Kabata Tanrasula Merajut Sejarah dan Identitas Melalui Seni di Cape Town Afrika Selatan

Pertunjukan seni Kabata Tanrasula di Castle of Good Hope, Cape Town, menghidupkan kembali perjuangan melawan kolonialisme melalui kolaborasi lintas budaya yang menghubungkan Indonesia dan Afrika Selatan. Karya ini menggambarkan perjalanan dua tokoh besar, Syekh Yusuf Al-Makassari dan Syekh Imam Abdullah Kadi Abdussalam, dalam melawan penjajahan, serta menjadi refleksi penting tentang dekolonisasi dan identitas.

oleh Tim Showbiz diperbarui 17 Des 2024, 17:21 WIB
Pertunjukan seni Kabata Tanrasula yang digelar oleh tim Konstelasi Artistik Indonesia di Chandelier Room kompleks Castle of Good Hope, Cape Town, Afrika Selatan, pada Sabtu, 30 November 2024. (Dok. IST/Kabata Tanrasula)

Liputan6.com, Cape Town, Afrika Selatan - Pada Sabtu, 30 November 2024, Chandelier Room di kompleks Castle of Good Hope, Cape Town, Afrika Selatan menjadi saksi pertunjukan seni Kabata Tanrasula yang digelar oleh tim Konstelasi Artistik Indonesia.

Selama tiga hari, tim produksi sebelumnya telah sibuk mempersiapkan panggung untuk pertunjukan yang berlangsung dari pukul 16.00 hingga 18.00 waktu setempat.

Benteng peninggalan kolonial Belanda yang mirip dengan Benteng Fort Rotterdam di Makassar ini, menjadi tempat penting bagi pertunjukan yang mengangkat tema kekuatan sejarah dan budaya, dalam menghadapi kekejaman kolonialisme yang menghubungkan Indonesia dan Cape Town.

Kabata Tanrasula, yang berarti syair tentang kemuliaan manusia, berasal dari bahasa Maluku Utara (Kabata) dan bahasa Makassar (Tanrasula). Pertunjukan ini merupakan hasil dari proyek seni Seeking Tuan Guru yang dimulai pada akhir tahun 2021.

Proyek ini terbagi dalam tiga fase: Riset dan residensi di Cape Town pada Februari 2023; Produksi dan inkubasi di Makassar pada Desember 2023; serta Presentasi di Cape Town pada November 2024.

 


Mendapatkan Fasilitas dari Kementerian Kebudayaan RI

Pertunjukan seni Kabata Tanrasula yang digelar oleh tim Konstelasi Artistik Indonesia di Chandelier Room kompleks Castle of Good Hope, pada Sabtu, 30 November 2024. (Dok. IST/Kabata Tanrasula)

Difasilitasi oleh Kementerian Kebudayaan RI, karya ini melibatkan lima komposer: Aristofani dari Makassar, Maskur Daeng Ngesa dari Gowa, Atadengkofia dari Ternate, Lawe Samagaha dari Bogor, Anggara Satria dari Riau, serta videografer Agus Eko Triyono dari Solo.

Selain itu, seniman pendukung seperti Bakri Daeng Bombong, Azis Daeng Gassing, dan lainnya turut berkontribusi. Untuk mengoptimalkan Kabata Tanrasula sebagai karya seni pertunjukan, Konstelasi Artistik Indonesia melibatkan Ancoe Amar sebagai sutradara, Mamedz sebagai penata cahaya, dan Isa Faizal untuk pengembangan artistik.

 


Menarik Perhatian Publik yang Antusias

Pertunjukan seni Kabata Tanrasula yang digelar oleh tim Konstelasi Artistik Indonesia di Chandelier Room kompleks Castle of Good Hope, pada Sabtu, 30 November 2024. (Dok. IST/Kabata Tanrasula)

Pada pukul 16.15 waktu setempat, suara tanpa alat pengeras menarik perhatian publik yang antusias menyaksikan instalasi Seeking Tuan Guru. Helza Amelia, Manajer Produksi Kabata Tanrasula, memandu acara dengan menjelaskan maksud dan tujuan pertunjukan.

Beberapa tokoh turut memberikan sambutan, termasuk Yazeed Kamaldien dari pihak pengelola venue yang menekankan pentingnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan kebebasan Afrika Selatan dari Apartheid, serta mengingatkan bahwa perjuangan ini relevan bagi negara lain seperti Palestina.

 

 


Apresiasi terhadap Kolaborasi Lintas Budaya Melalui Seni

Pertunjukan seni Kabata Tanrasula yang digelar oleh tim Konstelasi Artistik Indonesia di Chandelier Room kompleks Castle of Good Hope, pada Sabtu, 30 November 2024. (Dok. IST/Kabata Tanrasula)

Bapak Daddy Yuliansyah, kepala Pensosbud Konsulat Jenderal RI di Cape Town, mengapresiasi kolaborasi lintas budaya melalui seni ini. Aristofani Fahmi, produser Kabata Tanrasula sekaligus inisiator Seeking Tuan Guru, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat.

Sambutannya bertransformasi menjadi bagian awal pertunjukan saat para musisi memasuki ruang pertunjukan dengan membawa batu yang diikat tali putih, simbol beban sejarah. Suara dentuman batu yang dibenturkan ke lantai kayu menggema memenuhi ruangan.

 


Menghidupkan Panggung dengan Perpaduan Instrumen Tradisional Nusantara

Pertunjukan seni Kabata Tanrasula yang digelar oleh tim Konstelasi Artistik Indonesia di Chandelier Room kompleks Castle of Good Hope, pada Sabtu, 30 November 2024. (Dok. IST/Kabata Tanrasula)

Selama 45 menit, Kabata Tanrasula menghidupkan panggung dengan perpaduan instrumen tradisional Nusantara, narasi, gerak, animasi visual, dan tata cahaya. Pertunjukan ini mengisahkan perjalanan dan perjuangan Syekh Yusuf Al-Makassari dan Syekh Imam Abdullah Kadi Abdussalam dari Tidore yang diasingkan ke Cape Town.

Karya ini dimulai dengan kelahiran Syekh Yusuf di Gowa pada 3 Juli 1626, disusul kisah kelahiran Syekh Imam Abdullah di Tidore, yang kelak menjadi Tuan Guru besar di Cape Town. Kedua peristiwa ini disajikan melalui seni tutur dengan alat musik tradisional Sinrilik dan Arababu, serta pencahayaan mistis yang dikerjakan oleh Mamedz.

 


Menggambarkan Perjalanan Dua Tokoh dalam Melawan Kolonialisme

Pertunjukan menggambarkan perjalanan kedua tokoh dalam melawan kolonialisme. Syekh Yusuf, dikenal sebagai ulama dan pejuang, memimpin perlawanan di Nusantara melawan Belanda. Syekh Imam Abdullah, atau Tuan Guru, memimpin perlawanan spiritual melawan upaya penjajah menghapus identitas budaya dan keislaman masyarakat keturunan Nusantara di Cape Town.

Setelah ditangkap oleh Belanda, Syekh Yusuf diasingkan ke Sri Lanka dan kemudian Cape Town, menjadi simbol perlawanan spiritual dan budaya. Syekh Imam Abdullah, setelah ditangkap di Tidore dan dibuang ke Cape Town, melanjutkan perjuangannya melalui pendidikan, membangun komunitas muslim pertama di Afrika Selatan.

 

 


Puncak dari Rangkaian Seeking Tuan Guru

Produksi Kabata Tanrasula di Cape Town menjadi puncak dari rangkaian Seeking Tuan Guru. Helza Amelia menjelaskan bahwa perjalanan panjang ini tidak hanya menghadirkan pertunjukan seni, tetapi juga menjadi medium refleksi sejarah dan budaya yang menghubungkan Nusantara dan Afrika Selatan.

Produksi ini adalah gerbang pembuka dari segala persiapan dan proses kolaborasi lintas budaya yang kami bangun sejak awal, ujar Helza. Ia menambahkan bahwa Kabata Tanrasula tidak hanya berkisah tentang perjuangan dua tokoh besar, tetapi juga menghadirkan dialog penting tentang dekolonisasi dan identitas yang relevan hingga saat ini.

Kabata Tanrasula menjadi momen penting untuk menghubungkan kembali sejarah Nusantara dengan diaspora dan keturunan Indonesia di Cape Town. 

Diharapkan, karya ini dapat menjadi jembatan untuk memahami bahwa perjuangan melawan kolonialisme adalah bagian dari sejarah kolektif yang harus terus dirawat, sehingga ini bukanlah akhir, tetapi sesuatu yang terbuka untuk tumbuh dan berkembang di masa depan, tutup Helza.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya