Liputan6.com, Jakarta Lupakan sejenak ke mana naskah membawa takdir Mufasa dalam film animasi Disney ikonis The Lion King (1994). Tiga dekade setelah perilisan film ini, Disney menghadirkan Mufasa: The Lion King, prekuel yang mengungkap kisah hidup sang penguasa savana.
Bak Simba, Mufasa cilik tumbuh bersama ayah ibunya di dataran yang tandus kala kemarau. Milele, dataran subur dengan padang rumput menghijau—diceritakan berulang kali oleh sang ibu, dengan harapan satu saat nanti akan menjadi tempat mereka tinggal.
Advertisement
Sayang, belum sempat keinginan ini terwujud, Mufasa keburu terpisah dengan orangtuanya, terbawa ke tempat yang tak dikenalnya, bahkan hampir dicaplok buaya.
Beruntung, seekor anak singa lain bernama Taka menyelamatkannya. Bahkan Taka dan Eshe ibundanya (Thandiwe Newton), mengajak Mufasha tinggal bersama kawanannya, meski sang ayah sekaligus pemimpinnya Obasi (Lennie James) menolak kehadirannya. Bagi Obasi, Taka sebagai calon raja di kawanannya mesti jauh-jauh dari “hewan liar.”
Mufasa (Aaron Pierre) akhirnya tumbuh sebagai remaja dalam kawanan singa betina. Hubungannya dengan Taka (Kelvin Harrison Jr.) makin erat, bak saudara betulan.
Serangan Kiros
Namun kehidupan damai ini tak berlangsung lama. Mendadak muncul singa besar berbulu putih dengan kawanannya, Kiros (Mads Mikkelsen) yang menyerang kawanan singa lain.
Termasuk kawanan Obasi yang tetap berusaha mempertahankan wilayahnya, sementara Taka diperintahkan menyelamatkan diri bersama Mufasa.
Di perjalanan, mereka bertemu dengan Sarabi (Tiffany Boone), singa betina yang kawanannya diserang oleh Kiros. Bersama burung penjaga Sarabi, Zazu (Preston Nyman), dan Rafiki (Kagiso Lediga) seekor mandrill yang mereka temui di jalan, mereka akhirnya menuju wilayah yang selama ini diimpikan Mufasa: Milele.
Advertisement
Kerasnya Kehidupan Alam Liar
Mufasa: The Lion King yang digarap sutradara Barry Jenkins—yang sebelumnya menggarap Film Terbaik Oscar 2016, Moonlight—masih membawa visual fotorealis ala The Lion King versi tahun 2019. Adapun lagu-lagunya ditulis oleh Lin-Manuel Miranda—kreator pertunjukan Broadway sukses Hamilton—memiliki nuansa musik Afrika yang rancak—meski butuh waktu untuk terasa familiar.
Namun ada satu hal yang terasa cukup berbeda dari film sebelumnya. Meski sama-sama mengusung nilai universal seperti cinta ibu dan persahabatan, ada satu elemen yang jarang diangkat dengan cukup jujur dalam film anak. Yakni kehidupan hewan di alam liar yang keras dan dekat dengan kematian.
Mulai dari rantai makanan, hingga perebutan wilayah di kalangan singa. Tentunya, semua ini masih sesuai dengan pakem film keluarga Disney: tanpa darah, tanpa menunjukkan kematian secara eksplisit.
Origin Story Scar Sang Antagonis The Lion King
Bagi orang-orang yang sudah familiar dengan kisah asli The Lion King, gampang rasanya menebak arah cerita Mufasa: The Lion King. Terutama formula persahabatan ala Peter Parker - Harry Osborn atau King Arthur – Lancelot.
Namun setidaknya, penggemar bisa mendapat cerita kecil di balik The Lion King, mulai dari tongkat Rafiki hingga kemunculan The Pride Rock tempat raja singa mengaum.
Sebagai bintang utama, porsi narasi untuk Mufasa tentunya paling banyak dalam film ini. Namun yang bersinar bukan kisah Mufasa, justru origin story atau perjalanan yang melahirkan tokoh Scar.
Eksplorasi masa lalu Scar, karakter antagonis ikonis dalam The Lion King dikemas sedemikian rupa hingga penonton memahami, bahkan bisa jadi berempati dengan karakter ini, meski tak membenarkan kejahatan yang dilakukannya.
Dan ini, bisa dibilang sebagai kemenangan besar untuk Scar.
Advertisement