Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyoroti ambisi Indonesia dalam meningkatkan rasio pajak atau tax ratio. Namun, hal itu tidak bisa dicapai jika jumlah pekerja di Indonesia tidak bertambah.
Dia mengatakan, pajak didapat negara dari orang yang bekerja. Banyaknya pekerja turut mengerek juga pendapatan pajak ke negara.
Advertisement
"Orang bekerja itu bayar pajak, demand menjadi tinggi," kata Wimboh dalam Economic and Financial Report 2014-2024, di Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Dengan begitu, rasio pajak tak bisa meningkat jika angka pengangguran di Indonesia justru tak berubah atau malah mengalami kenaikan.
"Jadi kalau kita mengatakan tax ratio, tax ratio, kalau penganggurannya stagnan atau naik, emang mungkin? Enggak mungkin," tegas dia.
Hal ini juga berdampak pada daya beli masyarakat. Jika jumlah pengangguran itu tak berubah, maka daya beli masyarakat menjadi rendah.
"Orang kalau enggak (bekerja), belanjanya enggak akan nambah. Orang jual barang-barang, enggak laku," ungkapnya.
Menurut dia, pembangunan yang dilakukan pada aspek ekonomi perlu memperhatikan dampak berganda (multiplier effect). Salah satunya adalah penciptaan lapangan kerja.
"Apapun yang kita lakukan itu, multiplier, penciptaan tenaga kerja, ada enggak? Itu yang harus selalu dicek, apapun," pungkasnya.
Ada Core Tax, Airlangga Hartarto Pede Rasio Pajak Naik 12%
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis, dengan adanya sistem pajak canggih yakni Core Tax Administration System (CTAS) bisa mendorong rasio pajak Indonesia naik di kisaran 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Tax ratio ditargetkan dinaikkan kembali ke 12 persen dari PDB. Ya tentu kita harus kejar juga pendapatan lebih tinggi dan salah satu yang juga dipersiapkan di Kemenkeu adalah digitalisasi dengan Core tax," kata Airlangga saat ditemui di kantor Kemenko bidang Perekonomian, Kamis (25/7/2024).
Airlangga pun berharap sistem pajak canggih yakni Core Tax Administration System (CTAS) segera bisa diimplementasikan dengan cepat pada akhir tahun 2024.
"Nah, sistem coretax perpajakan itu diharapkan akhir tahun ini bisa on," ujar Airlangga Hartarto.
Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), core tax administration system adalah suatu sistem teknologi informasi dalam administrasi perpajakan. Sistem ini bertujuan memfasilitasi proses bisnis administrasi pajak dengan meningkatkan basis data perpajakan, sehingga wajib pajak dapat mengelola kewajiban perpajakannya secara daring tanpa harus mengunjungi kantor pajak.
Coretax diciptakan untuk mengikuti perkembangan teknologi digital dan mendukung kinerja serta konektivitas layanan bagi wajib pajak.
Implementasi Coretax System Mulai Tengah 2024
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini masih melakukan pengujian terkait sistem inti administrasi perpajakan (Coretax Administration System).
"Coretax saat ini terus melakukan habituasi, melakukan pengujian sebagaimana disampaikan oleh Pak Dirjen bahwa penyesuaian implementasi Coretax System ini memang kita memerlukan waktu," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, dalam media briefing Update Kebijakan Perpajakan Terkini, di Kantor DJP, Senin, 8 Januari 2024.
Advertisement
Target DJP
Dwi mengungkapkan, DJP ingin mempersiapkan Coretax dengan matang sebelum benar-benar diimplementasikan . Oleh karena itu, pihaknya masih dalam proses pengujian Coretax.
"Karena kami tidak mau pada saat implementasi 'oh ini masih kurang', pengujiannya kan kalau sistem itu kalau mau diimplementasikan harus diuji, apakah ini sudah sesuai yang kita harapkan atau belum atau masih perlu yang diperbaiki sekarang prosesnya terus berlanjut," ujarnya.
Adapun DJP menargetkan implementasi Coretax administration system akan dimulai pada pertengahan tahun 2024.
"Mudah-mudahan nanti pertengahan tahun kita akan bisa segera mengimplementasikan. Jadi, ini masih jalan terus habituasinya bahkan terus bekerja keraslah agar bisa sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan," ujarnya.
Melansir dari laman resmi DJP, Core Tax Administration System merupakan sebuah sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas DJP, termasuk automasi proses bisnis.
Maksud dari automasi proses bisnis ini, seperti pemrosesan surat pemberitahuan, dokumen perpajakan, pembayaran pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, pendaftaran wajib pajak, hingga pada fungsi taxpayer accounting.
Sebelumnya, diketahui, DJP sudah mulai menghubungkan Coretax administration system dengan seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP); Kantor Wilayah (Kanwil); serta Kantor Pelayanan, penyuluhan, dan konslutasi Perpajakan (KP2KP).
Pakai Coretax System, Rasio Pajak Indonesia Bakal Terdongkrak
Sebelumnya, sistem inti administrasi perpajakan atau coretax system, yang ditargetkan bakal diimplementasikan awal tahun 2024 diyakini bisa mendorong rasio pajak Indonesia.
"Mudah-mudahan tax ratio kita bisa setidaknya berada pada tahapan yang bisa lebih sustain lah. Kalau angkanya 12,88 atau 15 persen sebagai titik poin untuk mencapai sustainable sebuah tax ratio," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, dalam Forum diskusi Perpajakan Bisnis Indonesia, Selasa (29/8/2023).
Diketahui, rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax to GDP ratio terbilang masih rendah. Tercatat, tax to GDP Indonesia tahun 2022 sebesar 10,4 persen, dan untuk tahun 2023 ditargetkan diangka 10,3 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Head of Mandiri Institute, Teguh Yudo Wicaksono, mengatakan memang untuk keluar dari middle income trap dibutuhkan tax to GDP ratio sebesar 12,88 persen.
“Karena kita ingin mencapai visi 2045 maka pertumbuhan ekonominya harus diatas 5 persen. Target 2045 kita tembus middle income trap maka pertumbuhannya harus 6-7 persen untuk mencapai akselerasi itu setidaknya tax to GDP rasio kita 12,88 persen atau lebih tinggi,” kata Teguh.
Advertisement
Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Teguh menjelaskan, tax to GDP ratio sebesar 12,88 persen merupakan hasil studi dari International monetary fund (IMF). Alhasil, apabila suatu negara mampu menembus angka 12,88 persen, maka dipastikan dalam 3 tahun ke depan negara tersebut pertumbuhan ekonominya akan meningkat.
"Jadi bayangkan misalnya katakanlah kita income-nya Rp10jt, hitungan kasarnya 12,88 persen itu kan sekitar 130 ribu, jadi sebetulnya manageable. Tapi kalo dari studi ini satu yang critical. Di satu sisi memang ada isu struktural terkait dengan penerimaan perpajakan. Di sisi, lain penerimaan perpajakan yang sehat setidaknya diatas yang terjadi saat ini,” jelasnya.
Teguh pun menghitung, jika asumsi pertumbuhan PDB Indonesia tercatat sebesar 5,2 persen pada RAPBN 2024, dan target penerimaan pajak yang sebesar 9,3 persen, artinya tax to GDP rasio bisa mencapai 10,7 persen di 2024.
“Jadi, di tahun 2024 rasio tax to GDP sekitar 10,7 persen, maka setidaknya kita membutuhkan tambahan 2,8 precented point untuk pertumbuhan ekonomi kita bisa akselerasi,” pungkasnya.