bulan.

“Kebijakan ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan. Kementerian Keuangan hari ini pandai sekali bermain kata-kata. Seolah-olah pemerintah dan DPR mendukung kebijakan progresif dengan pengecualian barang pokok dari Pajak Pertambahan Nilai. Padahal, pengecualian itu sudah ada sejak 2009. Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah,” tegas Wahyudi.

 


PPN Indonesia Dibandingkan Negara Lain, Tepatkah?

Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Selain itu, Wahyudi juga mengkritisi pernyataan pemerintah yang membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara-negara lain, seperti Kanada, China, dan Brazil. Menurut Wahyudi, perbandingan tersebut tidak sepenuhnya relevan.

“PPN yang tinggi biasanya diterapkan di negara-negara dengan pendapatan per kapita yang besar dan ekonomi yang stabil, seperti Norwegia, Denmark, Jerman, dan Swedia. Di negara-negara ini, daya beli masyarakat kuat sehingga pemerintah dapat menetapkan tarif pajak konsumsi yang tinggi tanpa mengurangi kesejahteraan rakyat,” paparnya.

Di sisi lain, negara-negara tersebut juga memiliki ekonomi yang stabil, ditandai dengan inflasi rendah dan konsumsi domestik yang kuat, sehingga kebijakan PPN tinggi tidak memberikan beban signifikan bagi masyarakat atau pertumbuhan ekonomi.

“Namun, di Indonesia, kondisi masyarakat kelas menengah saat ini sedang terpukul. Pemerintah seharusnya lebih adil dengan membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya. Faktanya, tarif PPN Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di kawasan ini,” pungkas Wahyudi.


Hanya Barang Mewah yang Kena PPN 12%

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menggelar Konferensi Pers terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2025. Pengenaan pajak ini merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Menko Airlangga menjelaskan, sejalan dengan azas keadilan dan gotong royong, atas Barang dan Jasa Mewah yang dikonsumsi masyarakat mampu yang sebelumnya tidak dikenakan PPN kini dikenakan PPN 12%.

Bahan makanan premium antara lain beras, buah-buahan, ikan dan daging premium, pelayanan kesehatan medis premium, jasa pendidikan premium, dan listrik pelanggan rumah tangga sebesar 3500 VA-6600 VA, akan dikenakan PPN 12%," jelas dia.

Airlangga melanjutkan, kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu aspek esensial yang terus ditingkatkan Pemerintah melalui penerapan berbagai skema kebijakan dan program strategis.

Bauran kebijakan tersebut dirancang dan diimplementasikan Pemerintah dengan turut mempertimbangkan prinsip keadilan dan gotong royong, serta diiringi dengan langkah-langkah mitigasi yang diantaranya dalam bentuk pemberian insentif di bidang ekonomi.

“Untuk itu, agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga, Pemerintah telah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi yang akan diberikan kepada berbagai kelas masyarakat,” ungkap Airlangga.

Dengan proyeksi insentif PPN dibebaskan yang diberikan pada 2025 sebesar Rp 265,6 triliun, Pemerintah tetap memberikan fasilitas bebas PPN atau PPN tarif 0% berkenaan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Barang dan jasa tersebut termasuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya