Liputan6.com, Jakarta Kuliner tradisional berpotensi memiliki gizi yang seimbang. Kabar baiknya, organisasi transformasi konsumsi Food Culture Alliance Indonesia melihat sebuah fenomena yang menarik, yaitu warga perkotaan makin menggemari makanan tradisional.
Bagi masyarakat urban, makanan tradisional menjadi sesuatu yang prestigious (bergengsi). Karena, papeda dari Papua dibawa ke Jakarta, coto dari Makassar masuk ke Jakarta, dalam konsep resto yang high end (kelas atas).
Advertisement
“Berdasarkan kajian Food Culture Alliance, ada fenomena sosial bahwa orang Indonesia menyukai eksplorasi rasa. Di Indonesia ultra-processed food, seperti burger dan pizza, dilabeli sebagai makanan perkotaan,” kata Koordinator Food Culture Alliance Indonesia dan Project Coordinator Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN Indonesia), Sutamara Lasurdi Noor, dalam keterangan pers Selasa (17/12/2024).
“Namun, seiring zaman orang yang tumbuh besar di wilayah urban ingin mencicipi makanan tradisional. Kebalikan dari masyarakat di wilayah rural yang ingin mencoba makanan urban,” tambahnya.
Pendiri Masak TV, Roby Bagindo, turut menambahkan fenomena tersebut dari contoh yang lain. Menurutnya, cara paling mudah untuk mengenal suku lain adalah lewat makanan.
“Misalnya, untuk mengenal orang Yogya, kita akan mencicipi gudeg. Apalagi, sejak kecil kita terbiasa bertemu dengan teman dari latar belakang budaya berbeda, sehingga kita ingin tahu makanan mereka,” ujar Roby dalam keterangan yang sama.
Mencari Kenangan Masa Kecil
Di samping masyarakat yang gemar mencicipi masakan khas berbagai daerah, ada pula orang-orang yang ingin mencari kenangan lewat rasa.
“Orang tetap punya involuntary memory. Misalnya, orang Manado punya memori makan di rumah saat ia kecil. Menunya ada ikan woku, sambal dabu-dabu, dan lalampa. Di tempatnya yang baru dia akan berkumpul di lingkungan yang sama, mencari memori masa kecil dia.”
“Itulah kenapa orang Bugis datang ke Kelapa Gading. Soalnya, berbagai makanan khas mereka bisa ditemukan di sana. Bahkan, rumah makan yang ramai di kota asalnya pun ikut membuka cabang di Jakarta,” jelas Roby.
Advertisement
Makanan Nusantara Sudah Lama Naik Kelas
Roby memandang, bukan hanya baru-baru ini makanan Nusantara naik kelas. Ketika Konferensi Meja Bundar di Belanda, Indonesia sudah menyajikan makanan khas Nusantara untuk perjamuan.
“Pada tahun 70-an hingga 90-an makanan cepat saji masuk ke negara kita, sehingga budaya pangan kita jadi Amerika banget. Pasca reformasi pada 90-an ada rasa bahwa makanan Nusantara itu keren, ya. Sehingga, mulai banyak resto fine dining yang menempatkan makanan Nusantara dalam kerangka merayakan makanan lokal.”
“Itulah yang mungkin membuat orang seperti baru melihat bahwa makanan tradisional sudah masuk fine dining. Padahal, sebenarnya dari dulu sudah ada tempatnya di kelas high end,” kata Roby.
Makanan Tradisional Miliki Gizi yang Baik
Secara alami, makanan tradisional memiliki gizi yang baik. Sebutlah dalam sepiring masakan Padang terdapat sumber gizi yang bervariasi.
Begitu juga bubur Manado dan bubur tinutuan yang memiliki komposisi gizi lengkap, karena adanya karbohidrat, protein, dan lemak dalam satu hidangan,” kata Pendiri Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), Khoirul Anwar dalam keterangan yang sama.
Menurutnya, masyarakat Papua memahami, mengonsumsi papeda saja tidak cukup. Maka, mereka menyantapnya dengan sumber gizi lain, seperti ikan laut yang sangat melimpah, kuah kuning, dan sayuran yang dipetik dari kebun sendiri. Dengan begitu, kebutuhan gizinya akan terpenuhi.
CEO Eathink, Jaqualine Wijaya, menambahkan, Papua bahkan punya buah endemik, yaitu matoa yang semakin langka. Juga ada sayur swamening yang terbuat dari daun gedi.
Dari sisi tradisi, setiap makanan tradisional memiliki nilai tersendiri. Contohnya, menyantap ketupat saat lebaran sudah menjadi budaya yang melekat. Hanya saja, orang kini semakin sadar akan kesehatan.
“Tapi, dengan alasan kesehatan, bukan berarti kita melarang orang makan ketupat, lalu menggantinya dengan oat. Terkait tradisi, ketupat merupakan simbol permintaan maaf, tidak bisa dihilangkan begitu saja. Walaupun, pada zaman sekarang modifikasi makanan sudah menjadi sebuah kebutuhan. Namun, jangan sampai menghilangkan apa yang menjadi jati diri,” kata Khoirul.
Advertisement