60 Perusahaan Tekstil Tutup Selama 2 Tahun Terakhir, Ini Dampaknya

Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyatakan, penutupan perusahaan-perusahaan tekstil ini dipicu oleh meningkatnya impor ilegal yang mengalir ke pasar domestik.

oleh Tim Bisnis diperbarui 18 Des 2024, 13:44 WIB
Sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup. Hal itu berdampak terhadap 250 ribu karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).(Dok. Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup. Hal itu berdampak terhadap 250 ribu karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Data tersebut dirilis Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), dalam dua tahun terakhir tepatnya pada 2022-2024.

"Tahun 2024 sudah banyak pabrik yang tutup. Sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil telah berhenti beroperasi. Akhirnya, sekitar 250 ribu karyawan mengalami PHK," ujar Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta dalam keterangannya, Rabu (18/12/2024).

Redma menuturkan, penutupan perusahaan-perusahaan tekstil ini dipicu oleh meningkatnya impor ilegal yang mengalir ke pasar domestik tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah. Hal ini telah memperburuk kondisi industri tekstil di Indonesia, yang sebenarnya sudah mengalami deindustrialisasi selama 10 tahun terakhir.

Saat pandemi COVID-19, pada 2021, ketika impor dari China terhenti, industri tekstil Indonesia sempat mengalami pemulihan. Namun, begitu lockdown berakhir dan impor dibuka kembali, barang-barang ilegal pun membanjiri pasar, membuat banyak perusahaan terpaksa menghentikan operasional mereka.

Kondisi ini juga berdampak pada sektor-sektor terkait, seperti industri petrokimia dan produksi Purified Terephtalic Acid (PTA), yang merupakan bahan baku utama tekstil. Menurut dia, jika produksi PTA terganggu, permintaan listrik untuk sektor tekstil pun menurun.

"Masalahnya adalah impor yang tidak terkendali. Hal ini menurunkan utilisasi industri kita dan berdampak pada sektor lain, seperti listrik dan logistik," ujar Redma.

Redma menuturkan, industri tekstil sebenarnya sangat penting bagi perekonomian Indonesia, dengan kontribusi 11,73 persen terhadap konsumsi listrik sektor industri dan 5,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Namun, sebagian besar pasar domestik kini dipenuhi oleh barang-barang impor ilegal yang menyebabkan kerugian bagi negara, baik dari sisi pajak maupun bea masuk.

 


Atasi Masalah Impor Ilegal

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

"Impor ilegal menjadi pembunuh utama bagi industri tekstil Indonesia, dengan sekitar 40 persen barang yang masuk ke Indonesia tidak tercatat secara resmi,” kata dia.

Dirinya pun menyarankan agar pemerintah segera mengatasi masalah impor ilegal ini untuk menyelamatkan pasar domestik dan memungkinkan industri tekstil lokal pulih. Bahkan, menurutnya, sektor ini bisa kembali menyumbang hingga 8 persen terhadap PDB jika masalah ini dapat diatasi.

Untuk itu, berbagai langkah harus diambil, termasuk pembatasan impor yang lebih ketat dan perbaikan sistem di pelabuhan.

"Ada kelemahan sistem di pelabuhan, terutama terkait penggunaan scanner dan data manifest import (dokumen resmi barang impor) yang tidak sinkron. Hal ini menjadi celah bagi masuknya barang ilegal," ungkapnya.

Adapun Redma turut menekankan pentingnya meningkatkan daya saing produk lokal. Dengan memanfaatkan potensi pasar domestik yang besar, Indonesia bisa menghidupkan kembali industri tekstil dan mengurangi ketergantungan pada impor.

"Namun, semua ini harus dimulai dengan memperbaiki regulasi dan menangani masalah impor ilegal,” pungkas dia.

 

Reporter: Siti Ayu

Sumber: Merdeka.com


PPN Naik jadi 12%, Industri Tekstil Ketar-Ketir

Pekerja memotong pola di pabrik Garmen,Tangerang, Banten, Selasa (13/10/2015). Industri tekstil di dalam negeri terus menggeliat. Hal ini ditandai aliran investasi yang mencapai Rp 4 triliun (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) memprotes rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Kenaikan ini lantaran sepenuhnya dibebankan pada konsumen akhir. 

"Dalam hitungan kami, ketika PPN dikenakan 11 persen, maka sebenarnya PPN yang terbeban pada konsumen akhir itu sebesar 19,8 persen, karena rantai nilai tekstil itu panjang di mana setiap pembayaran pajak yang dikeluarkan oleh setiap subsektor akan dibebankan pada harga barang. Jika PPN dinaikan menjadi 12 persen maka beban konsumen akhir menjadi 21,6 persen dari harga barang sebenarnya," kata Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, Senin (25/11/2024).

Ardiman menilai di tengah kondisi dayabeli masyarakat yang sedang menurun, dikhawatirkan kenaikan PPN ini akan berimbas pada turunnya konsumsi tekstil masyarakat, sehingga tujuan pemerintah untuk menerima pemasukan yang lebih besar justru menjadi kontra produktif karena turunnya konsumsi tekstil masyarakat akan mengakibatkan turunnya penjualan industri tekstil.

Oleh karena itu, YKTI menyarankan agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) fokus memberantas impor ilegal. 

"Kalau kita hitung dari data selisih perdagangan TPT di trade map, dalam 5 tahun terakhir diperkirakan penerimaan negara hilang Rp46 triliun karena gap perdagangannya kan capai USD7,2 milir atau sekitar Rp106 triliun nilai barang yang tidak bayar Bea Masuk, PPN dan PPh” jelas Ardiman.

Dia menuturkan, asal impor ilegal diberantas, penerimaan negara dari TPT akan naik Rp9 triliun pertahun tanpa harus menaikan PPN.

Di sisi lain, pemberantasan importasi ilegal juga akan menggairahkan kembali bisnis produksi TPT ditanah air sehingga pabrik-pabrik tekstil akan meningkatkan utilisasi produksinya, kembali beroperasi dan menyerap tenaga kerja hingga mempekerjakan tambahan karyawan.

"Masyarakat yang bekerja dan berpenghasilan secara otomatis akan meningkatkan daya beli dan konsumsi, nah di sini baru pemerintah akan mendapatkan imbasnya di PPN," pungkasnya. 

 

 


Tarif PPN 2025 Naik Jadi 12%, Indef Beri Catatan

Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah. Menyusul kebijakan menaikan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN 2025 menjadi 12 persen. 

Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti menilai, untuk sementara kenaikan tarif PPN 2025 belum akan berdampak positif. Khususnya terkait potensi penerimaan negara, imbas tingkat daya beli masyarakat yang berpotensi terganggu. 

"Kemungkinan tax revenue tidak tercapai karena daya beli melemah. Jika tercapai pun juga akan menurunkan volume penjualan, akan membuat produksi berkurang, dan akhirnya produsen akan melakukan efisiensi," ujarnya kepada Liputan6.com, Minggu (24/11/2024).

INDEF memperkirakan, kenaikan 1 persen dari 11 persen menjadi PPN 12 persen berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi 0,02 persen. Disebabkan kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi. Sehingga akan memperlemah daya beli, sehingga utilisasi dan penjualan pun melemah. 

"Akibatnya penyerapan tenaga kerja menurun dan pendapatan pun akan menurun. Yang berakibat menurunkan konsumsi dan menghambat pemulihan ekonomi, serta pada akhirnya pendapatan negara akan menurun," ungkapnya. 

 


Kenaikan PPN

Secara umum, Esther menyimpulkan kenaikan PPN (single tarif) akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi meningkat. "Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan skema multi tarif," imbuhnya. 

 Selanjutnya, secara makro kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relatif lebih tinggi. Semakin melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri. 

Seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat. Maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi, termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja. "Hal ini akan berdampak terhadap penerimaan PPh yang terancam menurun," Esther menambahkan. 

 

Infografis Barang Mewah dan Jasa Premium Kena PPN 12 Persen Mulai 1 Januari 2025. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya