Liputan6.com, Jakarta - Hukum makan daging babi merupakan salah satu larangan tegas dalam Islam. Larangan makan daging babi ini dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’an dan disepakati oleh para ulama.
Namun, apakah ada situasi tertentu yang membuat hukum haram makan daging babi tersebut berubah?
Dalam sebuah tayangan video yang dikutip dari kanal YouTube @tvcahayaislammuslim, Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai topik ini. Penjelasannya didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam yang mengutamakan kemaslahatan umat.
UAH menjelaskan bahwa dalam keadaan darurat, sesuatu yang haram bisa berubah menjadi halal. Contohnya, ketika seseorang terjebak di hutan lebat tanpa makanan, satu-satunya yang tersedia hanya daging babi, dan tidak memakannya dapat menyebabkan kematian.
“Dalam situasi seperti itu, makan daging babi menjadi diperbolehkan. Tapi, ini hanya berlaku untuk menjaga nyawa, bukan untuk dinikmati atau sekadar menghilangkan rasa lapar,” ujar UAH dalam video tersebut.
Ia menambahkan bahwa konsumsi dalam kondisi darurat seperti ini harus dilakukan dengan sangat terbatas. “Ambil secukupnya, potong bagian yang dibutuhkan, lalu segera berhenti begitu menemukan makanan halal lainnya,” jelasnya.
Keadaan darurat adalah pengecualian yang diberikan oleh syariat. Dalam kondisi normal, larangan memakan babi tetap berlaku tanpa kompromi. Hanya situasi yang mengancam nyawa yang dapat mengubah hukum ini.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Kalau Nemu yang Halal, Maka Daging Babi Hukmnya Haram Lagi
Prinsip ini merujuk pada kaidah ad-daruratu tubih al-mahdhurat, yang berarti keadaan darurat memperbolehkan sesuatu yang sebelumnya dilarang. Namun, kebolehan ini bersifat sementara dan terbatas.
Sebagai contoh, jika seseorang telah menemukan makanan halal seperti ayam atau kambing, maka ia wajib segera berhenti mengonsumsi daging babi. “Hukum haramnya kembali berlaku begitu situasi darurat berakhir,” kata UAH.
Penjelasan ini menunjukkan betapa fleksibelnya syariat Islam dalam mengatasi kondisi sulit. Islam memahami bahwa menjaga nyawa adalah prioritas utama, sehingga memberikan kelonggaran dalam situasi tertentu.
Namun, kelonggaran ini tidak bisa digunakan sembarangan. UAH menekankan bahwa darurat harus nyata, bukan alasan yang dibuat-buat untuk melanggar hukum syariat. “Jangan jadikan darurat sebagai pembenaran untuk menghalalkan yang haram,” pesannya.
Niat menjadi faktor penting dalam keadaan darurat. UAH mengingatkan bahwa niat seseorang harus tetap terarah pada menyelamatkan nyawa, bukan mencari kenikmatan. “Yang penting adalah kebutuhan, bukan selera,” ujarnya.
Kaidah ini juga relevan dalam berbagai situasi lain, seperti bencana alam atau kecelakaan di tempat terpencil. Dalam keadaan tanpa makanan lain, syariat memberikan izin untuk mengonsumsi makanan haram demi bertahan hidup.
Advertisement
Hanya Keadaan Darurat
Meski demikian, kelonggaran ini bukanlah hak mutlak. Penggunaannya harus disertai dengan rasa tanggung jawab. Allah SWT memberikan keringanan ini sebagai bentuk kasih sayang kepada umat manusia.
UAH mengingatkan bahwa rahmat Allah ini harus dihargai dengan tidak menyalahgunakannya. Ia meminta umat Islam untuk tetap disiplin dalam menjalankan syariat, meskipun di tengah situasi sulit.
“Keadaan darurat mengajarkan kita untuk bersyukur dan memahami betapa berharga aturan syariat dalam kehidupan,” katanya. Pengetahuan ini menjadi bekal penting bagi umat Islam, terutama saat menghadapi kondisi ekstrem.
Dengan memahami batasan darurat, umat Islam dapat menjalankan ajaran agama dengan benar tanpa melanggar aturan. Kejelasan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan hikmah dan kelembutan.
UAH juga menutup dengan pesan bahwa syariat Islam dirancang untuk menjaga kehidupan manusia dalam segala aspek. Keseimbangan antara aturan dan keringanan mencerminkan kesempurnaan Islam sebagai pedoman hidup.
Penjelasan UAH ini mempertegas bahwa Islam adalah agama yang penuh rahmat. Meskipun ada larangan tegas seperti memakan daging babi, dalam kondisi tertentu, syariat memberikan solusi tanpa menghilangkan esensi kepatuhan kepada Allah SWT.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul