Liputan6.com, Jakarta Hampir semua insan di seluruh dunia kelabakan dalam menjalani kehidupan sewaktu pandemi COVID-19 melanda. Di industri musik, para musisi Tanah Air yang sebelumnya punya jam terbang tinggi, terpaksa harus memutar otak lebih keras untuk bertahan hidup. Namun, sejumlah musisi termasuk Alex Kuple, memilih untuk memanfaatkan kondisi pandemi sebagai ladang untuk berkarya.
Alex Kuple yang juga mengajar musik sejak tahun 1999, bahkan sukses menciptakan dan merilis ratusan lagu hingga terkumpul menjadi 13 buah album sejak tahun 2020 hingga 2024. Namun, inspirasi untuk konsisten berkarya sejak pandemi hingga kini, tak dilakukannya tanpa dasar. Alex Kuple rupanya sudah terlebih dahulu mengamati pergerakan para musisi indie sejak era 2010-an.
Advertisement
Berkat pergaulannya di "skena" musik indie, Alex Kuple pun jadi lebih terbuka dalam hal berkarya di dunia musik pada era digital sekarang ini. Alhasil, begitu pandemi melanda seluruh dunia, mantan bassist Nugie dan Alv Band ini berhasil merilis ratusan lagu hingga berjumlah sekitar 206 buah. Dari situlah tercipta peluang untuk mendapatkan lebih banyak penghasilan, dari pihak-pihak yang tertarik untuk menggunakan karya-karyanya.
Bahkan, sejumlah musisi indie pun menghubungi Alex Kuple untuk meminta dibuatkan lagu. Ditambah lagi, setelah merilis ratusan lagu dan belasan album sejak pandemi, Alex Kuple mulai merasakan hasilnya. Pendapatan berkat karya-karyanya yang dirilisnya melalui berbagai platform musik, terus mengalir hingga hari ini.
"Jadi, pas pandemi kan di rumah saja, enggak boleh ke mana-mana. Banyak murid (les musiknya) akhirnya pindah ke online. Jadi aku mengajar via zoom. Habis itu kan enggak ada kerjaan tuh, nonton film di platform OTT. Nah pas nonton film itu kebanyakan langsung dapat ide, dan ide-ide awal langsung direkam pakai handphone, entah dinyanyian atau dengan gitar. Terus, baru sudah ada waktu luang, kayaknya dijadiin lagu lengkap nih. Akhirnya bikin-bikin, eh keterusan," terang Alex Kuple saat dihubungi Showbiz Liputan6.com via telepon, dikutip Jumat (20/12/2024).
"Saya kan memang enggak keluar-keluar rumah, kalau enggak mengajar, ya bikin lagu. Ini juga kan sudah zamannya kolaborasi. Jadi, ada teman yang punya lagu, aku isiin bassnya. Aku punya lagu, minta teman isiin nyanyinya, kayak featuring begitu," sambungnya.
Berkat Rasa Penasaran terhadap Skena Musik Indie
Seperti disampaikan di atas, skena musik indie menjadi salah satu pemicu Alex Kuple untuk konsisten menciptakan lagu dan merilis album sejak era pandemi. Berawal dari rasa penasaran dengan banyaknya lagu-lagu indie yang berkesan di hatinya, Alex yang sudah terjun secara profesional di industri musik sejak 1994, memutuskan untuk berkenalan hingga akrab dengan sejumlah musisi indie.
"Sejarahnya bisa rilis itu, dulu sebelum pandemi aku suka nongkrong di komunitas indie. Tempatnya Endah N Resha, tempatnya Efek Rumah Kaca. Jadi pengen tahu ini anak sekarang gimana sih kalau bikin lagu, terus rilis lagu, promo lagunya gimana. Terus kan mereka sering ngadain workshop komunitas indie, ya," kenang Alex Kuple.
"Akhirnya saya tanya-tanya, 'Sekarang rilis lagu gimana sih?' 'Oh lewat aggregator, begini caranya...' 'Oh, begitu...' Setelah pandemi itu baru nyadar, 'Oh iya dulu kan pernah tanya-tanya ke anak-anak indie...' Sekarang bisa rilis lagu tanpa major label, kita bisa langsung ke aggregator atau distributor," ungkap Alex Kuple mengenang momen pertama kali pikirannya terbuka untuk merilis karya musik digital secara independen.
"Terus nyoba-nyoba dari tutorial di YouTube, 'Wah ternyata gampang nih merilis lagu.' Pas nyoba-nyoba, iseng-iseng, ya sudah keterusan itu. Habis itu rilis terus, sampai sempat seminggu ada empat lagu, single gitulah," kenangnya lagi. "Bangun tidur kita enggak bisa pergi kan. Waktu itu anak-anak sekolah di rumah juga kan, online mereka. Ya sudah, banyak waktu di rumah jadinya," lanjutnya.
Advertisement
Wawasan Memproduksi Musik Secara Indie Terus Bertambah
Setelah terjun langsung dan menjalani proses produkse lagu secara mandiri, Alex Kuple pun makin terbuka wawasannya. Hingga akhirnya, ia pun kini mengetahui secara spesifik mengenai seluk beluk produksi lagu secara digital serta bagaimana cara mendapatkan penghasilan dari situ.
"Jadi, kalau lewat aggregator itu kayak semacam agen gitulah. Kita lewat mereka, nanti mereka yang merilis ke sekitar 50-an platform tuh. Bisa Spotify, YouTube, ada Apple Music, TikTok, Amazon, segala macam. Kita cukup satu aggregator, mereka akan menyebar ke semua platform," terangnya.
"Kalau royalti itu kita bisa dapat dari berbagai macam lewat musik. Jadi belajar sendiri dan tanya-tanya sama teman-teman, kalau misalnya lewat dari platform kayak Spotify dan segala macam itu, kita bisa dapat yang namanya mechanical right. Hak atas lagu yang kita rilis, kita dapat dari streaming, dari viewers, yang kayak gitu kan dapat tuh," ungkapnya.
"Nah, terus juga dapat dari publishing rights, misalnya dijadiin iklan, buat film, diaransemen orang lain, dapat juga itu. Terakhir satu lagi, performing rights. Kalau lagu kita disetel di restoran, atau di mall, di kafe, atau dinyanyiin orang di panggung, kita dapat itu performing rights. Banyak jalurnya, sih," terangnya.
Menciptakan Karya untuk Musisi Lain
Berkat pemikirannya yang terbuka serta ketekunannya mempelajari produksi musik di era digital, ia tak hanya menciptakan lagu atas namanya sendiri. Sewaktu masih era pandemi, Alex Kuple juga memiliki banyak peluang membuat karya untuk musisi lain.
"Kalau misalnya kita nyiptain untuk orang lain, tergantung kontraknya, kan beda-beda. Ada yang tinggi, ada yang kecil. Sama aku kan juga memproduksi beberapa band indie juga. Mereka ke rumah, minta tolong diaransemen atau rekaman. Kalau aku enggak menghitung terlalu tinggi sih budgetnya, 'Adanya berapa dari kalian, segini? Ya sudah, enggak apa-apa, jalan. Yang penting cukup buat bayar listrik," ungkapnya.
"Nah kalau yang dari streaming, royaltinya kan dapatnya nanti itu. Berapa bulan, setahun, total baru kelihatan, 'Oh dapatnya segini.' Jadi dikoleksi, dikumpulin dulu, baru dapat. Jadi semakin banyak lagu, kan kita semakin bisa dapat jumlah streaming," lanjutnya.
Advertisement
Bercermin pada Pengalaman di Masa Lalu
Setelah semua karya-karya digitalnya rilis, Alex Kuple pun merasakan kepuasan tersendiri lantaran lagu-lagu yang diputar di platform digital mulai membuahkan hasil. Alex pun bercermin pada masa lalunya, ketika dirinya dan para musisi angkatannya masih harus berjuang keras mendapatkan pengakuan dari label rekaman besar atau major label, agar karya-karya musik mereka bisa didengarkan oleh masyarakat.
"Iya, soalnya kemarin-kemarin kan sebelum era digital ini, kita kalau rilis lagu, pencipta lagu kan mesti dibawa ke label, belum tentu diterima kan, kadang-kadang ditolak, dibuang ke tempat sampah (tertawa). Soalnya, pernah ngalamin ngirim lagu ke beberapa perusahaan rekaman, mereka minta, 'Ada lagu, enggak?' Begitu dikasih, enggak cocok, 'Yah sayang banget'," kenangnya.
"Kalau sekarang ini, zaman digital streaming, ada lagu bikin aja, rilis. Nanti syukur-syukur ada yang, 'Eh, gua mau dong lagunya, boleh enggak dipakai buat ini?' Ya jadi kita udah ada katalog... Jadi kayak, 'Ini lho lagu-lagu kita, tinggal pilih, begitu," ungkapnya mengenai perbedaan antara perilisan lagu era digital dengan era sebelumnya.
Awal Mula Terbuka dengan Cara Musisi Indie Bereksplorasi
Alex Kuple tak memungkiri bahwa masih banyak musisi senior yang dikenalnya, hingga hari ini tetap bergantung pada label rekaman major. Namun, Alex Kuple tak larut dengan pemikiran seperti itu. Ia meniatkan diri untuk berbaur dengan para musisi indie. Rupanya, cara musisi indie dalam hal bereksplorasi dengan karya-karyanya yang lebih unik ketimbang musisi major label, membuat matanya makin terbuka lebar.
"Banyak musisi yang masih terpaku sama model bisnis rekaman zaman dahulu mungkin. Karena sekarang kan zamannya sudah berubah tuh. Nah tahun pertengahan 2010-an aku mulai membuka diri itu, 'Indie sekarang gimana ya?' Udah enggak perlu label kayaknya.' Ya benar, pas bergaul sama mereka itu, ya sudah, mereka bikin-rilis-bikin-rilis, promo sendiri, barengan," terangnya.
"Nanti akhirnya, biasanya, kalau sudah gede sendiri, label besar pasti menarik tuh. Orang dikontrak, ada yang mau, ada yang enggak. Jadi harus dimulai dari independen dulu. Jadi kalau enggak dimulai, masih nunggu label, belum tahu kapan dapatnya, gitu (tertawa kecil)," lanjutnya.
"Jadi kebanyakan teman-teman seangkatan kan sudah terbuai dengan major label, tuh. Jadi, mereka enggak mau turun ke bawah, enggak mau terjun. Jadi mereka masih mengharapkan, 'Ah gua nunggu di label lagi deh.' Ya sampai kapan begitu? Kalau kita enggak rilis sendiri kan cuma menunggu. Major label kan juga nyarinya yang muda-muda. Di atas 30 mereka udah enggak melirik lagi di musik. Yang masih remaja, bisa dijual."
Advertisement
Keresahan terhadap Musik Era 2000-an dan 2010-an Juga Menjadi Penyebabnya
Tak dipungkiri, ketertarikan Alex Kuple dengan skena musik indie berawal dari keresahannya atas kualitas lagu-lagu era 2000-an ke atas. Ia membandingkannya dengan industri musik era 1990-an yang lebih variatif. Setelah makin mengenal skena musik indie lebih mendalam, Alex pun makin mantap untuk ikut terlibat di dalamnya.
"Waktu itu aku lihat di chart-chart Indonesia itu kan di radio, kok lagunya gini-gini amat, sih. Maksudnya enggak kayak tahun 1990-an kan lagunya beragam dan bagus-baguslah. Tapi kalau mulai 2000-an, 2010-an, kayaknya sama aja tuh lagu-lagu. Temanya galau semua, gitu kan (tertawa). Nah begitu aku sering datang ke acara anak-anak indie itu, 'Wah ini musik mereka keren-keren. Justru musiknya anak indie tuh bagus-bagus. Karena mereka bebas berkreasi kan. Jadi ide-ide mereka langsung dibikin aransemen, enggak tergantung sama label," kenangnya.
"Aku juga kebetulan mengajar anak privat, dia kuliah di Bandung. Terus cerita, 'Ini om yang lagi tren di skena indie Bandung, ini bandnya.' Terus aku dengerin, 'Wah keren-keren nih.' 'Iya, om sekarang kayak gini, ini bandnya yang lagi naik.' 'Oh musiknya mereka begini.' Benar-benar bebas berkreasinya, enggak perlu mikirin, 'Ah nanti komersil enggak ya?' Mereka enggak ada pikiran gitu, mereka bikin ya bikin aja, se-apa adanya mereka," ungkap Alex Kuple.
Inspirasi dari Pamungkas dan Para Musisi Seangkatannya
Alex Kuple menyebut pertemuannya dengan Pamungkas yang sempat bercerita kepadanya soal kesuksesan dari rekaman independen, sedikit banyak ikut membuka matanya. Selain itu, sejumlah musisi angkatannya yang mulai masuk ke ranah indie, turut menginspirasinya untuk mantap berkarya secara independen.
"Pamungkas itu kenal dari dia kecil, dia sempat ngeband. Pas ketemu lagi ada acara indie, dia menegur duluan dan aku tanya-tanya soal rilis indie-nya dia, sharing aja. Pas habis ngobrol, makin memicu nih, 'Wah Pamungkas aja bisa, kenal dia dari ABG.' Terus dia ngasih semangat tuh, 'Ayo om. Aku dulu di kamar itu modalnya cuman laptop, soundcard, gitar, sudah. Habis itu, rilis-rilis terus naik dan manggung-manggung, akhirnya bisa punya studio. Perjuangan dan kreativitas dia patut diacungi jempol," ujarnya.
"Orang saya lihat band-band yang dulu terkenal kayak The Changcuters, /rif. Sama anak-anak /rif kan juga dekat tuh, mereka juga bilang, 'Udah indie aja sekarang!' Jadi udah enggak tergantung label lagi. Kalau nunggu label pasti dicuekin sama label juga kan. Memang harus sudah mandirilah," ungkap Alex.
Bahkan Alex belum mau buru-buru mengikutinya saran beberapa temannya untuk bergabung ke salah satu label rekaman besar yang dikenal sukses dalam menyokong produksi dan perilisan para musisi indie. Pasalnya, selama semua proses produksi dan perilisan bisa dilakukan sendiri olehnya, belum ada alasan krusial untuk bergabung ke label tersebut.
"Beberapa teman indie ada yang bilang, 'Mas ke Demajors (label rekaman) aja bisa ini (dibantu). Tapi sementara kan bisa sendiri, tapi mungkin nanti perlu juga Demajors kalau misalnya untuk membantu pemasaran, cari-cari panggung, bisa tuh. Kalau untuk rilisnya masih bisa sendirilah," ia menandaskan.
Advertisement